PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 35/PMK.03/2008
TANGGAL 26 FEBRUARI 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya
saing dan untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi industri perhiasan nasional
perlu dilakukan penyesuaian pengenaan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terhadap barang berupa perhiasan yang mengandung mutiara, intan, batu mulia (selain
intan) atau batu semi mulia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana tersebut pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
5 dan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986);
2. Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN 2000
tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004
tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor
Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS
BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Mengubah Lampiran VI Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 26 Februari 2008
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TANGGAL 15 OKTOBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN
JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih
sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat
dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
nomor 5 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3986);
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA
ATAS Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG
DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah
beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3568);
b. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah
Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang
menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah
setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan
yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan
barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah
setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah
Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah
bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau
badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah
melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya
menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber
daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan
tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan
yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau
badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan
yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak
tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak
yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan
Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa
Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang
oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah
tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam
Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
2. Ketentuan
Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak
karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena
suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar
cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara
konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan
prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak
kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk
jaminan utang-piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan
pemusatan tempat pajak terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam
rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan
adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf
c.
3. Ketentuan
Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g,
dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
4. Ketentuan
Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. impor
Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor
Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan
jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
5. Ketentuan
Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Dihapus.
(2) Jenis
barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam
kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan
minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. uang,
emas batangan, dan surat berharga.
(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa
pelayanan kesehatan medis;
b. jasa
pelayanan sosial;
c. jasa
pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa
keuangan;
e. jasa
asuransi;
f. jasa
keagamaan;
g. jasa
pendidikan;
h. jasa
kesenian dan hiburan;
i. jasa
penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air
serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa
tenaga kerja;
l. jasa
perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. jasa
penyediaan tempat parkir;
o. jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa
pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa
boga atau katering.
6. Ketentuan
Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan
atas Barang Mewah terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut
di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah.
7. Ketentuan
Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang
Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat
dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pembatalan tersebut.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengurangan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3)
diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%
(sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0%
(nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor
Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15%
(lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus
persen).
(2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan
1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan
Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain.
(2) Ketentuan mengenai nilai lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat
(2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat
(13) dan ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 6 (enam) ayat,
yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f), di antara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan
2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara ayat (7) dan ayat (8)
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b) sehingga Pasal 9
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Dihapus.
(2) Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang sama.
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum
berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak
Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus
menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun
buku.
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat
diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak
Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum
berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan
kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai
dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko
rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang nomor 6
TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan
menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak.
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
perubahannya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang
pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan
yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib
dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak
tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan
dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun
tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu
dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan
bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. dihapus;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan
Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
j. perolehan Barang Kena Pajak selain
barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi
belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Dihapus.
(13) Ketentuan
mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena
Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang
belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan
oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya
diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum
dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan
Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan
Barang Kena Pajak;
b. impor
Barang Kena Pajak;
c. penyerahan
Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean;
f. ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor
Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam
hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak
adalah pada saat pembayaran.
(3) Dihapus.
(4) Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam
hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan
yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5) Dihapus.
13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf
f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari
Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat
atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak
terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
14. Ketentuan
Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat
Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal
16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam
hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur
Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam
Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga
Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal
pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan
atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan
formal dan material.
15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan;
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.
16. Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah
sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16B
(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian
atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara
waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau
tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu
atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor
Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.
17. Ketentuan
Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17
disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 16E
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak
yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar
negeri dapat diminta kembali.
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling
sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok
Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di
negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan
disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal
Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat
meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk
keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah
Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan
dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 16F
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang
tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
PASAL II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di : Jakarta
pada tanggal : 15 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH
I. UMUM
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas
konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di
setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat
dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat
yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang
sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus
menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di
bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi
sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam rangka menjawab perubahan yang
sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah
dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten
pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 dan
terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Perubahan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan
kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Perkembangan transaksi bisnis, terutama
jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan
lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menyederhanakan sistem Pajak
Pertambahan Nilai.
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan
Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya.
3. Mengurangi biaya kepatuhan.
Penyederhanaan
sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik
biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan
kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam
rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.
4. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Tercapainya tujuan tersebut diharapkan
dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan
sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang
tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
5. Tidak mengganggu penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai.
Di samping tujuan di atas, fungsi pajak
sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
6. Mengurangi distorsi dan peningkatan
kegiatan ekonomi.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
I
Angka 1
Pasal
1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal
1A
Ayat (1)
Huruf
a
Yang dimaksud dengan "perjanjian"
meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian
lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Huruf
b
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat
terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).
Yang dimaksud dengan "pengalihan
Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)" adalah
penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing)
dengan hak opsi.
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan
hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena
Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
Huruf
c
Yang dimaksud dengan "pedagang
perantara" adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan
untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya
komisioner.
Yang dimaksud dengan "juru lelang"
adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Huruf
d
Yang dimaksud dengan "pemakaian
sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau
karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan "pemberian
cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang
untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf
e
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri
sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.
Dikecualikan dari ketentuan pada huruf
e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.
Huruf
f
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai
lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang
perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat tersebut merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan "pusat" adalah
tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Yang dimaksud dengan "cabang"
antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha
sejenisnya.
Huruf
g
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi,
Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang
bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang
dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak
titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada
pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat
menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.
Huruf
h
Contoh:
Dalam transaksi murabahah, bank
syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor
dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun
berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan
bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang
ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh
Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
Ayat (2)
Huruf
a
Yang dimaksud dengan "makelar"
adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu
pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh
Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan
mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas
amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat
hubungan kerja.
Huruf
b
Cukup jelas.
Huruf
c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun
cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang
Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat
ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap tidak termasuk dalam
pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak
antar tempat pajak terutang.
Huruf
d
Yang dimaksud dengan "pemecahan
usaha" adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Huruf
e
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat
dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa
kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya
tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c
tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Angka 3
Pasal
3A
Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai
yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang terutang; dan
d. melaporkan penghitungan pajak.
Kewajiban
di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
Ayat (1a)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Pengusaha kecil diperkenankan untuk
memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil
memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang in! berlaku sepenuhnya bagi
pengusaha kecil tersebut.
Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan
yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut.
Angka 4
Pasal
4
Ayat (1)
Huruf
a
Pengusaha yang melakukan kegiatan
penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun
pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum
dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. barang berwujud yang diserahkan
merupakan Barang Kena Pajak;
b. barang tidak berwujud yang diserahkan
merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah
Pabean; dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Huruf
b
Pajak juga dipungut pada saat impor
Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
Berbeda dengan penyerahan Barang Kena
Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah
Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
Huruf
c
Pengusaha yang melakukan kegiatan
penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun
pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum
dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa
Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah
Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan
Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan
sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Huruf
d
Untuk dapat memberikan perlakuan
pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan
oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha A yang berkedudukan di
Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang
berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di
dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf
e
Jasa yang berasal dari luar Daerah
Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak
Pertambahan Nilai.
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di
Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di
Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan
Nilai.
Huruf
f
Berbeda dengan pengusaha yang melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang
melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A
ayat (1).
Huruf
g
Sebagaimana halnya dengan kegiatan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Yang dimaksud dengan "Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud" adalah:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak
cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau
model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di
bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau
pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut
pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa; dan
c) penggunaan atau hak menggunakan
sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film
gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi,
atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak
yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf
h
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa
Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar
Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Angka 5
Pasal
4A
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf
a
Barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
a. minyak
mentah (crude oil);
b. gas
bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat;
c. panas
bumi;
d. asbes,
batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips,
kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir
dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers
earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan
trakkit;
e. batubara sebelum diproses menjadi
briket batubara; dan
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih
tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Huruf
b
Barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a. beras;
b. gabah;
c. jagung;
d. sagu;
e. kedelai;
f. garam,
baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. daging, yaitu daging segar yang tanpa
diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan,
dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan
dengan cara lain, dan/atau direbus;
h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk
telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i. susu, yaitu susu perah baik yang telah
melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula
atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar
yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong,
diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang
dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk
sayuran segar yang dicacah.
Huruf
c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan
Pajak Daerah.
Huruf
d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf
a
Jasa pelayanan kesehatan medis
meliputi:
1. jasa
dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2. jasa
dokter hewan;
3. jasa
ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi;
4. jasa
kebidanan dan dukun bayi;
5. jasa
paramedis dan perawat;
6. jasa
rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan
sanatorium;
7. jasa
psikolog dan psikiater; dan
8. jasa
pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
Huruf
b
Jasa pelayanan sosial meliputi:
1. jasa
pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2. jasa
pemadam kebakaran;
3. jasa
pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4. jasa
lembaga rehabilitasi;
5. jasa
penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
6. jasa
di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
Huruf
c
Jasa pengiriman surat dengan perangko
meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan
menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
Huruf
d
Jasa keuangan meliputi:
1. jasa
menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
2. jasa
menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan
menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau
sarana lainnya;
3. jasa
pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4. jasa
penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia;
dan
5. jasa
penjaminan.
Huruf
e
Yang dimaksud dengan ”jasa asuransi”
adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan
reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis
asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai
kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
Huruf
f
Jasa keagamaan meliputi:
1. jasa
pelayanan rumah ibadah;
2. jasa
pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa
penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4. jasa
lainnya di bidang keagamaan.
Huruf
g
Jasa pendidikan meliputi:
1. jasa
penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan
umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan
keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
2. jasa
penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Huruf
h
Jasa kesenian dan hiburan meliputi
semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
Huruf
i
Jasa penyiaran yang tidak bersifat
iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi
pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh
sponsor yang bertujuan komersial.
Huruf
j
Cukup jelas.
Huruf
k
Jasa tenaga kerja meliputi:
1. jasa
tenaga kerja;
2. jasa
penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
3. jasa
penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
Huruf
l
Jasa perhotelan meliputi:
1. jasa
penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang
menginap; dan
2. jasa
penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Huruf
m
Jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa
yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin
Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
Huruf
n
Yang dimaksud dengan ”jasa penyediaan
tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik
tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut
bayaran.
Huruf
o
Yang dimaksud dengan ”jasa telepon umum
dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang
logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
Huruf
p
Cukup jelas.
Huruf
q
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal
5
Ayat (1)
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan
atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak
antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan
tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi
atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap
produsen kecil atau tradisional; dan
d. perlu untuk mengamankan penerimaan
negara.
Yang
dimaksud dengan "Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:
1. barang yang bukan merupakan barang
kebutuhan pokok;
2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu;
3. barang yang pada umumnya dikonsumsi
oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
4. barang yang dikonsumsi untuk
menunjukkan status.
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa
yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah
impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut
telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada
transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam pengertian
menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:
a. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian
lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti
merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
b. memasak, yaitu mengolah barang dengan
cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;
c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau
lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas, yaitu menempatkan suatu
barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk
meningkatkan pemasarannya; dan
e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman
atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
serta kegiatan lain yang dapat
dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan
kegiatan tersebut.
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan
hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan
atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang terutang.
Dengan demikian, prinsip pemungutannya
hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
Penyerahan
pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Angka 7
Pasal
5A
Ayat (1)
Dalam hal Barang Kena Pajak yang
diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan
tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak
pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah
dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena
Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan
tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah
ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi pembeli yang
bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang
dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi)
dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak
yang dibatalkan" adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau
fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Dalam hal Jasa Kena Pajak yang
diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima
Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan
tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak
penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena
Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan
sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi penerima Jasa
Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai
atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya
atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Angka 8
Pasal
7
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak
yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh
karena itu:
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang
diekspor;
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk
Jasa Kena Pajak yang diserahkan Oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan
melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan
tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak
berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak
Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan
ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah
diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5%
(lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai
prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini
dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka
pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Angka 9
Pasal
8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok tarif
tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1).
Ayat (2)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat (3)
Dengan mengacu pada pertimbangan
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang
yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat
kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di samping
didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan
hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh
masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang
dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan barang
yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan setelah berkonsultasi
dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Angka 10
Pasal
8A
Ayat (1)
Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara
penghitungan sebagai berikut.
Contoh:
a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai
Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan
penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor
Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Ayat (2)
Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin
rasa keadilan dalam hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai
Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
b. penyerahan Barang Kena Pajak yang
dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
Angka 11
Pasal
9
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima
Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai
dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang
Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau
pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar
tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang
dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a)
Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena
Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).
Ayat (2b)
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak
Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain itu, Pajak Masukan yang akan
dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat
ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan
Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang
bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa
Pajak Mei 2010
Pajak
Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak
Masukan yang dapat = Rp4.500.000,00
dikreditkan
------------------- (-)
Pajak
yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00
Pajak
yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
Masa
Pajak Juni 2010
Pajak
Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak
Masukan yang dapat
dikreditkan = Rp2.000.000,00
------------------- (-)
Pajak
yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00
Pajak
yang lebih dibayar dari Masa Pajak
Mei
2010 yang dikompensasikan ke
Masa
Pajak Juni 2010 = Rp2.500.000,00
------------------- (-)
Pajak
yang lebih dibayar Masa Pajak
Juni
2010 = Rp1.500.000,00
Pajak
yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
Ayat (4a)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu
Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa
Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa
Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan
permohonan pengembalian (restitusi).
Termasuk dalam pengertian akhir tahun
buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan
pengakhiran usaha (bubar).
Ayat (4b)
Cukup
jelas.
Ayat (4c)
Cukup
jelas.
Ayat (4d)
Cukup
jelas.
Ayat (4e)
Untuk mengurangi penyalahgunaan
pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal
Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak.
Ayat (4f)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi
kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang nomor 6
TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya
tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi
administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.
Apabila dalam pemeriksaan dimaksud
ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini
tidak berlaku.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "penyerahan
yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Yang dimaksud dengan "penyerahan
yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu
Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak
terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut
harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
c. penyerahan yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
Pajak
Masukan yang dibayar atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp 1.500.000,00
b. Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.
Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk
penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara
pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak. Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam
penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas
perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang
berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan
pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak
seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6a)
Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan
atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga harus
memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang pajak
sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu, sebagai
konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang
telah dikembalikan harus dibayar kembali.
Ayat (6b)
Cukup
jelas.
Ayat (7)
Dalam rangka menyederhanakan
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak
yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu
dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat (7a)
Dalam rangka memberikan kemudahan dalam
menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
Masukan.
Ayat (7b)
Cukup
jelas.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud
dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf
a
Ketentuan ini memberikan kepastian
hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan
sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku
surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal
19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
Huruf
b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang
langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan
produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk
semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi
syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang
terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah
memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih
dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila
pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak
Pertambahan Nilai.
Huruf
c
Cukup jelas.
Huruf
d
Ketentuan ini memberikan kepastian
hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan
sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku
surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan
ketentuan ini.
Huruf
e
Cukup jelas.
Huruf
f
Cukup jelas.
Huruf
g
Cukup jelas.
Huruf
h
Dalam hal tertentu dapat terjadi
Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah
diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas
ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf
i
Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha
Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga
telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dilaporkan:
Pajak Keluaran = Rp 10.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran = Rp 15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp11.000.000,00
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00
sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai.
Dengan
demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
------------------- (-)
Kurang Bayar menurut
hasil pemeriksaan = Rp
7.000.000,00
Kurang Bayar menurut
Surat Pemberitahuan = Rp
2.000.000,00
------------------- (-)
Masih kurang dibayar = Rp
5.000.000,00
Huruf
j
Cukup jelas.
Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha
Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat
diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut
hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu
tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan
melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan.
Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan
yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi)
kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan
dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak
Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli
2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau
pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.
Ayat (10)
Cukup
jelas.
Ayat (11)
Cukup
jelas.
Ayat (12)
Cukup
jelas.
Ayat (13)
Cukup
jelas.
Ayat (14)
Cukup
jelas.
Angka 12
Pasal
11
Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya
pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum
sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya
pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada
ketentuan ini.
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf
b
Cukup jelas.
Huruf
c
Cukup jelas.
Huruf
d
Dalam hal orang pribadi atau badan
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau
badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa
Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan
kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa
Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi
dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
Huruf
e
Cukup jelas.
Huruf
f
Cukup jelas.
Huruf
g
Cukup jelas.
Huruf
h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum
dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat
pembayaran.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Angka 13
Pasal
12
Ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi
terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi
Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai
satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat
kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan
Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai
lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor
Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha
Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak
terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali
apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat
pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak.
Dalam hal-hal tertentu, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh
1:
Orang pribadi A yang bertempat tinggal
di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A
tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi
A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi
orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat
tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di
tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong
karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan di Cibinong. Berbeda dengan
orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di
tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena
Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2:
PT A mempunyai 3 (tiga) tempat Kegiatan
usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di
bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan
dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau
kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan
usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya
tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di
Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang
dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.
Dalam hal PT A menghendaki tempat
kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak
terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.
Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang
pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut
dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau
lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Orang pribadi atau badan baik sebagai
Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang
pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
Angka 14
Pasal
13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib
memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak
sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus
atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur
penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap
penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan
Faktur Pajak.
Ayat (1a)
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus
dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal
pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat
pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal
terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk
mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.
Ayat (2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena
Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi
selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena
Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.
Ayat (2a)
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha
Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir
bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun
di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun
seluruhnya.
Contoh
1:
Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi
sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas
penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur
Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli,
yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.
Contoh
2:
Pengusaha
Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada
tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28
September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2
September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak
gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang
meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September.
Contoh
3:
Pengusaha
Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada
tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28
September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan
pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010
oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak
gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang
meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan
September.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan
pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur
Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh
pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan
mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan
Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang
tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak
Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.
Ayat (6)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang
biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak.
Ketentuan
ini diperlukan, antara lain, karena:
a. faktur
penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti
kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus
ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar
Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c. terdapat dokumen tertentu yang
digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
Ayat (7)
Cukup
jelas.
Ayat (8)
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara
lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk
dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara
lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas
Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.
Ayat (9)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan
formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material
apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah
memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila
keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan
yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat
material.
Angka 15
Pasal
15A
Dalam rangka memberikan kelonggaran
waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak
dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini
mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur
dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.
Dalam hal terjadi keterlambatan
pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha
Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
perubahannya.
Angka 16
Pasal
16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang
teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam
bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di
atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud
dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya
kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar
diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas
tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan
meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar
pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam
Pasal ini diberikan terbatas untuk:
a. mendorong ekspor yang merupakan
prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan
wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan
negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang
telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
c. mendorong peningkatan kesehatan
masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program
imunisasi nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara
Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk
melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
e. menjamin tersedianya data batas dan
foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan
bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku
pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang
harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah
sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional
di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan
membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku
kerajinan perak;
k. menjamin terlaksananya proyek
pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
l. mengakomodasi kelaziman internasional
dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea
Masuk;
m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam
yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;
n. menjamin tersedianya air bersih dan
listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
o. menjamin tersedianya angkutan umum di
udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah
tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang
perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan
sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak
Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan
demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau
Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun
sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak
lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran
tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak
dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2),
adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang
berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau
Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun
sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak
lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak
Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan.
Angka 17
Pasal
16 D
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara
lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena
Pajak dikenai pajak.
Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak
dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan
atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
Angka 18
Pasal
16E
Ayat (1)
Dalam rangka menarik orang pribadi
pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi
tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah
dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh
orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Barang Kena Pajak yang dibeli dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri
meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh
karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta
kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi pemegang paspor luar
negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat
dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan
alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal
16F
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran
pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh
karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima
jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila
ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual
atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti
telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
PASAL II
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 103/PMK.03/2009
TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan
industri properti nasional perlu mengatur kembali batasan dan jenis-jenis
hunian mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
8 ayat (4) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 dan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang
Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang
Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3986);
3. Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN 2000
tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 12 TAHUN 2006
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
4. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004
tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor
Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.011/2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG
JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG
DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Mengubah Lampiran II Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan:
a. Nomor
35/PMK.03/2008;
b. Nomor
137/PMK.011/2008;
sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 131
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 103/PMK.03/2009
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004
TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR
YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DAFTAR JENIS BARANG
KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN
BERMOTOR YANG
DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN TARIF SEBESAR 20%
(DUA PULUH PERSEN)
NO
|
URAIAN
BARANG
|
NOMOR
HS
|
a.
a.1
a.2
b.
b.1
b.2
|
Kelompok
alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut
dalam Lampiran I adalah:
Tungku, kompor,
tungku terbuka, alat masak (termasuk tungku dengan ketel tambahan untuk
pemanasan sentral), panggangan besar, anglo, gelang gas, piring pemanas, dan
peralatan rumah tangga tanpa listrik semacam itu dari besi atau baja, jenis
non portable.
- Peralatan
masak dan piring pemanas:
-- Dengan
bahan bakar gas atau gabungan gas dan bahan bakar lainnya.
- Peralatan lainnya:
-- Dengan
bahan bakar gas atau gabungan gas dan bahan bakar lainnya.
Lemari pendingin
- Kombinasi
lemari pendingin-pembeku, dilengkapi dengan pintu luar terpisah, dari tipe
rumah tangga dengan kapasitas melebihi 230 liter
- Lemari
pendingin tipe rumah tangga dengan kapasitas melebihi 230 liter:
--Tipe kompresi
--Tipe absorpsi, elektris
-- Lain-lain
Kelompok hunian mewah seperti rumah
mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya, adalah:
Rumah dan town house dari jenis non
strata title, dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih.
Apartemen, kondominium, town house
dari jenis strata title, dan sejenisnya, dengan luas bangunan 150 m2 atau
lebih.
|
ex 7321.11.00.00
ex 7321.19.00.00
ex 7321.81.00.00
ex 7321.89.00.00
ex 8418.10.10.90
ex 8418.21.00.90
ex 8418.29.00.90
ex 8418.29.00.90
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NO
|
URAIAN
BARANG
|
NOMOR
HS
|
c.
c.1
c.2
c.3
c.4
d.
d.1
|
Kelompok
pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain
yang disebut dalam Lampiran I
Aparatus
penerima untuk televisi, digabung atau tidak dengan penerima siaran radio
atau aparatus perekam atau pereproduksi suara atau video; monitor video:
- Aparatus
penerima untuk televisi berukuran di atas 43 inch
--Set top box yang
mempunyai fungsi komunikasi (ITAI/B-203)
-- PCA untuk
digunakan dengan mesin ADP (ITAI/B-199)
-- Lain-lain
- Monitor
video berwarna di atas 43 inch
-- Monitor
tipe FPD untuk data video dan komputer, untuk overhead projektor(ITAI/B-200)
-- Lain-lain
- Proyektor
video:
-- mempunyai
kapasitas untuk memproyeksikan pada layar berukuran 300 inci atau lebih
-- Proyektor
data video dan komputer tipe FPD (ITAI/B-200)
-- Lain-lain
Antena dan
reflektor antena dari segala jenis; selain yang digunakan untuk keperluan
penyiaran radio atau televisi, usaha jasa telekomunikasi, dan yang digunakan
untuk alat radar, alat radio pembantu navigasi dan alat radio kendali jarak
jauh.
Antena dan
reflektor antena dari segala jenis untuk penerima siaran radio atau televisi
dengan nilai impor atau harga jual Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau
lebih per set atau per unit.
Kelompok
mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering, pesawat
elektromagnetik, dan instrumen musik, selain yang disebut dalam Lampiran I.
Mesin
pengatur suhu udara, terdiri dari kipas yang digerakkan dengan motor dan
elemen untuk mengubah suhu dan kelembaban udara, termasuk mesin tersebut yang
tidak dapat mengatur kelembaban udara secara terpisah.
- Dari tipe jendela
atau dinding, dengan kapasitas pendingin di atas 2 PK sampai dengan 3 PK
- Dari jenis yang
digunakan untuk orang, di dalam kendaraan bermotor
|
ex 8528.71.10.00
ex 8529.90.55.00
ex 8528.71.90.00
ex 8528.72.10.00
ex 8528.72.90.00
ex 8528.49.10.00
ex 8528.59.10.00
ex 8528.49.10.00
ex 8528.59.10.00
8528.69.00.00
8528.69.00.00
8528.69.00.00
ex 8529.10.99.00
ex 8529.10.99.00
ex 8415.10.10.00
8415.20.00.00
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NO
|
URAIAN
BARANG
|
NOMOR
HS
|
d.2
d.3
d.4
d.5
d.6
e.
|
Mesin pencuci piring, dari tipe rumah tangga:
- dioperasikan
secara elektrik
- tidak dioperasikan secara elektrik
Mesin
pengering dengan kapasitas linen kering tidak melebihi 10 kg dari jenis yang
dipakai untuk rumah tangga.
Microwave
oven
Piano
termasuk piano otomatis; harpsichord dan instrumen keyboard bersenar lainnya
- Piano
tegak
- Grand
Piano
- Lain-lain
Instrumen
musik, dengan suara yang dihasilkan, atau harus diperkuat, secara elektrik (misalnya
: organ, gitar, akordeon).
- Instrumen
keyboard, selain akordeon
- Lain-lain
Kelompok wangi-wangian.
Parfum dan cairan pewangi yang siap
untuk dijual eceran dengan nilai impor atau harga jual Rp. 2.000,00 (dua ribu
rupiah) atau lebih per ml.
|
8422.11.10.00
8422.11.20.00
ex 8451.21.00.00
8516.50.00.00
9201.10.00.00
9201.20.00.00
9201.90.00.00
9207.10.00.00
9207.90.00.00
ex 3303.00.00.00
|
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Salinan sesuai dengan aslinya,
Kepala Biro Umum
u.b.
Kepala Bagian T.U. Departemen
ttd
Antonius Suharto
NIP 060041107
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 137/PMK.011/2008
TANGGAL 7 OKTOBER 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya
saing bagi industri elektronika nasional perlu dilakukan pengaturan kembali
terhadap jenis barang kena pajak berupa televisi, mesin cuci, dan kamera yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana tersebut pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
5 dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 145 TAHUN 2000
tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 TAHUN 2006
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004
tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor
yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG
JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG
DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Mengubah Lampiran I Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008
sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan ini.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 7 Oktober 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-8/PJ/2010
TANGGAL 1 MARET 2010
TENTANG
SAAT TERUTANGNYA
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Saat Terutangnya Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah dari Pusat ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah Antar Cabang;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN
BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG.
Pasal 1
(1) Dalam hal Pengusaha mempunyai lebih dari
satu tempat pajak terutang, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan,
maka Pengusaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
setiap tempat pajak terutang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku dalam hal Pengusaha melakukan pemusatan tempat pajak terutang.
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh Pengusaha Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah antar cabang, terutang
Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Dalam hal pusat atau cabang yang
menyerahkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah Pengusaha Kena Pajak
yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, atas penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terutang Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
(5) Saat terutangnya Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dari Pengusaha Kena Pajak pusat atau cabang kepada pihak lain.
Pasal 2
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-428/PJ./2002
tentang Saat Terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Dari Pusat Ke Cabang atau Sebaliknya dan
Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 1 Maret 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-48/PJ/2008
TANGGAL 16 DESEMBER 2008
TENTANG
TATA CARA
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 9 ayat (13) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
b. bahwa untuk meningkatkan pengamanan
penerimaan negara dengan tetap memperhatikan pelayanan prima kepada masyarakat
Wajib Pajak dan untuk memberikan kepastian hukum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
4. Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000
tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah
Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4061) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah nomor 24 TAHUN 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4199);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.03/2007
tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007
tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007
tentang Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih
Bayar Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Yang Dapat Diberikan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;
9. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-406/PJ/2001 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-359/PJ./2003;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang dimaksud dengan:
1. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai, atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
2. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha
Kena Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
3. Pengusaha Kena Pajak Kriteria Tertentu
adalah Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007.
4. Pengusaha Kena Pajak Yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu adalah Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
5. Pengusaha Kena Pajak Tertentu adalah
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3 atau angka 4.
6. Kelebihan
pembayaran pajak adalah:
a. Kelebihan
Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000; atau
b. Kelebihan
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dalam
hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
7. Permohonan pengembalian adalah
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang disampaikan oleh
Pengusaha Kena Pajak melalui:
a. Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang mencantumkan tanda permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dengan cara mengisi kolom “Dikembalikan
(restitusi)”; atau
b. Surat
permohonan tersendiri, apabila kolom “Dikembalikan (restitusi)” dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak diisi atau tidak mencantumkan
tanda permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
8. Surat Ketetapan Pajak adalah surat
ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
9. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
10. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Tertentu sebagaimana
dimaksud pada angka 5.
11. Penelitian adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.
12. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan
secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 2
(1) Permohonan pengembalian disampaikan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Permohonan pengembalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Pasal 3
(1) Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dilengkapi dengan Faktur Pajak dan/atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang selanjutnya disebut dengan
kelengkapan permohonan pengembalian, yang terkait dengan kelebihan pembayaran
pajak.
(2) Dalam hal permohonan pengembalian
diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Tertentu, kelengkapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak wajib disampaikan.
Pasal 4
Pengujian keabsahan kelengkapan
permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan Kebijakan Pemeriksaan Pajak.
Pasal 5
(1) Kelengkapan permohonan pengembalian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat disampaikan secara lengkap
bersamaan dengan penyampaian permohonan pengembalian, atau disusulkan setelah
disampaikannya permohonan pengembalian;
(2) Dalam hal kelengkapan permohonan
pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disusulkan, Pengusaha
Kena Pajak harus menyampaikan seluruh kelengkapan permohonan pengembalian
paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan.
(3) Dalam hal kelengkapan permohonan
pengembalian disusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor
Pelayanan Pajak dapat menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan
pengembalian sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(4) Dalam hal Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan pengembalian kepada
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka kelengkapan
permohonan pengembalian yang disusulkan tetap harus dilengkapi seluruhnya
paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan.
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak
menyampaikan atau kurang menyampaikan kelengkapan permohonan pengembalian dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), Direktur Jenderal
Pajak melakukan pemeriksaan berdasarkan kelengkapan permohonan pengembalian
yang diterima dengan memberitahukan pemrosesan permohonan pengembalian
berdasarkan data atau dokumen yang ada sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(6) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyampaikan
kelengkapan permohonan pengembalian setelah 1 (satu) bulan sejak saat
diterimanya permohonan, maka bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut tidak
diperhitungkan dalam pemeriksaan, keberatan, dan banding.
Pasal 6
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
permohonan diterima.
(2) Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Tertentu, harus menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 1 (satu) bulan
sejak saat diterimanya permohonan.
Pasal 7
(1) Dalam hal permohonan pengembalian yang
diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Tertentu meliputi kelebihan pembayaran
akibat kompensasi Masa Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak menjadi Pengusaha
Kena Pajak Tertentu, Direktur Jenderal Pajak wajib melakukan pemeriksaan pajak
atas SPT Masa PPN yang menyatakan kelebihan pembayaran yang dikompensasikan
tersebut.
(2) Pengusaha Kena Pajak Tertentu yang
mengajukan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan dokumen kelengkapan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 8
Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak, permohonan pengembalian yang diajukan dianggap dikabulkan dan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak harus diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu tersebut berakhir.
Pasal 9
Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat melakukan pemeriksaan
pajak yang meliputi semua jenis pajak.
Pasal 10
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat melakukan
pemeriksaan kepada Pengusaha Kena Pajak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 5 dan menerbitkan surat ketetapan pajak.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Pengusaha Kena Pajak Tertentu wajib membayar
jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) atau Pasal 17D ayat (5) Undang-Undang nomor 6
TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Pasal 11
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (5), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9, dan Pasal 10
ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang pemeriksaan.
Pasal 12
Untuk permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2008 yang telah
diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak atau disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak
ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, diberlakukan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-122/PJ./2006.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini mulai berlaku Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-122/PJ./2006
tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 Desember 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN NASUTION
Lampiran
I
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-48/PJ/2008
Tanggal : 16 Desember 2008
DEPARTEMEN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK …………………..
KANTOR PELAYANAN
PAJAK …….
(alamat, nomor
telepon dan nomor faksimili)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nomor : (tanggal,
bulan, tahun)
Sifat : Biasa
Hal : Permintaan kelengkapan permohonan pengembalian
PPN
Yth. ……………………..
…………………………….
…………………………....
Sehubungan
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak Masa Pajak …………………. yang
Saudara ajukan dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN Masa
Pajak ………………../dengan surat permohonan nomor ……………. tanggal ……….. hal ……………*), dengan
ini Saudara diminta untuk segera menyampaikan kelengkapan permohonan
pengembalian yang dipersyaratkan yakni Faktur Pajak atau dokumen yang
dipersamakan dengan Faktur Pajak yang terkait dengan kelebihan pembayaran pajak
yang Saudara ajukan paling lambat ………… (tanggal, bulan, tahun).
Apabila
sampai dengan jangka waktu tersebut berakhir Saudara tidak menyampaikan
kelengkapan permohonan pengembalian tersebut, atas permohonan pengembalian
Saudara akan kami proses sesuai dengan data yang ada/diterima.
Demikian
untuk dimaklumi.
Kepala Kantor,
…………………..
NIP. .…………..
*) Coret yang tidak perlu.
Lampiran
II
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-48/PJ/2008
Tanggal : 16 Desember 2008
DEPARTEMEN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK …………………..
KANTOR PELAYANAN
PAJAK …….
(alamat, nomor
telepon dan nomor faksimili)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nomor : (tanggal,
bulan, tahun)
Sifat : Biasa
Hal : Pemberitahuan Pemrosesan Berdasarkan
Data
Atau Dokumen yang Ada/Diterima
Yth. ……………………..
…………………………….
…………………………....
Sehubungan
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak Masa Pajak …………. yang
Saudara ajukan dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN Masa
Pajak ………………./dengan surat permohonan nomor ……………….. tanggal ………… hal ………………*),
dan menunjuk surat permintaan dokumen kelengkapan nomor …………. tanggal ………….. hal
Permintaan kelengkapan permohonan pengembalian PPN, serta mengingat sampai
dengan ………. (tanggal, bulan, tahun), Saudara **):
a. tidak menyampaikan seluruh/sebagian*) kelengkapan
permohonan pengembalian yang dipersyaratkan tersebut; dan/atau
b. menyampaikan seluruh/sebagian*) kelengkapan
permohonan pengembalian yang dipersyaratkan setelah jangka waktu tersebut
berakhir.
dengan ini diberitahukan bahwa
berdasarkan Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), dan ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-48/PJ/2008, maka atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak …………. yang Saudara ajukan
tersebut kami proses hanya berdasarkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang
ada atau kami terima sampai dengan jangka waktu tersebut berakhir.
Demikian
untuk dimaklumi.
Kepala Kantor,
…………………..
NIP. .…………..
*) Coret
yang tidak perlu.
**) pilih salah satu (dalam hal PKP sudah
menyampaikan sebagian dokumen, namun sebagian lagi disampaikan setelah jangka
waktu berakhir maka tidak perlu dipilih).
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-37/PJ/2010
TANGGAL 10 MARET 2010
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-8/PJ/2010 TENTANG SAAT TERUTANGNYA PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG
MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG
Bersama ini disampaikan salinan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2010 tentang Saat Terutangnya
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah Dari Pusat Ke Cabang Atau Sebaliknya Dan Penyerahan Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah Antar Cabang.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal Pengusaha mempunyai lebih
dari satu tempat pajak terutang, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang
perusahaan, maka Pengusaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak pada setiap tempat pajak terutang, kecuali dilakukan pemusatan tempat
pajak terutang.
2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh Pengusaha Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah antar cabang, terutang
Pajak Pertambahan Nilai.
3. Dalam hal pusat atau cabang yang
menyerahkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah Pengusaha Kena Pajak
yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, atas penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (2) belum terutang Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
4. Saat terutangnya Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana
dimaksud pada angka (3) ditetapkan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dari Pengusaha Kena Pajak pusat atau cabang kepada pihak lain.
5. Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-428/PJ./2002
tentang Saat Terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Dari Pusat Ke Cabang atau Sebaliknya dan
Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
6. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Demikian untuk diketahui dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Maret 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-59/PJ/2010
TANGGAL 3 MEI 2010
TENTANG
PENGGUNAAN APLIKASI E-SPT
PPN 1107 SEHUBUNGAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009
Sehubungan dengan diterbitkannya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006
tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) serta memperhatikan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor : PER-6/PJ/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang Tata Cara
Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik, dengan ini disampaikan
penegasan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa
PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT tetap menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107
yang sudah ada sampai Formulir SPT Masa PPN yang baru selesai dibuat yang
direncanakan digunakan paling lambat 1 Januari 2011.
2. Untuk Pengusaha Kena Pajak yang
menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli tanpa identitas dan Pengusaha Kena
Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dalam rangka penyerahan BKP kepada turis
asing, pelaporan dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 dilakukan dengan cara
menggunggung nilai Dasar Pengenaan Pajak dan PPN-nya pada Lampiran 1107 A
Bagian III “Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana”.
3. Bagi Pengusaha Kena Pajak Toko Ritel
yang ditunjuk melakukan penyerahan kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar
Negeri yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107,
wajib melampirkan Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada
Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada Lampiran
PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 secara manual. Daftar Rincian tersebut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN Toko Ritel yang
bersangkutan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak lainnya
yang melakukan penyerahan kepada pembeli tanpa identitas (Nama dan NPWP pembeli
tidak diisi) tidak wajib melampirkan daftar rinciannya pada saat menyampaikan e-SPT
PPN 1107 tetapi cukup mengadministrasikan rincian yang dimaksud.
4. Untuk mengakomodir apabila terjadi
Nomor Faktur Pajak yang diinput dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 A Bagian II
“Penyerahan dalam Negeri Dengan Faktur Pajak” tidak berurutan, maka Wajib Pajak
terlebih dahulu mengubah setting aplikasi e-SPT PPN 1107 pada Informasi Profile
bagian Penomoran Faktur diubah menjadi Input Manual.
5. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan Kegiatan Usaha Tertentu sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri
Keuangan Nomor : PMK-79/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010, dan menyampaikan SPT
Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 cara Penghitungan Norma, agar
terlebih dahulu mengunduh aplikasi e-SPT PPN 1107 versi 3.1 yang dapat
diperoleh pada portaldjp atau www.pajak.go.id. Penyesuaian dilakukan atas
formulasi penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Demikian untuk diketahui dan
dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 3 Mei 2010
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-75/PJ/2008
TANGGAL 16 DESEMBER 2008
TENTANG
TATA CARA
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Dengan ini disampaikan kepada Saudara
salinan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008 tentang Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berkenaan dengan
pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, hal-hal yang perlu
diperhatikan sebagai berikut:
I. Pelayanan permohonan restitusi yang
diterima oleh KPP sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008
ini antara lain:
1. Meneliti
kelengkapan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PPN berupa Faktur
Pajak dan/atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak.
2. Bukti-bukti
atau dokumen pendukung untuk menguji keabsahan Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud dalam butir 1 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak.
3. Saat
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah saat diterimanya SPT
Masa PPN dalam hal permohonan disampaikan melalui SPT Masa PPN dengan cara
mengisi kolom yang telah tersedia, atau saat diterimanya surat permohonan dalam
hal permohonan disampaikan melalui surat tersendiri.
4. Kelengkapan
permohonan restitusi dapat disampaikan secara lengkap bersamaan dengan
penyampaian permohonan atau disusulkan setelah disampaikannya permohonan
pengembalian tetapi tidak melampaui jangka waktu 1 (satu) bulan sejak saat
permohonan pengembalian diterima.
5. Mengingat
bahwa batas waktu penyelesaian permohonan pengembalian bagi PKP selain PKP
Kriteria Tertentu atau PKP Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu adalah 12 (dua
belas) bulan, sedangkan PKP selain PKP Kriteria Tertentu atau PKP Yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu diberikan waktu untuk memenuhi kelengkapan permohonan
selama 1 bulan, dengan demikian jangka waktu penyelesaian permohonan
pengembalian pembayaran pajak untuk PKP selain PKP Kriteria Tertentu atau PKP
Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, oleh KPP praktis hanya 11 bulan.
6. Dalam
rangka pelayanan kepada Wajib Pajak, Kepala KPP dapat menerbitkan surat
permintaan kelengkapan permohonan restitusi kepada PKP agar permohonan
pengembalian yang diajukannya dapat segera diproses. Dalam hal Kepala KPP
menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan restitusi, disarankan agar
surat tersebut disampaikan melalui faksimili sehingga PKP dapat segera memenuhi.
7. Dalam
hal PKP selain PKP Kriteria Tertentu atau PKP Yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu tidak menyampaikan atau kurang menyampaikan kelengkapan permohonan
restitusi sampai dengan jangka waktu untuk memenuhi kelengkapan permohonan
pengembalian berakhir, maka permohonan pengembalian diproses berdasarkan
kelengkapan yang ada/diterima.
8. Dalam
hal permohonan pengembalian PKP diproses berdasarkan kelengkapan yang ada/diterima,
maka Kepala KPP harus memberitahukan kepada PKP dengan menerbitkan Surat
Pemberitahuan Penyelesaian Permohonan Pengembalian diproses dengan berdasarkan
kelengkapan yang ada/diterima. Penerbitan Surat Pemberitahuan oleh Kepala KPP
paling lambat adalah saat disampaikannya pemberitahuan hasil pemeriksaan.
9. Dalam
meneliti kelengkapan permohonan restitusi yang diterimanya, petugas atau
pemeriksa pajak agar mencocokkan kelengkapan tersebut dengan lembar checklist
bukti/dokumen kelengkapan permohonan pengembalian PPN yang dibuat PKP. Selain
itu, petugas atau pemeriksa pajak juga harus mencantumkan jumlah masing-masing
dokumen yang diterima. Demikian juga apabila terdapat kelengkapan yang masih
harus disampaikan agar diberitahukan kepada PKP.
10. Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12
(dua belas) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.
11. Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian yang
diajukan oleh PKP Kriteria Tertentu menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya
permohonan pengembalian.
12. Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian yang
diajukan oleh PKP Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu harus menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 1 (satu) bulan
sejak saat diterimanya permohonan pengembalian.
II. Pemeriksaan
dalam rangka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
1. Tata
Cara pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang pemeriksaan.
2. Dalam
hal permohonan pengembalian yang diajukan oleh PKP Kriteria Tertentu atau PKP
Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu meliputi kelebihan pembayaran akibat
kompensasi dari Masa Pajak sebelum PKP ditetapkan sebagai PKP Kriteria Tertentu
atau sebelum PKP Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, Direktur Jenderal Pajak wajib
melakukan pemeriksaan pajak atas SPT Masa PPN yang menunjukkan kelebihan
pembayaran yang dikompensasikan tersebut, pada kesempatan pertama sesuai
ketentuan yang berlaku di bidang pemeriksaan.
3. Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap PKP Kriteria Tertentu atau
PKP Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu dan menerbitkan surat ketetapan pajak
setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
4. Pada
saat pemeriksaan berlangsung, dalam hal diperlukan untuk lebih meyakinkan
transaksi maka pemeriksa dapat meminta atau meminjam buku-buku, catatan-catatan,
atau dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan permohonan pengembalian yang
diajukan PKP.
5. Apabila
dalam melakukan pemeriksaan ditemukan adanya data ekspor atau impor yang tidak
diyakini kebenarannya, maka:
a. terhadap ekspor tersebut tidak dapat
diterapkan pengenaan PPN dengan tarif 0% (nol persen);
b. terhadap
impor tersebut tidak dapat diakui pengkreditan Pajak Masukan-nya.
6. Yang
dimaksud dengan tidak dapat diterapkan pengenaan PPN dengan tarif 0% (nol
persen) bahwa ekspor yang dilaporkan oleh PKP dalam SPT Masa PPN Masa Pajak
yang dimohonkan pengembaliannya:
a. tidak dapat diakui sebagai ekspor
karena tidak ada bukti atau dokumen yang dapat meyakinkan pemeriksa tentang
kebenaran ekspor tersebut;
b. apabila bukti atau dokumen yang ada
atau diperoleh justru meyakinkan pemeriksa bahwa transaksi tersebut adalah
penjualan dalam negeri atau lokal, maka atas transaksi tersebut diterapkan
tarif 10% (sepuluh persen);
c. apabila berdasarkan bukti atau dokumen
yang ada, pemeriksa tidak dapat meyakini kebenaran ekspor sebagai ekspor maupun
penyerahan dalam Daerah Pabean atau penjualan lokal, maka pemeriksa harus
melakukan pemeriksaan yang lebih mendalam terhadap kebenaran Pajak Masukan.
7. Dalam
hal hasil pemeriksaan pada butir 6 huruf c, ternyata tidak terdapat data atau
bukti apapun juga yang mendukung bahwa Pajak Masukan yang telah dikreditkan
oleh PKP Faktur Pajaknya benar, baik secara formal maupun material, maka atas
Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, atau pemeriksa dapat
menindaklanjutinya dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di bidang pemeriksaan.
8. Agar
pemeriksa meneliti SPT Masa PPN Masa Pajak yang dimintakan pengembalian oleh
PKP, apakah terdapat penyerahan yang tidak dikenakan PPN (karena yang
diserahkan bukan BKP/JKP), atau yang dibebaskan dari pengenaan PPN, atau
penyerahan kepada PKP di Kawasan Berikat yang mendapat fasilitas PPN tidak
dipungut, sehingga dapat diketahui apakah PKP telah melaksanakan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan.
9. Dalam
hal terdapat penyerahan kepada PKP di Kawasan Berikat, diminta agar pemeriksa
meneliti kebenaran PKP sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB). Apakah BKP
yang dibelinya dapat diberikan fasilitas PPN tidak dipungut. Demikian juga
terhadap permohonan pengembalian yang diajukan oleh PKP penerima fasilitas
Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE) agar pemeriksa meneliti apakah
terdapat penyerahan BKP kepada pengusaha di Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL)
mengingat PKP penerima fasilitas KITE sebenarnya harus mengekspor BKP hasil
produksinya.
10. Agar
pemeriksa memperhatikan data-data suspect list pada Surat Edaran tentang Daftar
Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah dan pada intranet DJP dan atau Surat Edaran
lain yang berkenaan dengan pelaksanaan konfirmasi dan langkah-langkah
penanganan Faktur Pajak Tidak Sah.
III. Ketentuan
Penutup dan Peralihan.
1. Dengan
diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008 tentang
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian
dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dinyatakan tidak
berlaku.
2. Permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang belum diterbitkan surat keputusan
untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2008 yang diterima oleh Kantor
Pelayanan Pajak atau disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak ke Kantor Pelayanan
Pajak sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, diberlakukan
ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-122/PJ/2006 tentang
Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
3. Permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang belum diterbitkan surat keputusan
untuk Masa Pajak Januari 2008 dan Masa Pajak berikutnya berlaku ketentuan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008 tentang Jangka Waktu
Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan
Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
IV. Lain-lain
Agar dalam penyelesaian permohonan
restitusi petugas pajak (kepala kantor, kepala seksi, Korlak/AR, pelaksana, ataupun
pemeriksa pajak) mematuhi prosedur dan tata cara serta ketentuan yang berlaku
dalam pelaksanaan penyelesaian permohonan restitusi tersebut, yang dimulai dari
proses penerimaan SPT Masa PPN (baik sebagai permohonan pengembalian maupun
sebagai kewajiban PKP untuk melaporkan kegiatannya), pemeriksaan, penerbitan
SKPLB atau SKPPKP, sampai dengan proses penerbitan SPMKP.
Dengan terbitnya Surat Edaran ini, maka
penegasan yang diberikan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.53/2006
tanggal 15 Agustus 2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar