Jumat, 07 Desember 2012

Pph 26




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 82/PMK.03/2009 TANGGAL 22 APRIL 2009
TENTANG
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan dari Penjualan Atau Pengalihan Harta Di Indonesia, Kecuali yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;

Mengingat         :
1.         Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2.         Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 2
(1)        Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajb Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
(2)        Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3)        Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.
(4)        Penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

Pasal 3
(1)        Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
(2)        Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Pasal 4
(1)        Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memotong dan menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi pada Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2)        Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.
(3)        Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemotong, tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           22 April 2009

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 139/PMK.03/2010 TANGGAL 11 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3d) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3e) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Keputusan Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2.         Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra yang berlaku.

Pasal 2
(1)        Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
(2)        Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.
(3)        Biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.

Pasal 3
(1)        Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
(2)        Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.
(3)        Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.
(4)        Atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5)        Dalam rangka menentukan kembali besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji karyawan asing.

Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           11 Agustus 2010

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Agustus 2010

MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 385




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 258/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI


MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2a) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI.

Pasal 1
(1)        Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (special purpose company atau conduit company), dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, atau penjualan atau pengalihan bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2)        Perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) yang dibentuk untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3)        Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(4)        Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.
(5)        Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bersifat final.
(6)        Terhadap penjual yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri yang merupakan penduduk dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.

Pasal 2
(1)        Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri, dipotong pajak oleh pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
(2)        Dalam hal saham dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.         pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan
b.         badan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual.

Pasal 3
(1)        Pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemotong Pajak Penghasilan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(2)        Pemotong Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3)        Pajak yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemungut Pajak Penghasilan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(4)        Pemungut Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

Pasal 4
Pemotong Pajak Penghasilan dan/atau pemungut Pajak Penghasilan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           31 Desember 2008

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-16/PJ/2011 TANGGAL 6 JUNI 2011
TENTANG
TATA CARA PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK .03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap Atas Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
TATA CARA PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK.

Pasal 1
(1)        Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
(2)        Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 2
(1)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) meliputi:
a.         pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman kembali;
b.         pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan; dan/atau
c.         pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan.
(2)        Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disampaikan dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan dan sedikitnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a.         identitas Wajib Pajak meliputi nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat Wajib Pajak, dan Jenis Usaha Wajib Pajak;
b.         identitas Wajib Pajak luar negeri induk Bentuk Usaha Tetap meliputi nama Wajib Pajak, Nomor Identitas Wajib Pajak sesuai ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan, alamat Wajib Pajak dan Jenis Usaha Wajib Pajak;
c.         jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan tahun pajak yang bersangkutan;
d.         bentuk penanaman kembali.
(3)        Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disampaikan dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali dan sedikitnya memuat hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah dengan informasi sebagai berikut:
a.         jumlah realisasi penanaman kembali;
b.         tahun dilakukan realisasi penanaman kembali.
(4)        Penanaman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sudah dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya setelah diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan.
(5)        Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai perusahaan yang baru didirikan, meliputi:
a.         identitas perusahaan baru meliputi nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat perusahaan, dan jenis usaha perusahaan;
b.         nomor, tanggal dan nama notaris akte pendirian perusahaan, beserta foto kopi akte pendirian perusahaan dimaksud;
c.         jumlah penyertaan modal pada perusahaan baru;
d.         saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial.
(6)        Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a.         identitas perusahaan yang dilakukan penyertaan modal meliputi nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat perusahaan, dan jenis usaha perusahaan;
b.         nomor, tanggal dan nama notaris akte penyertaan modal, beserta foto kopi akte penyertaan modal dimaksud;
c.         foto kopi dokumen pendukung yang relevan apabila tidak terdapat akte penyertaan modal;
d.         jumlah penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan; dan
e.         saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha.
(7)        Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali berupa pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a.         jenis dan alamat/lokasi aktiva tetap;
b.         kuantitas dan nilai/harga perolehan aktiva tetap;
c.         bukti kepemilikan atas aktiva tetap;
d.         nomor dan tanggal perjanjian pembelian aktiva tetap; dan
e.         foto kopi bukti kepemilikan atas aktiva tetap dan perjanjian pembelian atas aktiva tetap dimaksud.
(8)        Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan penanaman kembali berupa investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a.         jenis aktiva tidak berwujud;
b.         nilai investasi aktiva tidak berwujud; dan
c.         foto kopi dokumen pendukung mengenai investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud.
(9)        Saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d, harus diberitahukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya setelah tahun dilakukan realisasi penanaman kembali.

Pasal 3
(1)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau oleh pihak lain yang diberi kuasa oleh Wajib Pajak.
(2)        Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pihak lain yang diberi kuasa oleh Wajib Pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
(3)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(4)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a disampaikan dengan melampirkan pemberitahuan tersebut pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(5)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan dengan melampirkan pemberitahuan tersebut pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak berikutnya setelah diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(6)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dilakukan Wajib Pajak minimal dalam 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak tahun realisasi penyertaan modal, perolehan aktiva tetap, atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.

Pasal 4
(1)        Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) secara lengkap.
(2)        Dalam hal pemberitahuan tidak disampaikan atau tidak diisi secara lengkap, maka Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.
(3)        Dalam hal pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak diisi secara lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak penerima pemberitahuan tersebut memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang kekurangan dalam pemberitahuan tersebut.
(4)        Wajib Pajak dapat membetulkan atau melengkapi pemberitahuan tersebut selambat lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal pemberitahuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tersebut dikirim.
(5)        Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan atau melengkapi pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.

Pasal 5
Bentuk Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           6 Juni 2011

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
A. FUAD RAHMANY



PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-24/PJ/2010 TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ./2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal I
Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1)        Dokumen SKD yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] atau Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2)        Dokumen SKD yang ditetapkan dalam Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam hal:
a.         WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
                        b.         WPLN bank; atau
                        c.         WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia.
(3)        Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
a.         menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
                        b.         telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
                        c.         telah ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B;
d.         telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
e.         disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
(4)        Dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi ketentuan pada ayat (3) butir d, WPLN dianggap memenuhi persyaratan administratif apabila ketentuan-ketentuan pada ayat (3) butir a, b, c, dan e dipenuhi, dan WPLN melampirkan surat keterangan domisili yang lazim disahkan atau diterbitkan oleh negara mitra P3B yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
                        a.         menggunakan bahasa Inggris;
                        b.         diterbitkan pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010;
                        c.         berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong/Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
                        d.         sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai nama WPLN; dan
                        e.         mencantumkan tanda tangan pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(5)        Persyaratan tidak terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dianggap terpenuhi apabila dalam lembar kedua Lampiran II [Form-DGT 1]:
a.         dalam hal WPLN adalah orang pribadi, WPLN tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b.         dalam hal WPLN adalah badan, WPLN merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur; atau
                        c.         dalam hal WPLN adalah badan:
1)         bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab bahwa pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; atau
2)         bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab:
a)         pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
b)         kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
                                                c)         perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan
                                                d)         mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
                                                e)         penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
f)          tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(6)        Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(7)        Dalam hal terdapat ketentuan dalam suatu P3B yang mengatur bahwa pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga-lembaga yang dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu, maka pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga dimaksud tidak perlu menyampaikan SKD untuk keperluan penerapan ketentuan dalam P3B tersebut.

Pasal II
Ketentuan Pasal 5 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1)        SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(2)        SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] lembar pertama dan dalam Lampiran III [Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) mempunyai masa berlaku sebagai dasar penerapan P3B sampai dengan 12 (dua belas) bulan sejak bulan SKD disahkan atau setelah bulan surat keterangan domisili yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B diterbitkan atau disahkan.

 Pasal III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           30 April 2010

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-25/PJ/2010 TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat         :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal I
Ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1)        Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
a.         transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b.         transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
c.         penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
(2)        Kriteria beneficial owner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner.

Pasal II
Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1)        Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
                        a.         bertindak tidak sebagai Agen;
                        b.         bertindak tidak sebagai Nominee; dan
                        c.         bukan Perusahaan Conduit.
(2)        Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dianggap tidak melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
                        a.         Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
                        b.         lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B;
c.         WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d.         perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e.         dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B;
                        f.          bank; atau
                        g.         perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)         bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu : pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B;
2)         bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu:
i)          pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
ii)          kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
                                                iii)         perusahaan mempunyai pegawai; dan
                                                iv)         mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
                                                v)         penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
vi)         tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3)        Perusahaan Conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung.
(4)        Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5)        Pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.
(6)        Pengertian "kegiatan atau usaha aktif" sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir iv) diartikan sesuai dengan keadaan WPLN dan dapat mempunyai makna kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk dalam hal WPLN melakukan kegiatan yang signifikan yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan entitas.
(7)        Pengertian "penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya" sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir v) adalah kondisi WPLN berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan di negaranya, dimana WPLN merupakan subjek yang terutang pajak di negaranya dan penghasilan yang bersumber dari luar negeri merupakan objek pajak, meskipun pada akhirnya subjek pajak tersebut tidak terutang pajak secara legal, antara lain karena penghasilan tersebut terkena tarif pajak 0%, dibebaskan dari pengenaan pajak oleh ketentuan yang spesifik dengan memenuhi persyaratan tertentu, atau secara ekonomis tidak menanggung beban pajak, antara lain karena pajak yang terutang ditanggung oleh pemerintah di luar negeri, ditangguhkan, atau tidak dipungut.
(8)        Pengertian "tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain" sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir vi) adalah tidak lebih 50% dari seluruh penghasilan WPLN, dalam jenis apapun atau sumber manapun, sebagaimana diungkapkan dalam laporan keuangan entitas WPLN sendiri (non konsolidasi) yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain, tidak termasuk pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya dan pembagian keuntungan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham.

Pasal III
Ketentuan Pasal 6 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1)        Dalam hal WPLN tidak melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, WPLN berhak memperoleh manfaat P3B.
(2)        Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.

Pasal IV
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           30 April 2010

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-32/PJ/2011 TANGGAL 11 NOPEMBER 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, dipandang perlu melakukan perubahan beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4.         Peraturan Pemerintah nomor 80 TAHUN 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, diubah sebagai berikut:
1.         Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
            Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
            1.         Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009.
            2.         Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
            3.         Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009.
            4.         Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
            5.         Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
            6.         Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
            7.         Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
            8.         Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
2.         Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
            (1)        Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
            (2)        Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
                        a.         perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;
                        b.         perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
                        c.         transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
3.         Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
            (1)        Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
            (2)        Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
                        a.         melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
                        b.         menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
                        c.         menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
                        d.         mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
            (3)        Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ALP) mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
            (4)        Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4.         Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
            (1)        Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
                        a.         transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal:
                                    1)         tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
                                    2)         terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
                        b.         dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar.
                        c.         dalam hal Data Pembanding Internal yang tersedia sebagaimana dimaksud pada huruf b bersifat insidental, maka Data Pembanding Internal dimaksud hanya dapat dipergunakan dalam transaksi yang bersifat insidental antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
            (2)        Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5.         Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
            (1)        Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
            (2)        Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
            (3)        Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal harus memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan.
            (4)        Dalam hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal tidak diperlukan.
            (5)        Data Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun database lainnya.
6.         Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
            (1)        Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
            (2)        Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
            (3)        Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
                        a.         struktur organisasi dan posisi perusahaan yang diuji dalam kelompok usaha serta manajemen mata rantai (supply chain management) kelompok usaha;
                        b.         fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen serta karakteristik utama perusahaan seperti jasa maklon (toll manufacturing), manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas (contract manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully fledge manufacturing);
                        c.         jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan Harta Tidak Berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
                        d.         risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.
7.         Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
            (1)        Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis.
            (2)        Dalam hal tidak terdapat dokumen tertulis, hubungan kontrak para pihak dapat ditentukan dari peran/perilaku para pihak atau prinsip ekonomi, yang umumnya mengatur hubungan para pihak tersebut.
8.         Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
            (1)        Analisis keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan dalam pasar tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
            (2)        Keadaan ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat kesebandingan pasar mencakup:
                        a.         Lokasi geografis;
                        b.         ukuran pasar;
                        c.         tingkat persaingan dalam pasar serta posisi persaingan antara penjual dan pembeli;
                        d.         ketersediaan barang atau jasa pengganti;
                        e.         tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar baik secara keseluruhan maupun regional;
                        f.          daya beli konsumen;
                        g.         sifat dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
                        h.         biaya produksi termasuk biaya tanah, upah tenaga kerja, dan modal; biaya transportasi; dan tingkatan pasar;
                        i.          tanggal dan waktu transaksi; dan sebagainya.
9.         Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
            (1)        Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (The Most Appropiate Method).
            (2)        Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diterapkan adalah:
                        a.         Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
                        b.         Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
                        c.         Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
                        d.         Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
                        e.         Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
            (3)        Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
            (4)        Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
            (5)        Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
            (6)        Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).
            (7)        Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
            (8)        Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
                        a.         kelebihan dan kekurangan setiap metode;
                        b.         kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
                        c.         ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
                        d.         tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
            (9)        Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) antara lain adalah:
                        a.         barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
                        b.         kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
            (10)       Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) antara lain adalah:
                        a.         tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
                        b.         pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
            (11)       Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) antara lain adalah:
                        a.         barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
                        b.         terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
                        c.         bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
            (12)       Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
                        a.         transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
                        b.         terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
            (13)       Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
                        a.         salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi yang khusus; atau
                        b.         salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
            (14)       Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10.        Pasal 12 dihapus.
11.        Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
            (1)        Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
            (2)        Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
                        a.         penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
                        b.         nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak untuk keperluannya;
            (3)        Penyerahan atau perolehan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau komersial yang dapat menambah nilai atas penyerahan atau perolehan jasa dimaksud.
            (4)        Dalam menentukan nilai transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus diterapkan melalui Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.
            (5)        Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha.
            (6)        Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk biaya atau pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan:
                        a.         kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya pengurus perusahaan induk;
                        b.         kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak;
                        c.         perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib Pajak.
12.        Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
            (1)        Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
            (2)        Harta Tidak Berwujud (Intangibles) adalah suatu aktiva yang pada umumnya memiliki masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta memiliki kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya tidak untuk dijual kembali, seperti paten, hak cipta atau merek dagang.
            (3)        Harta Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) dan Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles).
            (4)        Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) pada umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan pengembangan yang berisiko dan mahal, sehingga pemiliknya berusaha mengganti pengeluaran tersebut melalui penjualan barang, perjanjian lisensi atau kontrak jasa.
            (5)        Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles) meliputi antara lain merek dagang atau nama dagang yang membantu meningkatkan pemasaran dari barang dan jasa, daftar pelanggan, dan saluran distribusi.
            (6)        Merek Dagang adalah nama, simbol atau gambar yang unik yang dimiliki sebagai identitas dari suatu barang atau jasa tertentu yang dihasilkan oleh pabrikan atau dealer, dimana penggunaannya oleh pihak lain diatur oleh hukum domestik atau hukum internasional.
            (7)        Transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
                        a.         transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
                        b.         terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
                        c.         transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
            (8)        Transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
                        a.         transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi; dan
                        b.         nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding.
            (9)        Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) harus dipertimbangkan antara lain:
                        a.         keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas Harta Tidak Berwujud;
                        b.         eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
                        c.         keberadaan hak pihak yang memperolah Harta Tak Berwujud untuk turut serta dalam pengembangan harta dimaksud.
13.        Diantara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
            (1)        Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk berbagi risiko dari mengembangkan, menghasilkan atau mendapatkan aset, jasa atau hak, dan untuk menentukan fungsi dan peranan para pihak dalam kesepakatan atas aset, jasa atau hak dimaksud.
            (2)        Para pihak dalam Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) berhak untuk mendapatkan manfaat pelaksanaan Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) sebagai pemilik efektif (effective owners).
            (3)        Dalam hal terdapat Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements), maka kontribusi biaya antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dibandingkan dengan kontribusi biaya dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
14.        Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
            (1)        Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
            (2)        Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
            (3)        Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumentasi dalam melaporkan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang terdiri dari satu set dokumen induk dan satu set lampiran dari dokumen induk.
            (4)        Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi.
            (5)        Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
                        a.         gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
                        b.         kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
                        c.         hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
                        d.         pembanding yang terpilih;
                        e.         catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode yang tidak dipilih.
15.        Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
            (1)        Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
            (2)        Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
            (3)        Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib Pajak.
            (4)        Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
16.        Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
            (1)        Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment) yang dilakukan oleh:
                        a.         Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya termasuk Bentuk Usaha Tetap yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak; atau
                        b.         otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam negeri termasuk Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
            (2)        Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian penghitungan pajaknya.
17.        Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
            (1)        Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.
            (2)        Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
            (3)        Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.
18.        Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
            (1)        Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
            (2)        Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.

Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           11 November 2011

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
A. FUAD RAHMANY




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-35/PJ/2010 TANGGAL 28 JULI 2010
TENTANG
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b.         bahwa dalam menerapkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, orang atau badan yang berhak untuk memperoleh manfaat merupakan subjek pajak dalam negeri dari salah satu atau kedua negara yang membuat persetujuan;
c.         bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia untuk menikmati manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda di negara mitra perjanjian;
d.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1.         Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2.         Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh dalam rangka memperoleh manfaat P3B di 1 (satu) negara mitra P3B.
3.         Kantor Pelayanan Pajak Domisili yang selanjutnya disebut KPP Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar.
4.         Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 2
(1)        SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(2)        SKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan Form-DGT 7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini atau menggunakan formulir khusus yang diterbitkan oleh negara mitra P3B.

Pasal 3
Wajib Pajak yang dapat memperoleh SKD adalah Wajib Pajak yang:
a.         berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh;
b.         memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
c.         bukan berstatus subjek pajak luar negeri, termasuk bentuk usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh.

Pasal 4
Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.         diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili dengan menggunakan Form-DGT 6 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b.         Form-DGT 6 sebagaimana dimaksud pada huruf a telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
c.         memuat nama negara/jurisdiksi mitra P3B tempat penghasilan bersumber;
d.         memuat penjelasan mengenai penghasilan dan pajak yang akan dikenakan di negara mitra P3B atas penghasilan dimaksud;
e.         ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan
f.          dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP, dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.

Pasal 5
(1)        KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap.
(2)        Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili menolak permohonan Wajib Pajak dalam hal:
            a.         Wajib Pajak yang mengajukan permohonan tidak memenuhi ketentuan Pasal 3;
            b.         permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 4; atau
            c.         Wajib Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun batas waktu penyampaian telah terlewati dan tidak Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
(3)        Penolakan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan Wajib Pajak diterima.

Pasal 6
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Pajak Penghasilan dan masih memerlukan SKD, Wajib Pajak harus menyampaikan kembali permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili.

Pasal 7
Masa berlaku SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali bagi Wajib Pajak bank sepanjang Wajib Pajak bank tersebut mempunyai alamat yang sama dengan SKD yang telah diterbitkan.

Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           28 Juli 2010

DIREKTUR JENDERAL PAJAK
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO

                                                                                                                                         LAMPIRAN I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-35/PJ/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

FORMULIR PERMOHONAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA
DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
(FORM-DGT 6)

I           INFORMASI WAJIB PAJAK
1.         Nama Wajib Pajak                     :           ________________________________    (1)
2.         NPWP                                      :           |_|_| |_|_|_| |_|_|_| |_| |_|_|_| |_|_|_| (2)
3.         Alamat                                      :           ________________________________
            _________________________________________________________________
            No. Telp : _________, alamat e-mail : __________________________________     (3)
II           INFORMASI WAKIL WAJIB PAJAK
1.         Nama                                        :           ________________________________    (4)
2.         NPWP                                      :           |_|_| |_|_|_| |_|_|_| |_| |_|_|_| |_|_|_| (5)
3.         Alamat                                      :           ________________________________
            _________________________________________________________________
            No. Telp : _________, alamat e-mail : __________________________________     (6)

Dalam rangka menerapkan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara/jurisdiksi sebagaimana kami sebutkan pada butir III, kami menyatakan bahwa kami adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh. Permohonan ini kami sampaikan untuk memperoleh keterangan Direktur Jenderal Pajak mengenai status kami sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia.
III.         INFORMASI NEGARA TEMPAT SUMBER PENGHASILAN DIMANA SKD AKAN DIPERGUNAKAN
            SKD diperlukan untuk memperoleh manfaat P3B atas penghasilan yang bersumber dari negara/jurisdiksi : (7)
            1.         _______________________________                  4.         _________________________
            2.         _______________________________                  5.         _________________________
            3.         _______________________________                  6.         _________________________
IV.        INFORMASI MENGENAI PENGHASILAN
Informasi mengenai penghasilan yang bersumber dari negara/jurisdiksi yang kami sebutkan pada butir III di atas adalah sebagai berikut : (gunakan kertas terpisah apabila diperlukan)

Negara sumber penghasilan : _______________ (8)
Tarif Pajak atas penghasilan di negara mitra P3B : (10)
tanpa P3B (tarif domestik) : ___%, dengan P3B : ___ %
Jenis penghasilan yang (akan) diterima : ______ (9)

Penjelasan mengenai transaksi atau kejadian yang menimbulkan penghasilan : (11)
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
V.         PERNYATAAN WAJIB PAJAK
Kami sampaikan pernyataan bahwa penghasilan yang timbul dari transaksi sebagaimana kami jelaskan pada butir IV akan kami laporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian permohonan ini kami sampaikan.

Yang mengajukan permohonan : (12)
Nama Wajib Pajak : ____________________________________________________________________
Bertindak sebagai  : |_| Wajib Pajak Sendiri |_| Pengurus |_| Kuasa (tandai kotak yang sesuai)

____________________, ______/ _____/ ______ _________________
            Tempat dan tanggal (hh/bb/tahun)                          Tanda Tangan

FORM-DGT 6

PETUNJUK PENGISIAN
FORMULIR PERMOHONAN SURAT KETERANGAN DOMISILI
BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (FORM - DGT 6)

I.          INFORMASI WAJIB PAJAK
Diisi dengan informasi mengenai Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD yang namanya akan dicantumkan dalam SKD
            Nomor (1)         :           Diisi dengan nama Wajib Pajak Pemohon.
            Nomor (2)         :           Diisi dengan NPWP sesuai dengan yang tercantum dalam Kartu NPWP Pemohon.
            Nomor (3)         :           Alamat lengkap Wajib Pajak Pemohon sesuai keadaan yang sebenarnya. Nomor telepon harus disertakan, termasuk alamat surat elektronik (e-mail) apabila ada.
II.          INFORMASI WAKIL WAJIB PAJAK
            Dalam hal permohonan Wajib Pajak disampaikan bukan oleh Wajib Pajak sendiri, bagian ini diisi dengan informasi pihak yang bertindak sebagai wakil Wajib Pajak.
            Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP, badan diwakili oleh pengurus, badan yang dinyatakan pailit diwakili oleh kurator, badan dalam pembubaran diwakili oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, badan dalam likuidasi diwakili oleh likuidator, warisan yang belum terbagi diwakili oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan diwakili oleh wali atau pengampunya.
            Nomor (4)         :           Diisi dengan nama wakil Wajib Pajak.
            Nomor (5)         :           Diisi dengan NPWP wakil Wajib Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Kartu NPWP wakil Wajib Pajak.
            Nomor (6)         :           Alamat lengkap wakil Wajib Pajak sesuai keadaan yang sebenarnya. Nomor telepon harus disertakan, termasuk alamat surat elektronik (e-mail) apabila ada.
III.         NEGARA TEMPAT SUMBER PENGHASILAN DIMANA SKD AKAN DIPERGUNAKAN
            Nomor (7)         :           Diisi dengan nama negara/jurisdiksi tempat sumber penghasilan dimana SKD akan dipergunakan. Dapat diisi lebih dari satu negara/jurisdiksi. Apabila terdapat lebih dari 6 (enam) negara, agar menggunakan kertas terpisah.
IV.        INFORMASI MENGENAI PENGHASILAN
            Diisi dengan informasi mengenai tiap-tiap penghasilan yang diperoleh atau akan diperoleh dari setiap negara/jurisdiksi.
            Nomor (8)         :           Diisi dengan nama negara/jurisdiksi sumber penghasilan di luar negeri yang merupakan negara mitra P3B Indonesia.
            Nomor (9)         :           Diisi dengan jenis penghasilan yang diperoleh atau akan diperoleh Wajib Pajak, seperti : dividen, bunga, royalti, keuntungan karena pengalihan harta, imbalan jasa, gaji, bonus, hadiah, atau jenis penghasilan lainnya.
            Nomor (10)        :           Diisi dengan tarif pajak yang akan dikenakan di negara mitra P3B. Yang dimaksud dengan "tarif pajak tanpa P3B (tarif domestik)" adalah tarif pajak berdasarkan ketentuan perpajakan di negara mitra P3B yang akan dikenakan atas penghasilan Wajib Pajak dalam hal P3B tidak diterapkan. Yang dimaksud dengan "tarif pajak dengan P3B" adalah tarif pajak berdasarkan ketentuan P3B yang akan diterapkan atas penghasilan Wajib Pajak, dimana tarif tersebut mungkin sama dengan atau lebih kecil dari tarif domestik. Diisi dengan 0% apabila penghasilan tidak dikenakan pajak/dibebaskan di negara mitra P3B.
            Nomor (11)        :           Diisi dengan penjelasan mengenai transaksi atau kejadian yang menimbulkan penghasilan, nama pihak di luar negeri yang membayarkan atau akan membayarkan penghasilan, nilai penghasilan yang diperoleh atau akan diperoleh, dan saat transaksi atau kejadian, termasuk keterangan lain yang perlu disampaikan (apabila ada). Gunakan kertas terpisah apabila diperlukan.
V.         INFORMASI MENGENAI PENGHASILAN
            Nomor (12)        :           Diisi dengan nama, tempat, dan tanggal pengajuan serta tanda tangan Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak.

                                                                                                                                       LAMPIRAN II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-35/PJ/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

MINISTRY OF FINANCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
DIRECTORATE GENERAL OF TAXES

……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….

No ………………………………………………………………, Date of issue : ………………………………………………..

CERTIFICATE OF TAXPAYER RESIDENCY

The Republic of Indonesia tax authority certifies that to the best of our knowledge:
Name of taxpayer                      :           ………………………………………………
Taxpayer Identification Number  :           ………………………………………………
Address                                                :           ………………………………………………
                                                            ………………………………………………
is a resident of Indonesia for income tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and .............. for the fiscal year……………… and has filed the income tax return for the fiscal year....................

………………………………………………………………
………………………………………………………………

cc.: Director of Tax Regulations II
This certificate is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of claiming benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and …………………………………………………………… and shall be valid for 1 (one) year from the date of issue.

FORM - DGT 7



PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-40/PJ/2010 TANGGAL 9 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah Negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b.         bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
c.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Bagi Wajib Pajak Luar Negeri;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
4.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI.

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1.         Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2.         Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3.         Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
4.         Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang adalah pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN yang seharusnya tidak dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
5.         Pejabat Yang Berwenang adalah pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam P3B.
6.         Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedures selanjutnya disebut MAP adalah prosedur yang dijalankan oleh Pejabat Yang Berwenang akibat penerapan P3B yang tidak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
7.         Kesepakatan Dalam Rangka MAP (mutual agreement) adalah kesepakatan antara Pejabat Yang Berwenang dari Indonesia dan Pejabat Yang Berwenang dari negara mitra P3B dalam rangka menjalankan MAP sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
8.         Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah formulir Certificate of Domicile of Non Resident for Claiming Tax Refund of Indonesia Tax Withholding (Form-DGT 5) yang diisi oleh WPLN.
9.         Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong/Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak.
10.        Surat Pemberitahuan Masa yang selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan penghitungan dan penyetoran atas pemotongan atau pemungutan pajak yang telah dilakukan untuk suatu Masa Pajak tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 2
Pajak Yang seharusnya Tidak Terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN meliputi:
a.         kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut Pajak lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk P3B;
b.         pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang bukan objek pajak; atau
c.         pemotongan atau pemungutan pajak yang lebih besar daripada yang seharusnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B sesuai dengan Kesepakatan Dalam Rangka MAP.

Pasal 3
(1)        Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah WPLN yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2)        Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh WPLN melalui Pemotong/Pemungut Pajak.

Pasal 4
(1)        Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
            a.         diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP dengan menggunakan Form-DGT 3 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
            b.         Form-DGT 3 sebagaimana dimaksud pada huruf a harus:
                        1)         diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
                        2)         diisi dalam bahasa Inggris;
                        3)         ditandatangani oleh WPLN;
                        4)         mencantumkan alasan permohonan WPLN secara jelas; dan
                        5)         mencantumkan jumlah pajak yang diminta untuk dikembalikan;
            c.         dilampiri dengan surat kuasa, dan
            d.         dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(2)        Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap bukan surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Tidak Seharusnya Terutang, sehingga tidak dipertimbangkan.

Pasal 5
Pemotong/Pemungut Pajak harus menyampaikan permohonan WPLN yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Kepala KPP.

Pasal 6
Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf c harus dibuat oleh WPLN dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.         menggunakan Form-DGT 4 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak;
b.         Form-DGT 4 sebagaimana dimaksud pada huruf a harus:
            1)         diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
            2)         diisi dalam bahasa Inggris;
            3)         ditandatangani oleh WPLN; dan
            4)         dilunasi Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
            5)         mencantumkan pernyataan pemberian kuasa kepada Pemotong/Pemungut Pajak untuk menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang beserta kelengkapannya ke KPP dan bertindak mewakili WPLN untuk menerima pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang.

Pasal 7
(1)        Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d terdiri dari:
            a.         SKD dengan menggunakan Form-DGT 5 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
            b.         bukti pemotongan/pemungutan pajak asli yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya tidak terutang;
            c.         surat pernyataan WPLN bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri.
            d.         dalam hal WPLN adalah subjek pajak dalam negeri dari negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia dan menerima atau memperoleh penghasilan yang pasal terkait dalam P3B memuat klausul beneficial owner, yaitu:
                        1)         nama, alamat, kewarganegaraan, dan informasi rinci mengenai dewan direksi;
                        2)         identitas dan informasi rinci mengenai pemegang saham;
                        3)         jumlah pegawai dan informasi rinci mengenai tugasnya;
                        4)         penjelasan atas investasi yang menimbulkan penghasilan;
                        5)         sumber pendanaan investasi;
                        6)         penggunaan atau rencana penggunaan penghasilan yang bersumber dari Indonesia; dan
                        7)         laporan keuangan dan surat pemberitahuan pajak untuk tahun yang mencakup saat terjadinya transaksi dan 2 (dua) tahun sebelumnya;
            e.         dokumen yang berkaitan dengan jenis penghasilan:
                        1)         bunga:
                                    a)         perjanjian pemberian atau penyediaan pinjaman/utang;
                                    b)         jurnal pencatatan penerimaan bunga;
                                    c)         rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan; dan
                                    d)         notice of interest computation;
                        2)         dividen:
                                    a)         dividend declaration dari perusahaan yang membayar dividen;
                                    b)         rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan; dan
                                    c)         surat keterangan dari pembayar dividen yang menyatakan bahwa pemohon adalah pemegang saham yang berhak menerima dividen;
                        3)         royalty, sewa, dan penghasilan lain dari penggunaan harta:
                                    a)         perjanjian yang terkait dengan penyediaan harta;
                                    b)         jurnal pencatatan penerimaan penghasilan;
                                    c)         rekening bank penerimaan dan penggunaan penghasilan; dan
                                    d)         notice of income computation;
                        4)         imbalan jasa, baik yang dilakukan oleh individu maupun badan:
                                    a)         perjanjian pemberian/penyediaan jasa;
                                    b)         pernyataan WPLN bahwa WPLN tidak menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap; dan
                                    c)         surat keterangan dari Pemotong/Pemungut Pajak mengenai lamanya pelaksanaan pemberian/penyediaan jasa di Indonesia;
                        5)         penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan di Indonesia:
                                    a)         perjanjian penjualan atau pengalihan saham; dan
                                    b)         akta pemindahan hak atas saham yang dijual atau dialihkan dari perusahaan di Indonesia yang sahamnya dijual atau dialihkan;
                        6)         premi asuransi dan premi reasuransi:
                                    a)         polis asuransi/reasuransi; dan
                                    b)         notice of premium computation;
                        7)         branch profit bentuk usaha tetap:
a)         Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bentuk usaha tetap; dan
                                    b)         surat keterangan Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang menerangkan alasan pemotongan pajak atas branch profit;
                        8)         penghasilan lainnya:
                                    a)         pernyataan Pemotong/Pemungut Pajak bahwa WPLN adalah pemilik sah atas penghasilan; dan
                                    b)         penjelasan WPLN mengenai substansi penghasilan; dan
            f.          dokumen lain yang menurut WPLN atau Pemotong/Pemungut Pajak perlu disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)        Form-DGT 5 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dipersyaratkan bagi WPLN yang merupakan subjek pajak dalam negeri di Negara/jurisdiksi mitra P3B dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
            a.         diisi oleh WPLN dengan benar, lengkap, dan jelas.
            b.         ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B;
            c.         telah disahkan oleh Pejabat Yang Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara/jurisdiksi mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B; dan
            d.         dalam hal WPLN tidak dapat memperoleh pengesahan Pejabat Yang Berwenang di negara/jurisdiksi mitra P3B pada Form-DGT-5 sebagaimana dimaksud pada huruf c, pengesahan dimaksud dapat digantikan dengan surat keterangan domisili asli yang lazim disahkan atau diterbitkan oleh negara/jurisdiksi mitra P3B dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
                        1)         menggunakan bahasa Inggris;
                        2)         sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai nama WPLN;
                        3)         menyebutkan tahun pajak yang mencakup penghasilan yang terkait dengan Pajak Yang Seharus Tidak Terutang; dan
                        4)         mencantumkan tanda tangan Pejabat Yang Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(3)        Dalam hal permohonan WPLN terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d terdiri dari:
            a.         bukti pemotongan/pemungutan pajak asli yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang; dan
            b.         fotokopi surat Kesepakatan Dalam Rangka MAP.

Pasal 8
Dalam rangka menyelesaikan permohonan WPLN, Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP:
a.         melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
b.         dapat meminta keterangan dari Pemotong/Pemungut Pajak, WPLN, Pejabat Yang Berwenang di negara mitra P3B, dan/atau pihak lain.

Pasal 9
(1)        Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang ditolak dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
            a.         WPLN merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
            b.         pajak yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
            c.         pajak yang dipotong atau dipungut telah:
                        1)         diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri,
                        2)         telah dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri, atau
                        3)         ditanggung oleh atau menjadi beban Pemotong/Pemungut Pajak;
            d.         permohonan WPLN tidak sesuai dengan ruang lingkup P3B;
            e.         terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pencegahan penyalahgunaan P3B; atau
            f.          pajak yang dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut Pajak telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
(2)        Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditolak dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
            a.         pajak yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak; atau
            b.         jumlah kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak terutang menurut permohonan WPLN lebih besar daripada jumlah kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang berdasarkan Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
(3)        Permohonan WPLN yang bukan berasal dari negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia ditolak dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
            a.         WPLN merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
            b.         pajak yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
            c.         pajak yang dipotong atau dipungut telah:
                        1)         diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri;
                        2)         dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri, atau
                        3)         ditanggung oleh atau menjadi beban Pemotong/Pemungut Pajak; atau
            d.         pajak yang dipotong atau dipungut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4)        Dalam hal terdapat pajak yang dipotong atau dipungut, namun belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak, Kepala KPP menagih pajak yang terutang kepada Pemotong/Pemungut Pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
(5)        Dalam hal SPT Masa belum dilaporkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak, Kepala KPP harus menindaklanjutinya sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 10
(1)        Setelah melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atas nama Pemotong/Pemungut Pajak q.q. WPLN, apabila terdapat Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang, paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan WPLN diterima secara lengkap.
(2)        Dalam hal permohonan WPLN ditolak, Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP harus memberitahukan secara tertulis kepada WPLN melalui Pemotong/Pemungut Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan WPLN diterima secara lengkap dan dengan menyebutkan alasan penolakannya.
(3)        Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak atas nama Pemotong/Pemungut Pajak q.q. WPLN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4)        Atas dasar Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran Pajak atas nama Pemotong/Pemungut Pajak q.q. WPLN sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mencantumkan nomor rekening bank yang berada di Indonesia milik Pemotong/Pemungut Pajak dan dengan menggunakan mata uang Rupiah.

Pasal 11
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.10/1994 tentang Restitusi Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Ketentuan Dalam PPPB dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk permohonan pengembalian Pajak Penghasilan Pasal 26 dalam rangka penerapan ketentuan P3B yang telah diajukan oleh WPLN sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 11
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           9 Agustus 2010

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-48/PJ/2010 TANGGAL 3 NOPEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b.         bahwa dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara mitra diatur mengenai Prosedur Persetujuan Bersama atau lazim disebut dengan Mutual Agreement Procedure (MAP);
c.         bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai Prosedur Persetujuan Bersama dimaksud, perlu ditetapkan prosedur baku sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya;
d.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1.         Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
2.         Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administrative yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.
3.         Pejabat yang Berwenang adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam P3B.
4.         Negara Mitra P3B adalah negara atau yurisdiksi yang mempunyai P3B dengan Indonesia yang sudah berlaku efektif.
5.         Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement adalah hasil yang telah disepakati oleh Pejabat yang Berwenang dari Indonesia dan Negara Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
6.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia adalah Subjek Pajak dalam negeri berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
7.         Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B adalah Subjek Pajak dalam negeri Negara Mitra P3B berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di negara yang bersangkutan, yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di negara tersebut.
8.         Wajib Pajak Luar Negeri adalah Subjek Pajak luar negeri berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
9.         Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan.
10.        Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
11.        Transfer Pricing adalah penentuan harga yang dilakukan dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
12.        Corresponding Adjustments yaitu koreksi atau penyesuaian atas jumlah pajak yang terutang bagi Wajib Pajak suatu negara yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak negara mitra, yang dilakukan oleh otoritas pajak negara yang bersangkutan sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak negara mitra (primary adjustments), sehingga alokasi keuntungan pada dua negara atau yurisdiksi tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda.
13.        Dual Residence adalah kondisi yang dihadapi oleh satu subjek pajak yang melakukan transaksi lintas negara atau yurisdiksi pada saat yang sama dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di masing-masing negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.

Pasal 2
MAP dilaksanakan dalam hal terdapat:
a.         permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
b.         permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku;
c.         permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
d.         hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.

BAB II
TATA CARA PENGAJUAN DAN PELAKSANAAN MAP DARI WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI INDONESIA ATAU WARGA NEGARA INDONESIA YANG
MENJADI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI NEGARA MITRA P3B

Pasal 3
(1)        Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilakukan antara lain dalam hal:
            a.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa;
            b.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
            c.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
            d.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak dalam negeri dari salah satu negara tersebut.
(2)        Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan dalam hal Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B dikenakan atau akan dikenakan pajak di Negara Mitra P3B yang lebih berat dibandingkan dengan yang dikenakan oleh Negara Mitra P3B kepada warganegaranya (kasus non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B yang berlaku).
(3)        Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B yang berlaku.

Pasal 4
(1)        Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai:
            a.         nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan;
            b.         nama, Nomor Identitas Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak di Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak yang mengajukan permintaan, khusus dalam hal terkait dengan transaksi Transfer Pricing;
            c.         tindakan yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B atau otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang telah dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
            d.         penjelasan apakah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia telah mengajukan atau akan mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, permohonan banding kepada badan peradilan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, atas hal-hal yang dimintakan MAP;
            e.         Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
            f.          penjelasan mengenai transaksi yang telah dilakukan koreksi oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang meliputi substansi transaksi, nilai koreksi, dan dasar dilakukannya koreksi;
            g.         pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan koreksi yang telah dilakukan oleh otoritas Negara Mitra P3B Indonesia;
            h.         pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permintaan untuk melaksanakan MAP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
            i.          nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan MAP; dan
            j.          ketentuan dalam P3B yang menurut Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak diterapkan secara benar dan pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atas penerapan dari ketentuan P3B tersebut, apabila permintaan MAP berkaitan dengan penerapan ketentuan P3B yang tidak semestinya.
(2)        Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau wakilnya yang sah berdasarkan ketentuan Undang-Undang KUP, dan dalam hal ditandatangani oleh kuasa, wajib dilampiri surat kuasa khusus.
(3)        Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
(4)        Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib meneliti kelengkapan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melengkapi dengan dokumen-dokumen perpajakan yang terkait yang terdapat dalam administrasi Kantor Pelayanan Pajak, untuk selanjutnya diteruskan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima lengkap.
(5)        Dalam hal permintaan MAP disampaikan tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima, yang menyatakan bahwa permintaan untuk melaksanakan MAP tidak lengkap dan meminta Wajib Pajak untuk melengkapi hal-hal yang belum lengkap.
(6)        Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7)        Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan permintaan MAP secara tertulis kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B.
(8)        Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
            a.         permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
            b.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan dimaksud; atau
            c.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud;
            paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau sejak diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
(9)        Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, termasuk meminta dokumen-dokumen pendukung dan informasi yang diperlukan, serta dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

Pasal 5
(1)        Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai:
            a.         nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan;
            b.         tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
            c.         Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
            d.         pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
            e.         nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.
(2)        Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah yang bersangkutan dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
(3)        Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)        Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan permintaan secara tertulis untuk melaksanakan MAP kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B.
(5)        Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP disampaikan setelah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permintaan untuk melaksanakan MAP dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B Indonesia yang berlaku, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalendar sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima.

Pasal 6
(1)        Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP juga mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat memproses pengajuan permintaan MAP.
(2)        Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3)        Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.

Pasal 7
 (1)       Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti permintaan MAP yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B.
(2)        Sebelum dicapainya Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B mengenai isi rancangan Persetujuan Bersama untuk memperoleh konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima isi rancangan Persetujuan Bersama.
(3)        Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B memberikan konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima kesepakatan dimaksud.
(4)        Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan.
(5)        Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6)        Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak secara tertulis.

Pasal 8
(1)        Direktur Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal:
            a.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang menyampaikan permintaan untuk melaksanakan MAP:
                        1)         menyampaikan surat pembatalan permintaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak;
                        2)         tidak menyetujui isi rancangan Persetujuan Bersama;
                        3)         tidak memenuhi seluruh permintaan data, informasi, atau dokumen yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
                        4)         menyampaikan informasi yang tidak benar kepada Direktur Jenderal Pajak; atau
            b.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang menyampaikan permintaan untuk melaksanakan MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
(2)        Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak mengenai penghentian pelaksanaan MAP, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak penghentian diputuskan.

Pasal 9
Tata Cara Pengajuan dan Pelaksanaan MAP dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang Menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

   BAB III
TATA CARA PENANGANAN PERMINTAAN MAP
DARI NEGARA MITRA P3B

Pasal 10
(1)        Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan antara lain dalam hal:
            a.         Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B;
            b.         terjadi koreksi Transfer Pricing di Indonesia atas Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
            c.         Negara Mitra P3B meminta dilakukan Corresponding Adjustments sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan otoritas Pajak negara yang bersangkutan atas Wajib Pajak dalam negerinya yang melakukan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
            d.         terjadi pemotongan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan dengan penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B; atau
            e.         penentuan negara domisili dari Wajib Pajak yang mempunyai status sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B (Dual Residence).
(2)        Direktur Jenderal Pajak dapat menolak permintaan MAP yang diajukan oleh Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Negara Mitra P3B yang bersangkutan, dalam hal tidak terdapat ketentuan mengenai Corresponding Adjustments dalam P3B Indonesia yang berlaku.

Pasal 11
(1)        Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan dimaksud terdaftar.
(2)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi mengenai:
            a.         nama Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP;
            b.         tanggal diterimanya permintaan MAP;
            c.         nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait;
            d.         nama dan alamat Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang terlibat, dalam hal terjadi kasus Transfer Pricing; dan
            e.         nama dan alamat Wajib Pajak terkait serta Tahun Pajak yang akan dibahas dalam kasus Dual Residence.

Pasal 12
(1)        Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c untuk permintaan MAP sehubungan dengan Corresponding Adjustments dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait tidak mengajukan permintaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)        Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak meminta pernyataan secara tertulis dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia untuk memastikan bahwa yang bersangkutan tidak mengajukan permintaan MAP.

Pasal 13
Dalam hal pokok permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak di Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak dimaksud mengenai permintaan MAP dari Negara Mitra P3B dan dapat meminta penjelasan mengenai dasar pemotongan atau pemungutan pajak, substansi transaksi, dan meminta dokumen yang diperlukan melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 14
Dalam menindaklanjuti permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 15
(1)        Dalam hal permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud juga mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan MAP dan memproses permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan, atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(2)        Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3)        Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan MAP.

Pasal 16
(1)        Dalam hal dipandang perlu atau atas permintaan Negara Mitra P3B Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B yang bersangkutan untuk menindaklanjuti permohonan MAP yang dilakukan oleh negara mitra dimaksud.
(2)        Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait terdaftar.
(3)        Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera menyampaikan Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.
(4)        Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5)        Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia, tindak lanjutnya dapat dilakukan berdasarkan prosedur atau tata cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 17
(1)        Direktur Jenderal Pajak dapat menolak atau menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal:
            a.         permintaan MAP disampaikan oleh Negara Mitra P3B setelah batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana ditetapkan dalam P3B;
            b.         pokok permohonan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B tidak termasuk ke dalam ruang lingkup MAP sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku;
            c.         Negara Mitra P3B membatalkan permintaan MAP;
            d.         permintaan melaksanakan MAP terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak;
            e.         Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan MAP sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B atas Wajib Pajak Dalam Negerinya, tidak mengajukan permohonan MAP;
            f.          Wajib Pajak yang diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak yang menjadi fokus dari permintaan MAP tidak memberikan seluruh dokumen yang diperlukan;
            g.         Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk melaksanakan konsultasi dalam rangka MAP karena telah terlewatinya waktu yang lama setelah penerbitan surat ketetapan pajak di Indonesia; atau
            h.         terdapat indikasi kuat bahwa pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP tidak akan menghasilkan keputusan yang tepat.
(2)        Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B bersepakat untuk menghentikan pelaksanaan MAP, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.

Pasal 18
Tata Cara Penanganan Permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

 BAB IV
PELAKSANAAN MAP ATAS INISIATIF DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Pasal 19
Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d tanpa berdasarkan permintaan dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau dari Negara Mitra P3B, untuk:
a.         meninjau ulang (me-review) Persetujuan Bersama yang telah disepakati sebelumnya karena terdapat indikasi ketidakbenaran informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia maupun Negara Mitra P3B;
b.         meminta dilakukan Corresponding Adjustments atas koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B;
c.         membuat penafsiran atas suatu ketentuan tertentu dalam P3B yang diperlukan dalam pelaksanaan P3B yang bersangkutan; atau
d.         melaksanakan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan P3B.

Pasal 20
Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta dokumen dan/atau informasi tambahan yang terkait dengan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tersebut terdaftar.

Pasal 21
(1)        Dalam hal Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP kepada Negara Mitra P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait mengenai:
            a.         tanggal pengajuan permintaan untuk melaksanakan MAP;
            b.         nama Negara Mitra P3B yang terkait;
            c.         pokok-pokok yang diajukan dalam surat permintaan MAP;
            d.         argumentasi pengajuan permintaan MAP; dan
            e.         informasi lain yang diperlukan.
(2)        Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(3)        Dalam hal tercapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.
(4)        Dalam hal pelaksanaan MAP yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dihentikan tanpa menghasilkan Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan penghentian MAP kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.

Pasal 22
Tata Cara Pelaksanaan MAP atas Inisiatif Direktur Jenderal Pajak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

BAB V
PELAKSANAAN KONSULTASI DALAM RANGKA MAP

Pasal 23
(1)        Pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2) dilakukan oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II atau oleh Tim Pelaksana/Delegasi Perunding yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan masukan dari Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2)        Direktur Peraturan Perpajakan II memberi masukan kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai direktorat, unit pelaksana teknis, dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam pelaksanaan MAP untuk menjadi bagian dari Tim Pelaksana/Delegasi Perunding.
(3)        Direktorat Peraturan Perpajakan II atau Tim Pelaksana/Delegasi Perunding menyiapkan posisi Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan MAP dan melaksanakan MAP sesuai dengan posisi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 24
(1)        Dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP terkait dengan koreksi Transfer Pricing, Direktur Jenderal Pajak dapat membentuk Tim Khusus yang mempunyai tugas menyiapkan posisi (position paper) Direktorat Jenderal Pajak, melakukan koordinasi serta supervisi atas unit-unit yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP yang terkait dengan koreksi Transfer Pricing, dan menjadi anggota delegasi perunding dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(2)        Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari perwakilan Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, dan unit pelaksana pemeriksaan yang terkait dengan koreksi Transfer Pricing yang akan dibahas dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(3)        Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta data, informasi atau dokumen yang diperlukan terkait dengan koreksi Transfer Pricing kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP.
(4)        Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak memenuhi seluruh permintaan data, informasi atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan pelaksanaan MAP tersebut.

Pasal 25
Direktur Jenderal Pajak mengembalikan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan dalam rangka pelaksanaan MAP dalam hal:
a.         pelaksanaan MAP batal untuk dilaksanakan atau dihentikan; atau
b.         telah dicapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B.

Pasal 26
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           3 November 2010

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO



PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-52/PJ/2009 TANGGAL 24 SEPTEMBER 2009
TENTANG
PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penunjukan Pemotong, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.

Pasal 1
(1)        Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
(2)        Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3)        Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari harga jual.
(4)        Penjualan atau pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

Pasal 2
(1)        Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
(2)        Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1).

Pasal 3
(1)        Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
(2)        Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.         Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris, yang melakukan pekerjaan bebas;
            b.         Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

Pasal 4
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri terdaftar menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5
(1)        Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib:
a.         memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang pada saat dilakukan pembayaran atau saat terutangnya penghasilan, tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu; dan
b.         menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang dltunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2)        Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(3)        Penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4)        Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) memberikan tanda bukti pemotongan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan.

Pasal 6
(1)        Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong dengan Surat Pemberitahuan Masa kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.
(2)        Dalam hal tanggal jatuh tempo pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka saat pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           24 September 2009

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-  /PJ/2009 TENTANG PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR PELAYANAN PAJAK
…………………………
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-
TENTANG
PENUNJUKAN ORANG PRIBADI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI SEBAGAI PEMOTONG PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26 AYAT (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :           bahwa Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri:
                                    Nama    :           ………………………………………….
                                    NPWP  :           ………………………………………….
                                    memenuhi syarat untuk ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Mengingat         :           1.         Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
                                    2.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
                                    3.         Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-  /PJ/2009 tentang Penunjukan Pemotong, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

MEMUTUSKAN

Menetapkan      :           1.         Menunjuk:
                                                Nama    :           ……………………………………….
                                                NPWP  :           ……………………………………….
                                                Alamat  :           ……………………………………….
                                                sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas pembayaran sehubungan dengan penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009;
                                    2.         Penunjukan ini berlaku sejak tanggal …………………………………

                                                                                    Ditetapkan di ……...………
                                                                                    pada tanggal ………......…

                                                                                    A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                                                                                    KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK
                                                                                                ttd
                                                                                    …………………………………..
                                                                                    NIP

Tembusan:
Kepala Kanwil DJP ………….






PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-61/PJ/2009 TANGGAL 5 NOPEMBER 2009
TENTANG
TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b.         bahwa berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain, antara lain diatur mengenai hak pemajakan pemerintah Indonesia atas penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.         bahwa diperlukan adanya pedoman untuk memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Repulbik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1.         Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2.         Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3.         Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku.
4.         Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah formulir yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang telah diisi dengan lengkap dan telah ditandatangani oleh WPLN, serta telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B.
5.         Surat Pemberitahuan Masa yang selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan penyetoran atas pemotongan atau pemungutan pajak yang telah dilakukan untuk suatu masa tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 2
Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 3
(1)        Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:
            a.         Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia;
            b.         Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
c.         Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
(2)        Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 4
(1)        Dokumen SKD yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] atau Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2)        Dokumen SKD yang ditetapkan dalam Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam hal:
a.         WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen; atau
            b.         WPLN bank.
(3)        Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
a.         menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
            b.         telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
            c.         telah ditandatangani oleh WPLN;
            d.         telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B, dan
            e.         disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
(4)        Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5)        Lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B tidak perlu menyampaikan SKD.

Pasal 5
(1)        SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(2)        Formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III [Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) digunakan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sejak tanggal SKD tersebut disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang dari negara mitra P3B dan berlaku selama 12 (dua belas) bulan.

Pasal 6
WPLN dapat menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal manfaat P3B tidak diberikan akibat persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak terpenuhi, tetapi WPLN menganggap pemotongan atau pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.

Pasal 7
Tata cara penerapan P3B oleh Pemotong/Pemungut Pajak ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8
(1)        Bukti pemotongan/pemungutan pajak wajib dibuat oleh Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku.
(2)        Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong atau dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong/Pemungut Pajak tetap diwajibkan untuk membuat bukti pemotongan/pemungutan pajak.

Pasal 9
(1)        Pemotong/Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotokopi SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa.
(2)        Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan penelitian kebenaran pelaporan atas jumlah pajak yang dipotong dan melakukan perekaman SKD dan bukti pemotongan/pemungutan yang dilaporkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
(3)        Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan penelitian mengenai ada atau tidaknya bentuk usaha tetap dari WPLN yang berada di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(4)        Dalam hal terdapat indikasi bahwa WPLN menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, Kantor Pelayanan Pajak memberitahukan Kantor Pelayanan Pajak tempat bentuk usaha tetap seharusnya terdaftar untuk dikirimi Surat Himbauan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 10
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka:
1.         Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
2.         Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.101/1996 tanggal 28 Mei 1996 tentang Masa Transisi Penerapan SE-03/PJ.101/1996;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 11
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           5 November 2009

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO





PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-61/PJ/2009 TANGGAL 15 DESEMBER 2009
TENTANG
RALAT PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR  PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berhubung dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal 5 November 2009 terdapat Lampiran II dan III yang perlu disempurnakan untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran dan penerapan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksud, maka perlu dibuat ralat sebagai berikut:
1.         mengganti beberapa frase yang terdapat dalam formulir dan instruksi pengisian pada Lampiran II dan Lampiran III, yaitu:
            a.         "Competent Authority" menjadi "Competent Authority or Authorized Tax Office";
            b.         "Competent Authority or his authorized representative" menjadi "Competent Authority or his authorized representative or authorized tax office";
2.         menghapus frase "Please note that this submitted form must bear the original endorsement of the Competent Authority." yang terdapat dalam Form DGT-1 lembar kesatu;
3.         menghapus frase "concerning the types of income mentioned in Part V" yang terdapat dalam Form DGT-1 lembar kesatu Part III;
4.         mengganti keterangan yang terdapat pada lembar kedua Form-DGT 1 mengenai pengesahan oleh Competent Authority menjadi pernyataan oleh penerima penghasilan;
5.         memberlakukan Form-DGT 1 lembar kesatu selama 12 (dua belas) bulan sejak formulir tersebut disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di luar negeri;
6.         memberlakukan Form-DGT 1 lembar kedua untuk menyatakan penghasilan yang diterima Wajib Pajak luar negeri dalam 1 (satu) bulan (Masa Pajak);
7.         Sehubungan dengan ralat pada butir 1 sampai dengan butir 6, Lampiran II dan III disesuaikan menjadi sebagaimana terdapat pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
8.         Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang di luar negeri sesuai dengan format dan kelaziman di negara masing-masing dapat diterima untuk menerapkan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas pajak penghasilan yang terutang oleh WP luar negeri yang pelunasannya dilakukan bukan melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
Dengan ralat ini, maka Lampiran II dan Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 menjadi sebagaimana terlampir.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           15 Desember 2009

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-62/PJ./2009 TANGGAL 5 NOPEMBER 2009
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b.         bahwa berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain telah diatur mengenai ruang lingkup dan pihak yang berhak memperoleh manfaat perjanjian;
c.         bahwa diperlukan adanya pedoman untuk memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat         :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
(1)        Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
(2)        Subjek Pajak dalam negeri selanjutnya disebut SPDN adalah subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(3)        Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(4)        Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, SPDN, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku.
(5)        Agen (agent) adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
(6)        Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.

Pasal 2
(1)        Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara mitra P3B.
(2)        P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3
Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
a.         transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b.         transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
c.         penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).

Pasal 4
(1)        Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
            a.         bertindak tidak sebagai Agen;
            b.         bertindak tidak sebagai Nominee; dan
            c.         bukan Perusahaan Conduit.
(2)        Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
            a.         Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
            b.         lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di Negara mitra P3B;
            c.         WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
            d.         perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
            e.         bank; atau
            f.          perusahaan yang memenuhi persyaratan:
                        1)         pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
                        2)         kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
                        3)         perusahaan mempunyai pegawai; dan
                        4)         mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
                        5)         penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
                        6)         tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3)        Perusahaan conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung.
(4)        Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5)        Pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.

Pasal 5
(1)        Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
            a.         Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; dan
            b.         WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang.
(2)        Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form).

Pasal 6
Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.

Pasal 7
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka:
1.         Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Antara Indonesia Dengan Belanda;
2.         Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner Sebagaimana Dimaksud Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Mitra;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           5 November 2009

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO





SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-4/PJ.03/2008 TANGGAL 22 AGUSTUS 2008
TENTANG
PENEGASAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 AYAT (4) SEHUBUNGAN DENGAN PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BENTUK USAHA TETAP YANG MELAKSANAKAN PROYEK PEMERINTAH YANG DANANYA BERASAL DARI HIBAH DAN/ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI




Agar tercipta kesamaan pemahaman atas penerapan ketentuan Pasal 26 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 atas penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan proyek pemerintah yang dananya berasal dari hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri dalam kaitannya dengan Peraturan Pemerintah nomor 42 TAHUN 1995 (PP 42 Tahun 1995) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2001 beserta semua peraturan pelaksanaannya, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 42 TAHUN 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2001 mengatur bahwa "Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.”
2.         Dengan ini ditegaskan bahwa pengertian “Pajak Penghasilan” sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah termasuk pajak atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah berapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
            Dengan demikian, dalam hal Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh suatu Bentuk Usaha Tetap memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam PP 42 Tahun 1995 sehingga Pajak Penghasilan yang terutang tersebut ditanggung oleh Pemerintah, maka atas Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4) yang terutang juga ditanggung oleh Pemerintah.
3.         Dengan ditetapkannya Surat Edaran ini, penegasan-penegasan sebelumnya yang bertentangan dengan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku.
Demikian untuk mendapat perhatian Saudara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           22 Agustus 2008

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
DARMIN NASUTION




SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-22/PJ/2010 TANGGAL 23 PEBRUARI 2010
TENTANG
PEMBERITAHUAN BERLAKUNYA PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PORTUGAL

Sehubungan dengan telah diterimanya pemberitahuan pertukaran nota ratifikasi Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Republik Indonesia dan Republik Portugal, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Republik Indonesia dan Republik Portugal telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2004 tanggal 26 Januari 2004. Ratifikasi tersebut telah disampaikan kepada Pemerintah Republik Portugal melalui Nota Diplomatik Nomor 88/EK/III/2004/62 tanggal 10 Februari 2004. Pemerintah Republik Portugal juga telah mengirimkan pemberitahuan ratifikasi P3B melalui Nota Diplomatik Nomor SAO No. 00428 tanggal 11 Mei 2007.
2.         Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 P3B antara Republik Indonesia dan Republik Portugal, ketentuan-ketentuan dalam P3B tersebut berlaku secara efektif:
            a.         sehubungan dengan penghasilan yang dipotong/dipungut pajaknya di negara sumber atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.
            b.         sehubungan dengan pajak atas penghasilan lainnya, sejak tahun pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.
3.         Ketentuan lebih rinci dalam P3B antara Republik Indonesia dan Republik Portugal terdapat dalam naskah Persetujuan terlampir.
Demikian untuk mendapat perhatian Saudara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO




SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-51/PJ./2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
PELAKSANAAN PERMINTAAN INFORMASI KE LUAR NEGERI DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENGHINDARAN DAN PENGELAKAN PAJAK

Dalam rangka mencegah penghindaran dan pengelakan pajak serta dan meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Indonesia, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1.         Indonesia telah memiliki 58 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang di dalamnya memuat tentang pelaksanaan pertukaran informasi/EOI (exchange of information), kecuali P3B RI-Saudi Arabia.
2.         Ketentuan tersebut memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengirimkan permintaan kepada negara-negara mitra P3B yang perlu dimanfaatkan secara optimal dalam upaya pencegahan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak (treaty abuse).
3.         Transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak di luar negeri, dengan atau tanpa menggunakan skema/struktur transaksi yang rumit, perlu diteliti secara mendalam dengan memanfaatkan informasi yang berasal dari luar negeri untuk memastikan bahwa transaksi itu tidak dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak di Indonesia atau hanya untuk memanfaatkan fasilitas yang terdapat di dalam P3B.
4.         Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah, atau Direktorat di Direktorat Jenderal Pajak yang sedang melakukan penelitian, pemeriksaan, penelaahan atas permohonan keberatan Wajib Pajak, atau yang sedang memproses permohonan banding Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan transaksi internasional dan menemukan dugaan bahwa transaksi tersebut bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak di Indonesia, termasuk penyalahgunaan P3B, agar memanfaatkan ketentuan EOI yang terdapat dalam P3B.
5.         Informasi yang seharusnya dapat diperoleh sendiri di dalam negeri atau tersedia di dalam negeri harus terlebih dahulu diupayakan sebelum informasi tersebut diminta kepada negara mitra P3B.
6.         Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan permintaan informasi ke luar negeri adalah sebagai berikut:
a.         Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah, atau Direktorat mengirimkan surat yang bersifat rahasia kepada Direktur Peraturan Perpajakan II untuk selanjutnya disusun kembali dengan format surat yang baku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kemudian dikirimkan kepada Competent Authority negara mitra P3B;
b.         Surat permintaan informasi harus mencantumkan informasi mengenai pihak-pihak yang bertransaksi, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri, yaitu : nama, NPWP, alamat, dan hubungan transaksi. Dalam hal menyangkut informasi perbankan agar dicantumkan pula nama bank, cabang, dan nomor rekening;
c.         Menyebutkan tahapan yang sedang dilakukan pada saat meminta informasi (penelitian, pemeriksaan, penyidikan, penelaahan keberatan atau banding) dan Masa atau Tahun Pajak yang terkait;
d.         Menyebutkan secara spesifik informasi yang dibutuhkan, alasan, dan latar belakang kebutuhan informasi, serta melampirkan fotokopi dokumen-dokumen yang dapat dimanfaatkan oleh negara mitra P3B untuk menyediakan informasi;
            e.         Menjelaskan hal-hal yang dicurigai (allegation) dari transaksi tersebut;
            f.          Urgensi untuk segera dijawab (batas waktu penyelesaian pekerjaan), apabila ada; dan
            g.         Hal-hal lainnya yang dipandang perlu.
7.         Mengingat negara mitra P3B memerlukan waktu beberapa bulan, maka dalam hal informasi diperlukan dalam rangka pemeriksaan, penelaahan permohonan keberatan atau banding, yang mempunyai batas waktu penyelesaian, maka perlu diantisipasi dengan melakukan permintaan informasi lebih awal.
8.         Jawaban dari negara mitra P3B yang diterima setelah diselesaikannya pemeriksaan, penelaahan keberatan atau banding tetap dapat dimanfaatkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
9.         Informasi yang disampaikan oleh negara mitra P3B wajib dimanfaatkan secara optimal dan diadministrasikan dengan memperhatikan kerahasiaan sebagaimana halnya informasi yang diperoleh dari Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Demikian surat edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           25 Mei 2009

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
DARMIN NASUTION




SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-68/PJ/2008 TANGGAL 9 DESEMBER 2008
TENTANG
FORMULIR SURAT KETERANGAN DOMISILI (FORM 6166) AMERIKA SERIKAT


Berdasarkan surat dari Internal Revenue Service (IRS), Department of The Treasury Amerika Serikat kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 24 April 2008, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
1.         IRS telah menerbitkan formulir Surat Keterangan Domisili yaitu Form 6166 yang akan digunakan oleh penduduk Amerika Serikat yang menyatakan bahwa Orang/Badan yang tersebut dalam surat dimaksud adalah penduduk Amerika Serikat dan dapat menggunakan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Negara Indonesia dan Negara Amerika Serikat dalam penerapan pajaknya (contoh Form 6166 terlampir).
2.         Form 6166 tersebut harus ditandatangani oleh IVY S, McChesney, Field Director, Philadelphia Accounts Management Center (speciment tanda tangan terlampir) dan mulai berlaku sejak tanggal 24 April 2008.
3.         Terhadap Surat Keterangan Domisili yang dikeluarkan oleh Competent Authority Amerika Serikat atau wakilnya yang sah sebelum tanggal 24 April 2008 dianggap masih berlaku sepanjang sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 yaitu berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk Wajib Pajak Bank.
Demikian untuk mendapat perhatian Saudara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           09 Desember 2008

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
DARMIN NASUTION




SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-89/PJ/2010 TANGGAL 16 AGUSTUS 2010
TENTANG
TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010 tanggal 28 Juli 2010 tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Surat Keterangan Domisili (SKD) diterbitkan atau disahkan oleh Kepala KPP Domisili bagi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dengan tujuan agar Wajib Pajak dapat menikmati manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sehubungan dengan penghasilan Wajib Pajak yang bersumber dari luar negeri yang merupakan negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia.
2.         Dalam rangka memberikan kepastian dan pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak, ditetapkan jangka waktu penerbitan/pengesahan SKD atau surat pemberitahuan penolakan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
3.         Selanjutnya, SKD tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh KPP Domisili sebagai alat pengawasan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan penghasilan yang bersumber dari luar Indonesia sesuai dengan prinsip worldwide income yang dianut dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh.
4.         Tata cara penerimaan permohonan, penelitian, penerbitan/pengesahan, pemanfaatan dan pelaporan pemanfaatan SKD bagi subjek pajak dalam negeri Indonesia dalam rangka penerapan P3B adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           16 Agustus 2010

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO

                                                        LAMPIRAN I
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

TATA CARA PENERIMAAN PERMOHONAN, PENELITIAN, PENERBITAN/PENGESAHAN,
PEMANFAATAN DAN PELAPORAN PEMANFAATAN SKD BAGI SUBJEK PAJAK DALAM
NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN P3B

A.         Tata Cara Penerimaan Permohonan Permintaan Surat Keterangan Domisili (SKD)
Kepala Seksi Pelayanan menerima surat permohonan Form-DGT 6 dari Wajib Pajak, memberikan tanda terima kepada Wajib Pajak, dan meneruskannya kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi.
B.         Tata Cara Penelitian dan Penerbitan SKD
1.         Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi meneliti kebenaran status Wajib Pajak sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            2.         Account Representative (AR) melakukan:
a.         penelitian pemenuhan persyaratan bahwa Wajib Pajak yang mengajukan permohonan:
1)         berstatus subjek pajak dalam negeri sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh;
                                    2)         memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
                                    3)         bukan berstatus subjek pajak luar negeri Indonesia, termasuk bentuk usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh.
AR dapat meminta informasi lain kepada Wajib Pajak dalam rangka memastikan bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia, bukan subjek pajak luar negeri atau bentuk usaha tetap;
b.         penelitian pemenuhan persyaratan bahwa permohonan Wajib Pajak telah memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
1)         menggunakan Form-DGT 6 yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
                                    2)         memuat nama negara mitra P3B tempat penghasilan bersumber;
                                    3)         memuat penjelasan mengenai penghasilan dan pajak yang akan dikenakan di negara mitra P3B atas penghasilan dimaksud;
                                    4)         ditandatangani oleh Wajib Pajak;
                                    5)         dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP, dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak;
c.         penelitian atas penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh untuk Tahun Pajak terakhir atau Bagian Tahun Pajak terakhir sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
d.         penyiapan konsep SKD dengan menggunakan Form-DGT 7 yang pengisiannya sebagaimana dicontohkan berikut ini dan pada Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, dengan menggunakan kertas ukuran A4:
1)         pencantuman nama Kantor Wilayah pada butir [1] dan nama KPP Domisili pada butir [2] dengan menggunakan nama yang baku dalam bahasa Inggris sebagaimana dicontohkan dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, dan mencantumkan alamat pada butir [3], nama provinsi dan nama negara Indonesia pada butir [4], nomor telepon serta faksimili lengkap dengan kode negara dan kode wilayah pada butir [5] dan [6];
2)         pencantuman nomor surat dan tanggal penerbitan SKD dengan format tanggal, bulan, dan tahun pada butir [7] dengan menggunakan bahasa Inggris;
3)         pencantuman nama Wajib Pajak pada butir [8], NPWP pada butir [9], alamat pada butir [10], dan nama provinsi serta negara Indonesia pada butir [11];
4)         pencantuman nama negara/jurisdiksi mitra P3B pada butir [12] sesuai dengan nama yang baku sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
5)         pencantuman Tahun Pajak untuk setiap SKD yang menggunakan Form-DGT 7 sesuai SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak terakhir yang dilaporkan oleh Wajib Pajak pada butir [13] dan [14] dan hanya diisi dengan 1 (satu) tahun pajak.
Sebagai contoh, dalam hal Wajib Pajak menyampaikan permohonan permintaan SKD pada tanggal 2 Februari 2010 dan belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009, maka Tahun Pajak yang dicantumkan dalam SKD adalah Tahun Pajak 2008.
Dalam hal Wajib Pajak yang semula adalah subjek pajak dalam negeri, namun statusnya berubah menjadi subjek pajak luar negeri atau bukan subjek pajak, maka butir [13] dan [14] harus diisi dengan periode dalam Tahun Pajak dimana Wajib Pajak masih berstatus sebagai subjek pajak dalam negeri.
Sebagai contoh, Yosiaki Tanaka adalah subjek pajak dalam negeri dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada tanggal 15 Agustus 2010. Sebelum meninggalkan Indonesia, ia telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak 2010 ke KPP Domisili. Pernyataan yang dicantumkan dalam Form-DGT 7 (setelah alamat Wajib Pajak) adalah:
“is a residen of Indonesia for income tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and ………………….. for the period of January 1 to August 15, 2010 and has filed the income tax return of the period of January 1 to August 15, 2010.
6)         Bagi Wajib Pajak yang belum pernah menyampaikan SPT Tahunan PPh, karena baru mendaftarkan diri dalam tahun berjalan, SKD harus mencantumkan Tahun Pajak saat Wajib Pajak terdaftar, sepanjang pada saat itu Wajib Pajak berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia. Namun demikian, pernyataan yang dicantumkan dalam Form-DGT 7 (setelah alamat Wajib Pajak) harus diubah menjadi:
“is a residen of Indonesia for income tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and…………………………for the fiscal year……………”
7)         Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan SKD terkait dengan penghasilan yang bersumber dari Taipei, maka pernyataan yang dicantumkan dalam Form-DGT 7 (setelah alamat Wajib Pajak) harus diubah menjadi:
“is a resident of Indonesia for income tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei Economic and Trade Office for the fiscal year …………. and has filed the income tax return for the fiscal year ………………”
Atau, dalam hal Wajib Pajak dimaksud baru mendaftarkan diri dalam tahun berjalan:
“is a resident of Indonesia for income tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei Economic and Trade Office for the fiscal year…………….”
Selanjutnya, pernyataan pada bagian bahwa Form-DGT 7 harus diubah menjadi:

      
This form is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of claiming benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei Economic and Trade Office, and shall be valid for 1 (one) year from the date of issue.


8)         Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan permintaan SKD adalah bank, harus dilakukan modifikasi untuk pernyataan pada bagian bawah Form-DGT 7 menjadi:


This certificate is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of claiming benefits of relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and …………………………… [12].


atau, dalam hal SKD yang diajukan oleh Wajib Pajak terkait dengan penghasilan yang bersumber dari Taipei:
                                               

This form is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of claiming benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei Economic and Trade Office.


e.         Apabila Wajib Pajak meminta pengesahan SKD dengan menggunakan formulir khusus yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang di negara/jurisdiksi mitra, maka:
1)         pengesahan hanya dilakukan pada bagian formulir yang terkait dengan pengesahan status subjek pajak dalam negeri Indonesia;
2)         apabila formulir khusus dimaksud memuat keterangan terkait Wajib Pajak, selain mengenai status subjek pajak dalam negeri Indonesia, seperti : beneficial owner, rencana penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak, usaha aktif Wajib Pajak, independensi manajemen, atau motif penyalahgunaan P3B, KPP Domisili tidak diperkenankan memberikan pengesahan atas hal-hal tersebut tanpa terlebih dahulu meneliti informasi yang akan disahkan. Dalam hal KPP Domisili tidak dapat mengesahkan informasi tersebut, KPP Domisili hanya memberikan pengesahan terkait dengan status subjek pajak dalam negeri dan memberitahukan kepada Wajib pajak secara tertulis;
f.          penyiapan konsep surat penolakan sebagaimana dicontohkan dalam Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak.
3.         Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi meneliti konsep SKD atau formulir khusus atau konsep surat penolakan dan mengawasi proses penerbitan SKD agar dapat diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan secara lengkap atau pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
4.         Kepala KPP Domisili menyetujui konsep SKD atau formulir khusus atau konsep surat penolakan. Dalam menyetujui konsep SKD, Kepala KPP Domisili membubuhkan tanda tangan basah dan stempel dinas pada butir [15] Form-DGT 7 atau bagian terkait pada formulir khusus dan mencantumkan nama Kepala KPP Domisili pada butir [16] Form-DGT 7 atau bagian terkait pada formulir khusus, dan jabatan dalam bahasa Inggris sebagaimana dicontohkan dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
5.         Kepala Seksi Pelayanan menatausahakan Form-DGT 6 dan SKD (Form-DGT 7) atau formulir khusus atau surat penolakan di Seksi Pelayanan dan menyampaikan SKD atau formulir khusus atau surat penolakan kepada Wajib Pajak melalui Subbagian Umum (SOP Tata Cara Penyampaian Dokumen di KPP Domisili).
C.         Tata Cara Pemanfaatan SKD
1.         Kepala KPP Domisili harus memanfaatkan informasi yang terdapat dalam Form-DGT 6 dan membandingkannya dengan informasi yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh yang dilaporkan Wajib Pajak untuk mengecek penghasilan yang telah dinyatakan Wajib Pajak dalam Form-DGT 6, apabila memang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
2.         Dalam hal, berdasarkan hal penelitian tersebut, terdapat Wajib Pajak yang tidak atau belum melaporkan penghasilan yang bersumber dari negara mitra P3B atau Kepala KPP Domisili tidak meyakini bahwa seluruh penghasilan yang bersumber dari negara mitra P3B, terkait dengan SKD yang pernah diterbitkan, telah dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan PPh, Kepala KPP Domisili dapat mengirimkan surat Himbauan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau meminta keterangan kepada Wajib Pajak.
            3.         AR melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.         meneliti SPT Tahunan PPh, beserta lampirannya, atas nama Wajib Pajak yang pengajuan permohonan permintaan SKD-nya disetujui oleh Kepala KPP Domisili pada tahun lalu, untuk mengidentifikasi penghasilan Wajib Pajak yang bersumber dari luar Indonesia dan kredit pajak luar negeri yang terkait;
b.         membandingkan penghasilan dan kredit pajak luar negeri dengan informasi yang terdapat Form-DGT 6;
c.         membuat konsep surat himbauan kepada Wajib Pajak dalam hal tidak terdapat penghasilan yang berasal dari negara mitra P3B dalam SPT Tahunan PPh, namun terdapat Form-DGT 7 yang diterbitkan atau formulir khusus yang disahkan untuk negara mitra P3B tersebut atau membuat konsep surat permintaan keterangan kepada Wajib Pajak.
4.         Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan atau dalam hal Wajib Pajak memberikan penjelasan, namun dianggap tidak memadai, Kepala KPP Domisili dapat melakukan permintaan informasi ke luar negeri (exchange of information) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
D.         Tata Cara Pelaporan Pemanfaatan SKD
Kepala KPP Domisili melaporkan hasil pemanfaatan informasi dalam SKD kepada Kepala Kanwil dan Kepala Kanwil menyampaikan laporan rekapitulasi hasil pemanfaatan informasi dalam SKD kepada Direktur Peraturan Perpajakan II.

                                                      LAMPIRAN II
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

MINISTRY OF FINANCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
DIRECTORATE GENERAL OF TAXES

Large Taxpayer Regional Tax Office                   [1]
Large Taxpayer Tax Office Two                          [2]
Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16               [3]
Jakarta, Indonesia                                             [4]
Telp. +62-21-3456789                                         [5]
Fax. +62-21-89012345                                        [6]

No. …………………………………, Date of Issue: 17 January 2010 [7]

CERTIFICATE OF TAXPAYER RESIDENCY

The Republic of Indonesia tax authority certifies that to the best of our knowledge:
Name of taxpayer                                  :           PT ALIBABA                                                     [8]
Taxpayer Identification Number              :           01.234.567.8-092.000                                         [9]
Address                                                            :           Jalan Mataram Nomor 1, Kebayoran Baru           [10]
                                                                        DKI Jakarta, Indonesia                                       [11]
is a resident of Indonesia for income tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and ………………………………………. [12] for the fiscal year ………………… [13] and has filed the income tax return for the fiscal year ………….. [14]

[Tanda tangan dan stempel]                               [15]


…………………[Nama Pejabat]…………………    [16]
Head of Large Taxpayer Tax Office Two             [17]

cc.: Director of Tax Regulations II


This certificate is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of claiming benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and ………………………………… [12] and shall be valid for 1 (one) year from the date of issue.


FORM-DGT 7

                                                     LAMPIRAN III
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

NAMA UNIT ORGANISASI DAN JABATAN UNTUK KEPERLUAN PENERBITAN SURAT
KETERANGAN DOMISILI

Nama Unit Organisasi Kantor Wilayah DJP

Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar
Large Taxpayer Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus
Jakarta Special Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Nangroe Aceh Darussalam
Nangroe Aceh Darussalam Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I
North Sumatra Regional Tax Office One
Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara II
North Sumatra Regional Tax Office Two
Kantor Wilayah DJP Riau dan Kepulauan Riau
Riau and Riau Islands Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Sumatera Barat dan Jambi
West Sumatra and Jambi Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Sumatera Selatan dan Kep. Bangka Belitung
South Sumatra and Bangka Belitung Islands Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Bengkulu dan Lampung
Bengkulu and Lampung Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat
Central Jakarta Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat
West Jakarta Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan
South Jakarta Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur
East Jakarta Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara
North Jakarta Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Banten
Banten Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jawa Barat I
West Java Regional Tax Office One
Kantor Wilayah DJP Jawa Barat II
West Java Regional Tax Office Two
Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I
Central Java Regional Tax Office One
Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah II
Central Java Regional Tax Office Two
Kantor Wilayah DJP Daerah Istimewa Yogyakarta
Special Region Yogyakarta Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Jawa Timur I
East Java Regional Tax Office One
Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II
East Java Regional Tax Office Two
Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III
East Java Regional Tax Office Three
Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat
West Kalimantan Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah
South and Central Kalimantan Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur
East Kalimantan Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara
South, West, and South East Sulawesi Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara
Nort, Central Sulawesi, Gorontalo and North Maluku Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Bali
Bali Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Nusa Tenggara
Nusa Tenggara Regional Tax Office
Kantor Wilayah DJP Papua dan Maluku
Papua and Maluku Regional Tax Office


Contoh Nama Unit Organisasi Kantor Pelayanan Pajak DJP

Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
KPP WP Besar Satu
Large Taxpayer Tax Office One
KPP WP Besar Dua
Larga Taxpayer Tax Office Two
KPP BUMN
State Owned Enterprise Tax Office
KPP WP Besar Orang Pribadi
High Wealth Individual Tax Office
KPP Penanaman Modal Asing Satu
Foreign Investment Tax Office One
KPP Penanaman Modal Asing Dua
Foreign Investment Tax Office Two
KPP Perusahaan Masuk Bursa
Listed Company Tax Office
KPP Badan dan Orang Asing Satu
Foreign Enterprise and Individual Tax Office One
KPP Badan dan Orang Asing Dua
Foreign Enterprise and Individual Tax Office Two
KPP Pratama Banda Aceh
Banda Aceh Tax Office
KPP Madya Medan
Medan Medium Tax Office
KPP Madya Jakarta Pusat
Central Jakarta Medium Tax Office
KPP Pratama Jakarta Menteng Satu
Jakarta Menteng Tax Office One
KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga
Jakarta Tanah Abang Tax Office Three

Contoh Nama Jabatan Kepala Kantor Pelayanan Pajak

Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Kepala KPP WP Besar Satu
Head of Large Taxpayer Tax Office One
Kepala KPP WP Besar Dua
Head of Large Taxpayer Tax Office Two
Kepala KPP BUMN
Head of State Owned Enterprise Tax Office
Kepala KPP WP Besar Orang Pribadi
Head of High Wealth Individual Tax Office
Kepala KPP Penanaman Modal Asing Satu
Head of Foreign Investment Tax Office One
Kepala KPP Penanaman Modal Asing Dua
Head of foreign Investment Tax Office Two
Kepala KPP Perusahaan Masuk Bursa
Head of Listed Company Tax Office
Kepala KPP Badan dan Orang Asing Satu
Head of Foreign Enterprise and Individual Tax Office One
Kepala KPP Badan dan Orang Asing Dua
Head of foreign enterprise and Individual Tax Office Two
Kepala KPP Pratama Banda Aceh
Head of Banda Aceh Tax Office
Kepala KPP Madya Medan
Head of Medan Medium Tax Office
Kepala KPP Madya Jakarta Pusat
Head of Central Jakarta Medium Tax Office
Kepala KPP Pratama Jakarta Menteng Satu
Head of Jakarta Menteng Tax Office One
Kepala KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga
Head of Jakarta Tanah Abang Tax Office Three


                                                     LAMPIRAN IV
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DAFTAR MITRA P3B INDONESIA

No.
Nama
No.
Nama
No.
Nama
1
the Democratic People’s Republic Of Algeria
21
the Republic of Korea (Korea Selatan)
41
the Slovak Republic
2
Australia
22
the Democratic People’s Republic of Korea (Korea Utara)
42
the Republic of South Africa
3
Austria
23
the State of Kuwait
43
the Kingdom of Spain
4
the People’s Republic of Bangladesh
24
the Grand Duchy of Luxembourg
44
the Democratic Socialist Republic of Sri Lanka
5
the Kingdom of Belgium
25
Malaysia
45
the Republic of the Sudan
6
Brunei Darussalam
26
the United Mexican States
46
 the Kingdom of Sweden
7
the Republic of Bulgaria
27
Mongolia
47
    the Switzerland
8
 Canada
28
the Kingdom of the Netherlands
48
the Syrian Arab Republic
9
the Czech Republic
29
New Zealand
49
the Kingdom of Thailand
10
the People’s Republic of China
30
the Kingdom of Norway
50
the Republic of Tunisia
11
the Kingdom Of Denmark
31
the Islamic Republic of Pakistan
51
the Republic of Turkey
12
the Arab Republic Of Egypt
32
the Republic of the Philippines
52
the United Arab Emirates
13
the Republic of Finland
33
the Republic of Poland
53
Ukraine
 14
the French Republic
34
the Portuguese Republic
54
the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland
15
the Federal Republic Of Germany
35
the State of Qatar
55
the United States of America
16
 the Hungarian People’s Republic
36
Romania
56
the Republic of Uzbekistan
17
the Republic of India
37
the Russian Federation
57
the Republic of Venezuela
18
the Italian Republic
38
the Kingdom of Saudi Arabia
58
the Socialist Republic of Vietnam
19
Japan
39
the Republic of the Seychelles


20
the Hashemite Kingdom of Jordan
40
the Republic of Singapore





                                                      LAMPIRAN V
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR WILAYAH DJP …………………..
KANTOR PELAYANAN PAJAK ………………………

Jalan………………………….                                                       Telepon                        :            ………………………………..
…………………………………                                                      Faksimili           :            ………………………………..
…………………………………                                                      Homepage        :            http://www.pajak.go.id
_____________________________________________________________________________________

Nomor              :           S- ……………………………………                                              ………………………201…..
Sifat                 :           ……………………………………….
Hal                   :           Surat Pemberitahuan Penolakan Permohonan Surat Keterangan Domisili

Yth. Direktur/Sdr. …………………….
NPWP : …………………………………..
di …………………………………………..
………………………………………………

            Sehubungan dengan Permohonan Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Form-DGT 6) tanggal ………………………. yang Saudara sampaikan, dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara ditolak, karena:
|   |        Wajib Pajak bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia atau belum terdaftar sebagai Wajib Pajak sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010.
|   |        Permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010.
|   |        Wajib Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai batas waktu penyampaian dan Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Demikian untuk dimaklumi.

                                                                                                            Kepala Kantor,

                                                                                                            …………………………………….
                                                                                                            NIP ………………………………


|   |        Diisi dengan tanda cek list (v) pada kotak yang sesuai.




SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-114/PJ/2009 TANGGAL 15 DESEMBER 2009
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) merupakan kesepakatan mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan antara Indonesia dengan negara mitra P3B dan merupakan fasilitas yang hanya dapat dinikmati oleh pihak-pihak yang berhak, yaitu:
a.         orang atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri di Indonesia dan/atau di negara mitra P3B, dan
b.         khusus untuk penghasilan bunga, dividen, dan royalti, pihak yang menerima penghasilan tersebut adalah pihak yang menikmati manfaat atas penghasilan tersebut (beneficial owner).
2.         Dalam penerapan P3B di Indonesia, manfaat P3B hanya dapat dinikmati oleh pihak-pihak tersebut di atas dengan cara menerapkan P3B saat Pemotong/Pemungut Pajak menjalankan kewajiban pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan. Namun demikian, dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dipotong/dipungut pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B, WPLN tersebut dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak atau dapat memanfaatkan ketentuan mengenai Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) sebagaimana diatur dalam P3B.
3.         Bahwa untuk menghindari perbedaan penafsiran dan penerapan ketentuan dalam kedua Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:
a.         Pemotong/Pemungut Pajak harus menerapkan ketentuan dalam P3B apabila penerima penghasilan:
                        1)         bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia;
                        2)         memenuhi persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan dalam P3B; dan
3)         tidak melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009.
Dalam hal salah satu persyaratan tersebut di atas tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan menerapkan ketentuan dalam P3B.
b.         Persyaratan administratif yang harus dipenuhi seluruhnya oleh WPLN apabila hendak memperoleh manfaat P3B pada saat Pemotong/Pemungut Pajak melaksanakan kewajibannya adalah:
                        1)         WPLN menggunakan formulir yang tepat (Form-DGT 1 atau Form-DGT 2), dan
                        2)         WPLN mengisi formulir tersebut dengan lengkap dan menandatanganinya, dan
                        3)         formulir telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara tempat WPLN terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri, dan
4)         formulir disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa terutangnya pajak.
c.         Dalam hal WPLN menyampaikan Form-DGT 1 setelah batas waktu yang telah ditetapkan, maka Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan dalam P3B. Dengan demikian, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong/memungut pajak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
d.         Form-DGT 1 digunakan pada saat penerapan P3B oleh Pemotong/Pemungut Pajak, yaitu pada saat terutangnya pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lembar kesatu Form-DGT 1 yang telah diisi dan ditandatangani oleh WPLN, serta telah disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B, dapat dipergunakan lebih dari satu kali oleh WPLN dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak disahkannya dokumen tersebut oleh Pejabat yang Berwenang, apabila:
                        1)         WPLN bertransaksi dengan Pemotong/Pemungut Pajak yang sama, dan
                        2)         nama dan alamat WPLN tidak mengalami perubahan.
                        Dalam hal butir 1) dan 2) di atas terpenuhi, untuk menerapkan ketentuan dalam P3B pada Masa Pajak berikutnya, WPLN cukup menyampaikan lembar kedua Form-DGT 1 yang telah diisi lengkap pada Part IV atau Part V, dan Part VI.
e.         Lembar kedua Form-DGT 1 tidak disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B, namun WPLN harus menandatangani pernyataan yang terdapat pada bagian bawah lembar kedua Form-DGT 1, mencantumkan nama lengkap dan tanggal penandatanganan dokumen tersebut.
f.          Lembar kedua Form-DGT 1 dapat digunakan oleh WPLN untuk menyatakan seluruh penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan (Masa Pajak). Dalam hal terdapat beberapa pembayaran, WPLN:
1)         mencantumkan total penghasilan untuk tiap-tiap kelompok penghasilan (kelompok penghasilan modal : bunga/dividen/royalti, kelompok penghasilan jasa, dan kelompok penghasilan lainnya) dalam lembar kedua Form-DGT 1 yang sama, dan
2)         membuat rekapitulasi atau rincian penghasilan yang diterima pada suatu bulan (Masa Pajak) untuk tiap-tiap kelompok penghasilan tersebut pada lembaran yang terpisah dengan format yang memuat informasi tentang:
                                    a)         Nomor urut;
                                    b)         Tanggal penerimaan penghasilan;
                                    c)         Jenis penghasilan;
                                    d)         Jumlah penghasilan (dalam mata uang asli); dan
                                    e)         Keterangan (apabila ada).
                                    Pemotong/Pemungut Pajak memfotokopi lembar kedua Form-DGT 1 tersebut, memaraf dan melaporkannya pada saat penyampaian SPT Masa, dengan menyertakan fotokopi Form-DGT 1 (lembar kesatu dan lembar kedua) yang pernah disampaikan sebelumnya oleh WPLN.
                                    Contoh 1:
                                    PT Budiman melakukan pembayaran kepada Alice Corp. (WPLN dari negara X) berupa royalti pada tanggal 5 Januari 2010, imbalan jasa manajemen pada tanggal 15 Januari 2010, dan imbalan jasa teknik pada tanggal 20 Januari 2010.
-           Untuk dapat menerapkan ketentuan dalam P3B, pertama kali sejak diberlakukannya ketentuan ini, PT Budiman wajib memperoleh Form-DGT 1 (lembar kesatu dan kedua) dari Alice Corp. dan meneliti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009. Lembar kedua Form-DGT 1 diisi lengkap pada Part V dan Part VI mengenai pembayaran royalti pada tanggal 5 Januari 2010. Lembar kedua yang tidak disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara X dapat diterima untuk menerapkan P3B, namun harus ditandatangani oleh Alice Corp.
-           Dalam hal PT Budiman meyakini bahwa SKD dari Alice Corp. telah sesuai dengan ketentuan dimaksud, penerapan ketentuan P3B untuk pembayaran imbalan jasa manajemen pada tanggal 15 Januari 2010 dan jasa teknik pada tanggal 20 Januari 2010 dapat menggunakan lembar kedua Form-DGT 1 yang menyatakan kedua penghasiian tersebut sekaligus atau seluruh penghasilan dalam bulan Januari dan lampiran rincian penghasilan. Lembar kedua yang tidak disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara X dapat diterima untuk menerapkan P3B.
-           PT Budiman wajib melaporkan SPT Masa Pajak Januari 2010 dengan melampirkan fotokopi dokumen Form-DGT 1 (lembar kesatu dan kedua, serta memaraf lembar kedua Form-DGT 1 tersebut.
Pada bulan Februari 2010 PT Budiman membayar bunga dan royalti kepada Alice Corp.
-           Ketentuan dalam P3B dapat diterapkan hanya apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 terpenuhi.
-           Untuk Pemotong/Pemungut Pajak yang sama, Alice Corp. tidak perlu menyampaikan lembar kesatu Form-DGT 1 yang baru, sepanjang tidak ada perubahan nama dan alamat yang terdapat dalam Form-DGT 1 sebelumnya. Alice Corp. cukup menyampaikan lembar kedua Form-DGT 1 yang telah diisi lengkap pada Part V dan Part VI dan ditandatangani. Lembar kedua yang tidak disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara X dapat diterima untuk menerapkan P3B. Alice Corp. mencantumkan total penghasilan bunga dan royalti dalam butir 1 Part VI Form-DGT 1 dan membuat rincian penghasilan.
-           Untuk dapat menerapkan ketentuan dalam P3B, PT Budiman harus memperoleh lembar kedua Form-DGT 1 yang telah diisi lengkap dan ditandatangani oleh Alice Corp. Selanjutnya, PT Budiman wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Februari 2010 dan melampirkan fotokopi lembar kedua Form-DGT 1 yang telah diparaf dan fotokopi Form-DGT 1 (lembar kesatu dan lembar kedua) yang pernah dilampirkan pada SPT Masa Pajak Januari 2010.
                                    Contoh 2:
                                    Melanjutkan kasus pada Contoh 1, PT Budiman melakukan pembayaran royalti kepada Alice Corp. pada tanggal 25 Januari 2011. Misalnya, Form-DGT 1 yang telah disampaikan oleh WPLN disahkan oleh Pejabat yang Berwenang pada tanggal 4 Januari 2010.
-           Form-DGT 1 (yang pernah disampaikan oleh Alice Corp. pada Masa Pajak Januari 2010 sudah berakhir masa waktu penggunaannya, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk menerapkan ketentuan dalam P3B untuk penghasilan royalti tersebut. Untuk itu, Alice Corp. harus menyerahkan lembar kesatu Form-DGT 1 baru yang disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara X.
-           Selanjutnya, PT Budiman wajib menerapkan ketentuan dalam P3B dan menyampaikan SPT Masa Pajak Januari 2011 dan melampirkan fotokopi dokumen Form-DGT 1 (lembar kesatu dan lembar kedua) tersebut.
g.         Pada Form-DGT 1 Part V "To be Completed if the Income Recipient is Non Individual", dalam hal WPLN menjawab "No" untuk pertanyaan pada butir 6, WPLN tetap diperkenankan untuk menerapkan ketentuan dalam P3B, sepanjang jawaban pada butir 7 sampai dengan butir 12 dijawab "Yes". Hal ini dimaksudkan agar ketentuan dalam P3B dapat diterapkan bukan hanya kepada WPLN yang mendaftarkan sahamnya di pasar modal, namun juga kepada perusahaan yang secara substantif merupakan pemilik manfaat yang sebenarnya atas penghasilan tersebut.
h.         Di dalam butir 12 Form-DGT 1 Part V terdapat pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui apakah penerima penghasilan merupakan perusahaan conduit. Yang dimaksud dengan "claims by other persons" dalam pertanyaan tersebut adalah tagihan kepada WPLN yang berasal dari pihak ketiga, dalam bentuk bunga, royalti, imbalan jasa, atau pembayaran lainnya, yang dimaksudkan untuk meneruskan penghasilan WPLN kepada pihak yang sebenarnya memperoleh manfaat atas penghasilan (beneficial owner), tidak termasuk tagihan pegawai dalam hubungan pekerjaan (employment) yang normal, seperti gaji, upah, bonus, dan tunjangan.
i.          Pada Form-DGT 1 Part VI mengenai "Income Earned from Indonesia in Respect to Which Relief Is Claimed", dengan ini diberi penegasan bahwa:
1)         WPLN mengisi jumlah penghasilan sesuai dengan jumlah yang dibayarkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak. Meskipun tidak terdapat pajak yang terutang di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam P3B, jumlah penghasilan yang dibayarkan Pemotong/Pemungut Pajak tetap harus dicantumkan. Pencantuman jumlah penghasilan tersebut hanya merupakan informasi tentang pembayaran penghasilan dan bukan merupakan dasar pengenaan pajak.
2)         Apabila penghasilan yang diterima WPLN dalam mata uang selain Rupiah, WPLN dapat mencantumkan nominal dalam mata uang asing dan mengganti IDR dengan mata uang asing yang digunakan.
3)         Pada butir 2 huruf c, dalam hal waktu penyelesaian suatu pemberian jasa belum atau tidak dapat diperkirakan, maka saat berakhirnya pemberian jasa dapat dikosongkan.
j.          Dalam transaksi pengalihan obligasi, penghasilan yang timbul dari transaksi tersebut diperlakukan sebagai bunga/diskonto sesuai dengan PERATURAN PEMERINTAH nomor 16 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi dan PERATURAN PEMERINTAH nomor 27 TAHUN 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Dengan demikian, WPLN yang memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan obligasi, kecuali WPLN bank, wajib menggunakan Form-DGT 1 untuk memperoleh manfaat P3B.
k.         Dalam hal penerima penghasilan adalah WPLN bank, tanpa memperhatikan jenis penghasilannya, Form-DGT 2 wajib digunakan untuk memperoleh manfaat P3B.
l.          Form-DGT 2 dapat terus digunakan oleh WPLN dalam hal menerima penghasilan dari Pemotong/Pemungut Pajak yang sama atau yang berbeda dalam waktu 12 bulan sejak tanggal dokumen tersebut disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B.
Dalam hal Form-DGT 2 tersebut akan digunakan untuk lebih dari satu Pemotong/Pemungut Pajak, Form-DGT 2 asli dapat diperbanyak oleh Pemotong/Pemungut dan dilegalisasi oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Pemotong/Pemungut Pajak tersebut terdaftar. Kepala KPP harus menyimpan dokumen Form-DGT 2 asli tersebut.
Form-DGT 2 yang telah dilegalisasi oleh Kepala KPP diperlakukan sama seperti dokumen aslinya.
4.         WPLN diperkenankan untuk menggunakan SKD yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang di luar negeri sesuai dengan format dan kelaziman di negara masing-masing untuk menerapkan ketentuan dalam P3B apabila WPLN melunasi pajak terhutang di Indonesia tidak melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak di Indonesia.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           15 Desember 2009

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar