PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 82/PMK.03/2009
TANGGAL 22 APRIL 2009
TENTANG
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI
PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4
AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26
ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali yang
diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan Pasal 26 ayat (3)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 Atas Penghasilan dari Penjualan Atau Pengalihan Harta Di Indonesia, Kecuali
yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU
PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN
BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajb Pajak Luar Negeri selain
Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang
berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari
harga jual.
(4) Penjualan atau pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan atau pengalihan harta
berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan,
mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pasal 3
(1) Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26
oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak Luar
Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar
Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan
harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 4
(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memotong dan menyetorkan
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar
Negeri yang menjual atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi pada Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang dipotong kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama tanggal 20 (dua
puluh) bulan berikutnya.
(3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
ini dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penunjukan pemotong, tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di
Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 139/PMK.03/2010
TANGGAL 11 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENENTUAN KEMBALI
BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI
PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK
DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18
ayat (3d) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 diatur bahwa besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau
sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18
ayat (3e) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan Kembali
Besarnya Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari
Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain yang Tidak
Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN
PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Hubungan Istimewa adalah hubungan
istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau
hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara
mitra yang berlaku.
Pasal 2
(1) Besarnya penghasilan yang diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau
jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di
luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan
seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya
kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
(2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar
negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.
(3) Biaya atau pengeluaran lainnya yang
dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri
yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.
Pasal 3
(1) Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali dengan memperhatikan
tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang bersangkutan.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di
Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.
(3) Besarnya selisih penghasilan setelah
ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi
jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.
(4) Atas penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5) Dalam rangka menentukan kembali besarnya
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji karyawan
asing.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 11 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 385
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 258/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26
ayat (2a) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 26
ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU
PENGALIHAN SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI.
Pasal 1
(1) Penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara (special purpose company atau conduit company), dapat
ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia, atau penjualan atau pengalihan bentuk usaha
tetap di Indonesia.
(2) Perusahaan antara (special purpose
company atau conduit company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) yang dibentuk
untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven
Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3) Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong Pajak Penghasilan
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(4) Besarnya perkiraan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari
harga jual.
(5) Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bersifat final.
(6) Terhadap penjual yang berstatus sebagai
Wajib Pajak Luar Negeri yang merupakan penduduk dari negara yang telah
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dilakukan apabila hak pemajakan
berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
Pasal 2
(1) Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) kepada Wajib Pajak
Dalam Negeri, dipotong pajak oleh pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri dan kepada
Wajib Pajak Luar Negeri tersebut diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
(2) Dalam
hal saham dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. pihak yang ditunjuk sebagai pemungut
pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya
diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek;
dan
b. badan sebagaimana dimaksud pada huruf a
harus mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual.
Pasal 3
(1) Pajak yang telah dipotong sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemotong Pajak Penghasilan paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan wajib
melaporkan pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(3) Pajak yang telah dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemungut Pajak Penghasilan paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(4) Pemungut Pajak Penghasilan wajib
melaporkan pajak yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam
Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Pasal 4
Pemotong Pajak Penghasilan dan/atau
pemungut Pajak Penghasilan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini ditempatkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-16/PJ/2011
TANGGAL 6 JUNI 2011
TENTANG
TATA CARA
PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN
KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK .03/2011 tentang
Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari
Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap Atas Penanaman
Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011
tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi
Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
TATA CARA PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK
BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH
DIKURANGI PAJAK.
Pasal 1
(1) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang seluruhnya ditanamkan
kembali di Indonesia, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang
melakukan penanaman kembali atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011
tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi
Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Pasal 2
(1) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) meliputi:
a. pemberitahuan secara tertulis mengenai
bentuk penanaman kembali;
b. pemberitahuan secara tertulis mengenai
realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan; dan/atau
c. pemberitahuan secara tertulis mengenai
saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan.
(2) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disampaikan dengan
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan yang bersangkutan dan sedikitnya memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. identitas Wajib Pajak meliputi nama
Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat Wajib Pajak, dan Jenis
Usaha Wajib Pajak;
b. identitas Wajib Pajak luar negeri induk
Bentuk Usaha Tetap meliputi nama Wajib Pajak, Nomor Identitas Wajib Pajak
sesuai ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan, alamat Wajib Pajak
dan Jenis Usaha Wajib Pajak;
c. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan tahun pajak yang
bersangkutan;
d. bentuk penanaman kembali.
(3) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disampaikan dengan
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan
realisasi penanaman kembali dan sedikitnya memuat hal-hal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditambah dengan informasi sebagai berikut:
a. jumlah realisasi penanaman kembali;
b. tahun dilakukan realisasi penanaman
kembali.
(4) Penanaman kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus sudah dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak
berikutnya setelah diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai
perusahaan yang baru didirikan, meliputi:
a. identitas perusahaan baru meliputi nama
perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat perusahaan, dan jenis usaha
perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte
pendirian perusahaan, beserta foto kopi akte pendirian perusahaan dimaksud;
c. jumlah penyertaan modal pada perusahaan
baru;
d. saat perusahaan aktif melakukan
kegiatan usaha dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial.
(6) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang sudah
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a. identitas perusahaan yang dilakukan
penyertaan modal meliputi nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat
perusahaan, dan jenis usaha perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte
penyertaan modal, beserta foto kopi akte penyertaan modal dimaksud;
c. foto kopi dokumen pendukung yang
relevan apabila tidak terdapat akte penyertaan modal;
d. jumlah penyertaan modal pada perusahaan
yang sudah didirikan; dan
e. saat perusahaan aktif melakukan
kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh
Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan
kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a. jenis dan alamat/lokasi aktiva tetap;
b. kuantitas dan nilai/harga perolehan
aktiva tetap;
c. bukti kepemilikan atas aktiva tetap;
d. nomor dan tanggal perjanjian pembelian
aktiva tetap; dan
e. foto kopi bukti kepemilikan atas aktiva
tetap dan perjanjian pembelian atas aktiva tetap dimaksud.
(8) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud
oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a. jenis aktiva tidak berwujud;
b. nilai investasi aktiva tidak berwujud; dan
c. foto kopi dokumen pendukung mengenai
investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud.
(9) Saat perusahaan aktif melakukan kegiatan
usaha dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf d, harus diberitahukan paling lama pada akhir tahun pajak
berikutnya setelah tahun dilakukan realisasi penanaman kembali.
Pasal 3
(1) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau oleh pihak lain yang
diberi kuasa oleh Wajib Pajak.
(2) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pihak lain yang diberi kuasa oleh
Wajib Pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a disampaikan dengan melampirkan pemberitahuan tersebut
pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan dengan melampirkan
pemberitahuan tersebut pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak
berikutnya setelah diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) wajib dilakukan Wajib Pajak minimal dalam 3 (tiga) tahun
berturut-turut sejak tahun realisasi penyertaan modal, perolehan aktiva tetap, atau
investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak harus menyampaikan
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) secara lengkap.
(2) Dalam hal pemberitahuan tidak
disampaikan atau tidak diisi secara lengkap, maka Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap yang bersangkutan dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk dikecualikan
dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan
Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.
(3) Dalam hal pemberitahuan yang disampaikan
oleh Wajib Pajak tidak diisi secara lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
penerima pemberitahuan tersebut memberitahukan secara tertulis kepada Wajib
Pajak tentang kekurangan dalam pemberitahuan tersebut.
(4) Wajib Pajak dapat membetulkan atau
melengkapi pemberitahuan tersebut selambat lambatnya 1 (satu) bulan sejak
tanggal pemberitahuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tersebut dikirim.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan
atau melengkapi pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), maka atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008.
Pasal 5
Bentuk Pemberitahuan Penanaman Kembali
Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 6 Juni 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-24/PJ/2010
TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ./2009 TENTANG TATA CARA
PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka memberikan kepastian
dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009
TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal I
Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT
1] atau Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam
hal:
a. WPLN menerima atau memperoleh
penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
b. WPLN
bank; atau
c. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang
pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B
Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN
kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
a. menggunakan formulir yang telah
ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini;
b. telah
diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah ditandatangani oleh WPLN atau
diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara
mitra P3B;
d. telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di
negara mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara
dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
e. disampaikan
sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak
terutangnya pajak.
(4) Dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi
ketentuan pada ayat (3) butir d, WPLN dianggap memenuhi persyaratan
administratif apabila ketentuan-ketentuan pada ayat (3) butir a, b, c, dan e
dipenuhi, dan WPLN melampirkan surat keterangan domisili yang lazim disahkan
atau diterbitkan oleh negara mitra P3B yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. menggunakan
bahasa Inggris;
b. diterbitkan
pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010;
c. berupa dokumen asli atau dokumen
fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu
Pemotong/Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
d. sekurang-kurangnya
mencantumkan informasi mengenai nama WPLN; dan
e. mencantumkan tanda tangan pejabat yang
berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di
negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan
kelaziman di negara mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(5) Persyaratan tidak terjadi penyalahgunaan
P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dianggap terpenuhi apabila
dalam lembar kedua Lampiran II [Form-DGT 1]:
a. dalam hal WPLN adalah orang pribadi, WPLN
tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b. dalam hal WPLN adalah badan, WPLN
merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan
secara teratur; atau
c. dalam
hal WPLN adalah badan:
1) bagi penghasilan yang di dalam P3B
terkait tidak memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab bahwa
pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema
transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; atau
2) bagi penghasilan yang di dalam P3B
terkait memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab:
a) pendirian perusahaan di negara mitra P3B
atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B;
dan
b) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen
sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
c) perusahaan
mempunyai pegawai yang memadai; dan
d) mempunyai
kegiatan atau usaha aktif; dan
e) penghasilan
yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
f) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(6) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan
hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya.
(7) Dalam hal terdapat ketentuan dalam suatu
P3B yang mengatur bahwa pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga-lembaga
yang dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan
tertentu, maka pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau lembaga dimaksud
tidak perlu menyampaikan SKD untuk keperluan penerapan ketentuan dalam P3B
tersebut.
Pasal II
Ketentuan Pasal 5 dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) SKD yang menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada
Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa
untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar
penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(2) SKD yang menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] lembar pertama dan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) mempunyai masa berlaku sebagai dasar penerapan P3B sampai
dengan 12 (dua belas) bulan sejak bulan SKD disahkan atau setelah bulan surat
keterangan domisili yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B diterbitkan
atau disahkan.
Pasal III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 April 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-25/PJ/2010
TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka memberikan kepastian
dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA.
Pasal I
Ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
a. transaksi yang tidak mempunyai
substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa
dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b. transaksi dengan struktur/skema yang
format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic
substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan
pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial
owner).
(2) Kriteria beneficial owner sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam
pasal P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner.
Pasal II
Ketentuan Pasal 4 dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang
sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
a. bertindak
tidak sebagai Agen;
b. bertindak
tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan
Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup
dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dianggap tidak
melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Individu
yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b. lembaga yang namanya disebutkan secara
tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di
Indonesia dan di negara mitra P3B;
c. WPLN yang menerima atau memperoleh
penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak
sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d. perusahaan yang sahamnya terdaftar di
Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e. dana pensiun yang pendiriannya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B dan merupakan subjek
pajak di negara mitra P3B;
f. bank;
atau
g. perusahaan
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) bagi perusahaan yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur
persyaratan beneficial owner, yaitu : pendirian perusahaan atau pengaturan
struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B;
2) bagi perusahaan yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan
beneficial owner, yaitu:
i) pendirian perusahaan atau pengaturan
struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
ii) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen
sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
iii) perusahaan
mempunyai pegawai; dan
iv) mempunyai
kegiatan atau usaha aktif; dan
v) penghasilan
yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
vi) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3) Perusahaan Conduit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari
suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara
manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara
lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan
tersebut diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan
hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan
yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.
(6) Pengertian "kegiatan atau usaha
aktif" sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir iv) diartikan
sesuai dengan keadaan WPLN dan dapat mempunyai makna kegiatan atau usaha yang
dilakukan secara aktif oleh WPLN yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang
dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang
berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan, termasuk dalam hal WPLN melakukan kegiatan yang
signifikan yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan entitas.
(7) Pengertian "penghasilan yang
bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya" sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir v) adalah kondisi WPLN
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan di negaranya, dimana WPLN
merupakan subjek yang terutang pajak di negaranya dan penghasilan yang
bersumber dari luar negeri merupakan objek pajak, meskipun pada akhirnya subjek
pajak tersebut tidak terutang pajak secara legal, antara lain karena
penghasilan tersebut terkena tarif pajak 0%, dibebaskan dari pengenaan pajak
oleh ketentuan yang spesifik dengan memenuhi persyaratan tertentu, atau secara
ekonomis tidak menanggung beban pajak, antara lain karena pajak yang terutang
ditanggung oleh pemerintah di luar negeri, ditangguhkan, atau tidak dipungut.
(8) Pengertian "tidak menggunakan lebih
dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban
kepada pihak lain" sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir
vi) adalah tidak lebih 50% dari seluruh penghasilan WPLN, dalam jenis apapun
atau sumber manapun, sebagaimana diungkapkan dalam laporan keuangan entitas
WPLN sendiri (non konsolidasi) yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada
pihak lain, tidak termasuk pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan
secara wajar dalam hubungan pekerjaan dan biaya-biaya lain yang lazim
dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya dan pembagian keuntungan dalam
bentuk dividen kepada pemegang saham.
Pasal III
Ketentuan Pasal 6 dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1) Dalam hal WPLN tidak melakukan
penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, WPLN berhak memperoleh
manfaat P3B.
(2) Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang
berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur
persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam P3B.
Pasal IV
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 April 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-32/PJ/2011
TANGGAL 11 NOPEMBER 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN
PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN
PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian
dan kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha antara
Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, dipandang
perlu melakukan perubahan beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman
Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam
Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah nomor 80 TAHUN 2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010
TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA
WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak
Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
KUP adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009.
2. Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
3. Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 42 TAHUN 2009.
4. Hubungan
Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
PPN.
5. Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s length principle/ALP) merupakan prinsip
yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau
berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
6. Harga
Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam
kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau
laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
7. Analisis
Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat
Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam
kedua jenis transaksi dimaksud.
8. Penentuan
Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
2. Ketentuan
Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer (Transfer
Pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
(2) Dalam
hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan
final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;
b. perlakuan
pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib
Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
3. Ketentuan
Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Wajib
Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. melakukan
Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan
metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga
Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam
menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
(3) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ALP) mendasarkan pada
norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga
transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
(4) Wajib
Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan
dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Ketentuan
Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dalam
melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf
a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa dalam hal:
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang
material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi
yang diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat
dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau
signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding
Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka
Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga
Wajar atau Laba Wajar.
c. dalam hal Data Pembanding Internal yang
tersedia sebagaimana dimaksud pada huruf b bersifat insidental, maka Data
Pembanding Internal dimaksud hanya dapat dipergunakan dalam transaksi yang
bersifat insidental antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
(2) Wajib
Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam
melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data
Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar
catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Data
Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi
sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Data
Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi
sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Data
Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal harus memenuhi faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan.
(4) Dalam
hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal tidak diperlukan.
(5) Data
Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun database
lainnya.
6. Ketentuan
Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Dalam
melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan
mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan
tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa.
(2) Kegiatan
ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal
kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau
laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis
fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
a. struktur organisasi dan posisi
perusahaan yang diuji dalam kelompok usaha serta manajemen mata rantai (supply
chain management) kelompok usaha;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan
oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan,
pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan
manajemen serta karakteristik utama perusahaan seperti jasa maklon (toll
manufacturing), manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas (contract
manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully fledge
manufacturing);
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan
digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan Harta Tidak Berwujud, serta
sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus
ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko
pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.
7. Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Dalam
melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan analisis
terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan
tidak tertulis.
(2) Dalam
hal tidak terdapat dokumen tertulis, hubungan kontrak para pihak dapat
ditentukan dari peran/perilaku para pihak atau prinsip ekonomi, yang umumnya
mengatur hubungan para pihak tersebut.
8. Ketentuan
Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Analisis
keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan dalam pasar
tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
(2) Keadaan
ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat kesebandingan pasar
mencakup:
a. Lokasi
geografis;
b. ukuran
pasar;
c. tingkat persaingan dalam pasar serta
posisi persaingan antara penjual dan pembeli;
d. ketersediaan
barang atau jasa pengganti;
e. tingkat permintaan dan penawaran dalam
pasar baik secara keseluruhan maupun regional;
f. daya
beli konsumen;
g. sifat
dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
h. biaya produksi termasuk biaya tanah, upah
tenaga kerja, dan modal; biaya transportasi; dan tingkatan pasar;
i. tanggal
dan waktu transaksi; dan sebagainya.
9. Ketentuan
Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Dalam
penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk
menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (The Most
Appropiate Method).
(2) Metode
Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
diterapkan adalah:
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b. Metode
Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
c. Metode
Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d. Metode
Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
e. Metode
Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
(3) Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable
Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan
dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam
kondisi atau keadaan yang sebanding.
(4) Metode
Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga
jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang
mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut
kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali
produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
(5) Metode
Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang
dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan
yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi
sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok
penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6) Metode
Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer
berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based) yang dilakukan
dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi
oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan
dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian
laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode
Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual
Profit Split Method).
(7) Metode
Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba
bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau
terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding
yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
(8) Dalam
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. kelebihan
dan kekurangan setiap metode;
b. kesesuaian metode Penentuan Harga
Transfer dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan
dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk
menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
d. tingkat kesebandingan antara transaksi
antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang
dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
(9) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) antara lain
adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan
memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak
memiliki Hubungan Istimewa Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang
tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan
pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
(10) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)
antara lain adalah:
a. tingkat kesebandingan yang tinggi
antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya
tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau
jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak
memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
(11) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) antara lain
adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan
fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka
panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk
transaksi adalah penyediaan jasa.
(12) Metode
Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan
dalam kondisi sebagai berikut:
a. transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak
dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang
unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam
menemukan data pembanding yang tepat.
(13) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net
Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
a. salah satu pihak dalam transaksi
Hubungan Istimewa melakukan kontribusi yang khusus; atau
b. salah satu pihak dalam transaksi
Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang kompleks dan memiliki transaksi yang
berhubungan satu sama lain.
(14) Wajib
Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar
catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10. Pasal
12 dihapus.
11. Ketentuan
Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang
dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. penyerahan
atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
b. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak
yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak
untuk keperluannya;
(3) Penyerahan
atau perolehan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap benar-benar
terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau komersial yang dapat menambah
nilai atas penyerahan atau perolehan jasa dimaksud.
(4) Dalam
menentukan nilai transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
harus diterapkan melalui Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.
(5) Transaksi
jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap
tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa
terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau
beberapa perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha.
(6) Transaksi
jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk biaya atau pengeluaran yang
terjadi sehubungan dengan:
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan
induk, seperti rapat pemegang saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh
perusahaan induk, dan biaya pengurus perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk
laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai
adanya manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak;
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan
untuk pengambilalihan kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali
pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati
oleh Wajib Pajak.
12. Ketentuan
Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan pengalihan
Harta Tidak Berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Harta
Tidak Berwujud (Intangibles) adalah suatu aktiva yang pada umumnya memiliki
masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta memiliki
kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya tidak untuk dijual
kembali, seperti paten, hak cipta atau merek dagang.
(3) Harta
Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta Tidak Berwujud
sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) dan Harta Tidak
Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles).
(4) Harta
Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) pada
umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan pengembangan yang berisiko dan mahal,
sehingga pemiliknya berusaha mengganti pengeluaran tersebut melalui penjualan
barang, perjanjian lisensi atau kontrak jasa.
(5) Harta
Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles) meliputi
antara lain merek dagang atau nama dagang yang membantu meningkatkan pemasaran
dari barang dan jasa, daftar pelanggan, dan saluran distribusi.
(6) Merek
Dagang adalah nama, simbol atau gambar yang unik yang dimiliki sebagai
identitas dari suatu barang atau jasa tertentu yang dihasilkan oleh pabrikan
atau dealer, dimana penggunaannya oleh pihak lain diatur oleh hukum domestik
atau hukum internasional.
(7) Transaksi
pemanfaatan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. transaksi
pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat
manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
(8) Transaksi
pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. transaksi
pengalihan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud
antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai
pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding.
(9) Dalam
melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(8) dan ayat (9) harus dipertimbangkan antara lain:
a. keterbatasan
geografis dalam pemanfaatan hak atas Harta Tidak Berwujud;
b. eksklusifitas
hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah
Harta Tak Berwujud untuk turut serta dalam pengembangan harta dimaksud.
13. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Kesepakatan
Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) adalah kesepakatan yang
dibuat oleh para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk berbagi risiko
dari mengembangkan, menghasilkan atau mendapatkan aset, jasa atau hak, dan
untuk menentukan fungsi dan peranan para pihak dalam kesepakatan atas aset, jasa
atau hak dimaksud.
(2) Para
pihak dalam Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) berhak
untuk mendapatkan manfaat pelaksanaan Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution
Arrangements) sebagai pemilik efektif (effective owners).
(3) Dalam
hal terdapat Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements), maka
kontribusi biaya antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama
dibandingkan dengan kontribusi biaya dalam kesepakatan yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
14. Ketentuan
Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Wajib
Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Termasuk
dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen
yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada
transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Wajib
Pajak wajib menyampaikan dokumentasi dalam melaporkan transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), yang terdiri dari satu set dokumen induk dan satu set
lampiran dari dokumen induk.
(4) Wajib
Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan dengan
bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode
penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan
yang tersegmentasi.
(5) Dokumen
penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak
sekurang-kurangnya mencakup:
a. gambaran perusahaan secara rinci
seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek
operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan
penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas
karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi
ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
d. pembanding
yang terpilih;
e. catatan mengenai penerapan metode
penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta
alasan penolakan metode yang tidak dipilih.
15. Ketentuan
Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Direktur
Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kewenangan
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam
transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
(3) Penghitungan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau
Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib Pajak.
(4) Dalam
hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau
menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Direktur
Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan
data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang
dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan
berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
16. Ketentuan
Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap
penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas
suatu penyesuaian (primary adjustment) yang dilakukan oleh:
a. Direktur Jenderal Pajak atas
penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri lainnya termasuk Bentuk Usaha Tetap yang menjadi lawan transaksi Wajib
Pajak; atau
b. otoritas pajak negara lain atas
penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara
tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam negeri termasuk Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia.
(2) Atas
penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri
penyesuaian penghitungan pajaknya.
17. Ketentuan
Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual
Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau P3B untuk menyelesaikan sengketa
perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui
penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap
Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.
(2) Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
(3) Prosedur
Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat yang
berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B
untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan
P3B.
18. Ketentuan
Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam
transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan
Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-35/PJ/2010
TANGGAL 28 JULI 2010
TENTANG
SURAT KETERANGAN
DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam menerapkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda, orang atau badan yang berhak untuk memperoleh
manfaat merupakan subjek pajak dalam negeri dari salah satu atau kedua negara
yang membuat persetujuan;
c. bahwa dalam rangka memberikan kepastian
dan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia untuk menikmati manfaat
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda di negara mitra perjanjian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek
Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA
DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Surat Keterangan Domisili yang
selanjutnya disebut SKD adalah Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan bagi
Wajib Pajak dalam negeri yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak adalah
subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
PPh dalam rangka memperoleh manfaat P3B di 1 (satu) negara mitra P3B.
3. Kantor Pelayanan Pajak Domisili yang
selanjutnya disebut KPP Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi
terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar.
4. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 2
(1) SKD diterbitkan atau disahkan oleh
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(2) SKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menggunakan Form-DGT 7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini atau menggunakan formulir khusus yang diterbitkan
oleh negara mitra P3B.
Pasal 3
Wajib Pajak yang dapat memperoleh SKD
adalah Wajib Pajak yang:
a. berstatus subjek pajak dalam negeri
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh;
b. memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
c. bukan berstatus subjek pajak luar
negeri, termasuk bentuk usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
Undang-Undang PPh.
Pasal 4
Permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili dengan menggunakan Form-DGT 6
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. Form-DGT 6 sebagaimana dimaksud pada
huruf a telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
c. memuat
nama negara/jurisdiksi mitra P3B tempat penghasilan bersumber;
d. memuat penjelasan mengenai penghasilan
dan pajak yang akan dikenakan di negara mitra P3B atas penghasilan dimaksud;
e. ditandatangani
oleh Wajib Pajak, dan
f. dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP, dalam hal permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
Pasal 5
(1) KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara
lengkap.
(2) Direktur
Jenderal Pajak melalui KPP Domisili menolak permohonan Wajib Pajak dalam hal:
a. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
tidak memenuhi ketentuan Pasal 3;
b. permohonan
Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 4; atau
c. Wajib
Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun batas waktu penyampaian telah
terlewati dan tidak Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
(3) Penolakan atas permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberitahukan secara tertulis kepada
Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan Wajib Pajak
diterima.
Pasal 6
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Pajak Penghasilan dan masih memerlukan SKD, Wajib Pajak harus
menyampaikan kembali permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP
Domisili.
Pasal 7
Masa berlaku SKD yang diterbitkan oleh
KPP Domisili sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) adalah 1 (satu) tahun
sejak tanggal diterbitkan, kecuali bagi Wajib Pajak bank sepanjang Wajib Pajak
bank tersebut mempunyai alamat yang sama dengan SKD yang telah diterbitkan.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Juli 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
LAMPIRAN I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-35/PJ/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
FORMULIR PERMOHONAN
SURAT KETERANGAN
DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA
DALAM RANGKA
PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
(FORM-DGT 6)
I INFORMASI
WAJIB PAJAK
1. Nama
Wajib Pajak : ________________________________ (1)
2. NPWP : |_|_| |_|_|_| |_|_|_| |_| |_|_|_|
|_|_|_| (2)
3. Alamat : ________________________________
_________________________________________________________________
No.
Telp : _________, alamat e-mail : __________________________________ (3)
II INFORMASI
WAKIL WAJIB PAJAK
1. Nama : ________________________________ (4)
2. NPWP : |_|_| |_|_|_| |_|_|_| |_| |_|_|_|
|_|_|_| (5)
3. Alamat : ________________________________
_________________________________________________________________
No.
Telp : _________, alamat e-mail : __________________________________ (6)
Dalam rangka menerapkan ketentuan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara/jurisdiksi
sebagaimana kami sebutkan pada butir III, kami menyatakan bahwa kami adalah
subjek pajak dalam negeri Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
PPh. Permohonan ini kami sampaikan untuk memperoleh keterangan Direktur
Jenderal Pajak mengenai status kami sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia.
III. INFORMASI
NEGARA TEMPAT SUMBER PENGHASILAN DIMANA SKD AKAN DIPERGUNAKAN
SKD diperlukan untuk memperoleh
manfaat P3B atas penghasilan yang bersumber dari negara/jurisdiksi : (7)
1. _______________________________ 4. _________________________
2. _______________________________ 5. _________________________
3. _______________________________ 6. _________________________
IV. INFORMASI
MENGENAI PENGHASILAN
Informasi mengenai penghasilan yang
bersumber dari negara/jurisdiksi yang kami sebutkan pada butir III di atas
adalah sebagai berikut : (gunakan kertas terpisah apabila diperlukan)
Negara
sumber penghasilan : _______________ (8)
|
Tarif Pajak
atas penghasilan di negara mitra P3B : (10)
tanpa P3B (tarif
domestik) : ___%, dengan P3B : ___ %
|
Jenis
penghasilan yang (akan) diterima : ______ (9)
|
Penjelasan mengenai transaksi atau
kejadian yang menimbulkan penghasilan : (11)
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
V. PERNYATAAN
WAJIB PAJAK
Kami sampaikan pernyataan bahwa
penghasilan yang timbul dari transaksi sebagaimana kami jelaskan pada butir IV
akan kami laporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian permohonan ini
kami sampaikan.
Yang mengajukan permohonan : (12)
Nama Wajib Pajak : ____________________________________________________________________
Bertindak sebagai : |_| Wajib Pajak Sendiri |_| Pengurus |_| Kuasa
(tandai kotak yang sesuai)
____________________, ______/ _____/ ______ _________________
Tempat
dan tanggal (hh/bb/tahun)
Tanda Tangan
FORM-DGT 6
PETUNJUK PENGISIAN
FORMULIR PERMOHONAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI
BAGI SUBJEK PAJAK
DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (FORM - DGT 6)
I. INFORMASI
WAJIB PAJAK
Diisi dengan informasi mengenai Wajib
Pajak yang mengajukan permohonan SKD yang namanya akan dicantumkan dalam SKD
Nomor
(1) : Diisi dengan nama Wajib Pajak Pemohon.
Nomor (2) : Diisi
dengan NPWP sesuai dengan yang tercantum dalam Kartu NPWP Pemohon.
Nomor (3) : Alamat
lengkap Wajib Pajak Pemohon sesuai keadaan yang sebenarnya. Nomor telepon harus
disertakan, termasuk alamat surat elektronik (e-mail) apabila ada.
II. INFORMASI
WAKIL WAJIB PAJAK
Dalam hal permohonan Wajib Pajak
disampaikan bukan oleh Wajib Pajak sendiri, bagian ini diisi dengan informasi
pihak yang bertindak sebagai wakil Wajib Pajak.
Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang
KUP, badan diwakili oleh pengurus, badan yang dinyatakan pailit diwakili oleh
kurator, badan dalam pembubaran diwakili oleh orang atau badan yang ditugasi
untuk melakukan pemberesan, badan dalam likuidasi diwakili oleh likuidator, warisan
yang belum terbagi diwakili oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, dan anak yang belum dewasa
atau orang yang berada dalam pengampuan diwakili oleh wali atau pengampunya.
Nomor
(4) : Diisi dengan nama wakil Wajib Pajak.
Nomor (5) : Diisi
dengan NPWP wakil Wajib Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Kartu NPWP
wakil Wajib Pajak.
Nomor (6) : Alamat
lengkap wakil Wajib Pajak sesuai keadaan yang sebenarnya. Nomor telepon harus
disertakan, termasuk alamat surat elektronik (e-mail) apabila ada.
III. NEGARA
TEMPAT SUMBER PENGHASILAN DIMANA SKD AKAN DIPERGUNAKAN
Nomor (7) : Diisi
dengan nama negara/jurisdiksi tempat sumber penghasilan dimana SKD akan
dipergunakan. Dapat diisi lebih dari satu negara/jurisdiksi. Apabila terdapat
lebih dari 6 (enam) negara, agar menggunakan kertas terpisah.
IV. INFORMASI
MENGENAI PENGHASILAN
Diisi dengan informasi mengenai tiap-tiap
penghasilan yang diperoleh atau akan diperoleh dari setiap negara/jurisdiksi.
Nomor (8) : Diisi
dengan nama negara/jurisdiksi sumber penghasilan di luar negeri yang merupakan
negara mitra P3B Indonesia.
Nomor (9) : Diisi
dengan jenis penghasilan yang diperoleh atau akan diperoleh Wajib Pajak, seperti
: dividen, bunga, royalti, keuntungan karena pengalihan harta, imbalan jasa, gaji,
bonus, hadiah, atau jenis penghasilan lainnya.
Nomor (10) : Diisi
dengan tarif pajak yang akan dikenakan di negara mitra P3B. Yang dimaksud
dengan "tarif pajak tanpa P3B (tarif domestik)" adalah tarif pajak
berdasarkan ketentuan perpajakan di negara mitra P3B yang akan dikenakan atas
penghasilan Wajib Pajak dalam hal P3B tidak diterapkan. Yang dimaksud dengan "tarif
pajak dengan P3B" adalah tarif pajak berdasarkan ketentuan P3B yang akan
diterapkan atas penghasilan Wajib Pajak, dimana tarif tersebut mungkin sama
dengan atau lebih kecil dari tarif domestik. Diisi dengan 0% apabila
penghasilan tidak dikenakan pajak/dibebaskan di negara mitra P3B.
Nomor (11) : Diisi
dengan penjelasan mengenai transaksi atau kejadian yang menimbulkan penghasilan,
nama pihak di luar negeri yang membayarkan atau akan membayarkan penghasilan, nilai
penghasilan yang diperoleh atau akan diperoleh, dan saat transaksi atau
kejadian, termasuk keterangan lain yang perlu disampaikan (apabila ada). Gunakan
kertas terpisah apabila diperlukan.
V. INFORMASI
MENGENAI PENGHASILAN
Nomor (12) : Diisi
dengan nama, tempat, dan tanggal pengajuan serta tanda tangan Wajib Pajak atau
wakil Wajib Pajak.
LAMPIRAN II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-35/PJ/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
MINISTRY OF FINANCE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA
DIRECTORATE GENERAL OF TAXES
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
No ………………………………………………………………, Date of
issue : ………………………………………………..
CERTIFICATE OF
TAXPAYER RESIDENCY
The Republic of Indonesia tax authority
certifies that to the best of our knowledge:
Name of taxpayer : ………………………………………………
Taxpayer Identification Number : ………………………………………………
Address : ………………………………………………
………………………………………………
is a resident of Indonesia for income
tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and .............. for the fiscal year………………
and has filed the income tax return for the fiscal year....................
………………………………………………………………
………………………………………………………………
cc.: Director of Tax Regulations II
This
certificate is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of
claiming benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and …………………………………………………………… and shall be
valid for 1 (one) year from the date of issue.
|
FORM - DGT 7
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-40/PJ/2010
TANGGAL 9 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK LUAR
NEGERI
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah Negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata
Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang
Seharusnya Tidak Bagi Wajib Pajak Luar Negeri;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.03/2007
tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007
tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak
Terutang;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG
BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah Negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Wajib Pajak luar negeri selanjutnya
disebut WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
4. Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang
adalah pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN yang seharusnya
tidak dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
5. Pejabat Yang Berwenang adalah pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam P3B.
6. Prosedur Persetujuan Bersama atau
Mutual Agreement Procedures selanjutnya disebut MAP adalah prosedur yang
dijalankan oleh Pejabat Yang Berwenang akibat penerapan P3B yang tidak
sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
7. Kesepakatan Dalam Rangka MAP (mutual
agreement) adalah kesepakatan antara Pejabat Yang Berwenang dari Indonesia dan
Pejabat Yang Berwenang dari negara mitra P3B dalam rangka menjalankan MAP
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
8. Surat Keterangan Domisili yang
selanjutnya disebut SKD adalah formulir Certificate of Domicile of Non Resident
for Claiming Tax Refund of Indonesia Tax Withholding (Form-DGT 5) yang diisi
oleh WPLN.
9. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya
disebut KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong/Pemungut Pajak
terdaftar sebagai Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak.
10. Surat Pemberitahuan Masa yang
selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan penghitungan dan penyetoran atas
pemotongan atau pemungutan pajak yang telah dilakukan untuk suatu Masa Pajak
tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 2
Pajak Yang seharusnya Tidak Terutang
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN meliputi:
a. kesalahan pemotongan atau pemungutan
pajak yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut
Pajak lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut
berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk P3B;
b. pemotongan
atau pemungutan pajak atas penghasilan yang bukan objek pajak; atau
c. pemotongan atau pemungutan pajak yang
lebih besar daripada yang seharusnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B
sesuai dengan Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak yang dapat mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak
Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah WPLN yang tidak menjalankan
kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diajukan oleh WPLN melalui Pemotong/Pemungut Pajak.
Pasal 4
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP dengan
menggunakan Form-DGT 3 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini;
b. Form-DGT 3 sebagaimana dimaksud pada
huruf a harus:
1) diisi
dengan benar, lengkap, dan jelas;
2) diisi
dalam bahasa Inggris;
3) ditandatangani
oleh WPLN;
4) mencantumkan
alasan permohonan WPLN secara jelas; dan
5) mencantumkan
jumlah pajak yang diminta untuk dikembalikan;
c. dilampiri dengan surat kuasa, dan
d. dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(2) Permohonan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap bukan surat permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Tidak Seharusnya Terutang, sehingga
tidak dipertimbangkan.
Pasal 5
Pemotong/Pemungut Pajak harus
menyampaikan permohonan WPLN yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 kepada Kepala KPP.
Pasal 6
Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada
Pasal 4 ayat (1) huruf c harus dibuat oleh WPLN dengan memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. menggunakan Form-DGT 4 sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak;
b. Form-DGT
4 sebagaimana dimaksud pada huruf a harus:
1) diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
2) diisi dalam bahasa Inggris;
3) ditandatangani oleh WPLN; dan
4) dilunasi
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
5) mencantumkan
pernyataan pemberian kuasa kepada Pemotong/Pemungut Pajak untuk menyampaikan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak
Terutang beserta kelengkapannya ke KPP dan bertindak mewakili WPLN untuk
menerima pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang.
Pasal 7
(1) Dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d terdiri dari:
a. SKD
dengan menggunakan Form-DGT 5 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. bukti
pemotongan/pemungutan pajak asli yang dimintakan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak Yang Seharusnya tidak terutang;
c. surat
pernyataan WPLN bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan
dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan
sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri.
d. dalam
hal WPLN adalah subjek pajak dalam negeri dari negara/jurisdiksi mitra P3B
Indonesia dan menerima atau memperoleh penghasilan yang pasal terkait dalam P3B
memuat klausul beneficial owner, yaitu:
1) nama,
alamat, kewarganegaraan, dan informasi rinci mengenai dewan direksi;
2) identitas
dan informasi rinci mengenai pemegang saham;
3) jumlah
pegawai dan informasi rinci mengenai tugasnya;
4) penjelasan
atas investasi yang menimbulkan penghasilan;
5) sumber
pendanaan investasi;
6) penggunaan atau rencana penggunaan
penghasilan yang bersumber dari Indonesia; dan
7) laporan keuangan dan surat
pemberitahuan pajak untuk tahun yang mencakup saat terjadinya transaksi dan 2 (dua)
tahun sebelumnya;
e. dokumen yang berkaitan dengan jenis
penghasilan:
1) bunga:
a) perjanjian pemberian atau penyediaan
pinjaman/utang;
b) jurnal pencatatan penerimaan bunga;
c) rekening bank penerimaan dan penggunaan
penghasilan; dan
d) notice of interest computation;
2) dividen:
a) dividend declaration dari perusahaan
yang membayar dividen;
b) rekening bank penerimaan dan penggunaan
penghasilan; dan
c) surat keterangan dari pembayar dividen
yang menyatakan bahwa pemohon adalah pemegang saham yang berhak menerima
dividen;
3) royalty,
sewa, dan penghasilan lain dari penggunaan harta:
a) perjanjian yang terkait dengan penyediaan
harta;
b) jurnal pencatatan penerimaan
penghasilan;
c) rekening bank penerimaan dan penggunaan
penghasilan; dan
d) notice of income computation;
4) imbalan
jasa, baik yang dilakukan oleh individu maupun badan:
a) perjanjian pemberian/penyediaan jasa;
b) pernyataan WPLN bahwa WPLN tidak
menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap; dan
c) surat keterangan dari Pemotong/Pemungut
Pajak mengenai lamanya pelaksanaan pemberian/penyediaan jasa di Indonesia;
5) penghasilan
dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan di Indonesia:
a) perjanjian penjualan atau pengalihan
saham; dan
b) akta pemindahan hak atas saham yang
dijual atau dialihkan dari perusahaan di Indonesia yang sahamnya dijual atau
dialihkan;
6) premi
asuransi dan premi reasuransi:
a) polis asuransi/reasuransi; dan
b) notice of premium computation;
7) branch
profit bentuk usaha tetap:
a) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bentuk usaha tetap; dan
b) surat keterangan Wajib Pajak bentuk
usaha tetap yang menerangkan alasan pemotongan pajak atas branch profit;
8) penghasilan
lainnya:
a) pernyataan Pemotong/Pemungut Pajak
bahwa WPLN adalah pemilik sah atas penghasilan; dan
b) penjelasan WPLN mengenai substansi
penghasilan; dan
f. dokumen
lain yang menurut WPLN atau Pemotong/Pemungut Pajak perlu disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Form-DGT 5 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a hanya dipersyaratkan bagi WPLN yang merupakan subjek pajak
dalam negeri di Negara/jurisdiksi mitra P3B dan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. diisi oleh WPLN dengan benar, lengkap, dan
jelas.
b. ditandatangani
oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan
kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B;
c. telah
disahkan oleh Pejabat Yang Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor
pajak yang berwenang di negara/jurisdiksi mitra P3B, yang dapat berupa tanda
tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan
kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B; dan
d. dalam
hal WPLN tidak dapat memperoleh pengesahan Pejabat Yang Berwenang di negara/jurisdiksi
mitra P3B pada Form-DGT-5 sebagaimana dimaksud pada huruf c, pengesahan
dimaksud dapat digantikan dengan surat keterangan domisili asli yang lazim
disahkan atau diterbitkan oleh negara/jurisdiksi mitra P3B dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) menggunakan
bahasa Inggris;
2) sekurang-kurangnya
mencantumkan informasi mengenai nama WPLN;
3) menyebutkan tahun pajak yang mencakup
penghasilan yang terkait dengan Pajak Yang Seharus Tidak Terutang; dan
4) mencantumkan tanda tangan Pejabat Yang
Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di
negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan
kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(3) Dalam hal permohonan WPLN terkait dengan
pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf c, dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
terdiri dari:
a. bukti
pemotongan/pemungutan pajak asli yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran
Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang; dan
b. fotokopi surat Kesepakatan Dalam Rangka
MAP.
Pasal 8
Dalam rangka menyelesaikan permohonan
WPLN, Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP:
a. melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
b. dapat meminta keterangan dari Pemotong/Pemungut
Pajak, WPLN, Pejabat Yang Berwenang di negara mitra P3B, dan/atau pihak lain.
Pasal 9
(1) Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang ditolak dalam hal berdasarkan
hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
a. WPLN merupakan subjek pajak dalam
negeri Indonesia;
b. pajak yang dipotong atau dipungut belum
disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
c. pajak yang dipotong atau dipungut telah:
1) diperhitungkan
dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri,
2) telah dibebankan sebagai biaya dalam
penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri, atau
3) ditanggung
oleh atau menjadi beban Pemotong/Pemungut Pajak;
d. permohonan WPLN tidak sesuai dengan
ruang lingkup P3B;
e. terjadi
penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pencegahan
penyalahgunaan P3B; atau
f. pajak
yang dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut Pajak telah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
(2) Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang terkait dengan pelaksanaan
Kesepakatan Dalam Rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditolak
dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
a. pajak yang dipotong atau dipungut belum
disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak; atau
b. jumlah
kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak terutang menurut permohonan
WPLN lebih besar daripada jumlah kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya
Tidak Terutang berdasarkan Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
(3) Permohonan WPLN yang bukan berasal dari
negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia ditolak dalam hal berdasarkan hasil
penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
a. WPLN merupakan subjek pajak dalam
negeri Indonesia;
b. pajak yang dipotong atau dipungut belum
disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
c. pajak yang dipotong atau dipungut telah:
1) diperhitungkan
dengan pajak WPLN yang terutang di luar negeri;
2) dibebankan
sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri, atau
3) ditanggung
oleh atau menjadi beban Pemotong/Pemungut Pajak; atau
d. pajak yang dipotong atau dipungut telah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Dalam hal terdapat pajak yang dipotong
atau dipungut, namun belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak, Kepala KPP
menagih pajak yang terutang kepada Pemotong/Pemungut Pajak sesuai ketentuan
yang berlaku.
(5) Dalam hal SPT Masa belum dilaporkan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak, Kepala KPP harus menindaklanjutinya sesuai ketentuan
yang berlaku.
Pasal 10
(1) Setelah melakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atas nama Pemotong/Pemungut Pajak
q.q. WPLN, apabila terdapat Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang, paling lama 3
(tiga) bulan sejak permohonan WPLN diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal permohonan WPLN ditolak, Direktur
Jenderal Pajak melalui Kepala KPP harus memberitahukan secara tertulis kepada
WPLN melalui Pemotong/Pemungut Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
WPLN diterima secara lengkap dan dengan menyebutkan alasan penolakannya.
(3) Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak atas nama Pemotong/Pemungut Pajak q.q. WPLN sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(4) Atas dasar Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPP atas
nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran
Pajak atas nama Pemotong/Pemungut Pajak q.q. WPLN sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dengan mencantumkan nomor rekening bank yang berada di Indonesia milik
Pemotong/Pemungut Pajak dan dengan menggunakan mata uang Rupiah.
Pasal 11
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.10/1994
tentang Restitusi Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Ketentuan Dalam
PPPB dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk permohonan pengembalian Pajak
Penghasilan Pasal 26 dalam rangka penerapan ketentuan P3B yang telah diajukan
oleh WPLN sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 11
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Agustus 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-48/PJ/2010
TANGGAL 3 NOPEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN
PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara mitra
diatur mengenai Prosedur Persetujuan Bersama atau lazim disebut dengan Mutual
Agreement Procedure (MAP);
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai Prosedur Persetujuan
Bersama dimaksud, perlu ditetapkan prosedur baku sebagai petunjuk teknis
pelaksanaannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur
Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT
PROCEDURE) BERDASARKAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah negara atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya
pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
2. Prosedur Persetujuan Bersama atau
Mutual Agreement Procedure yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur
administrative yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul dalam penerapan P3B.
3. Pejabat
yang Berwenang adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam P3B.
4. Negara Mitra P3B adalah negara atau
yurisdiksi yang mempunyai P3B dengan Indonesia yang sudah berlaku efektif.
5. Persetujuan Bersama atau Mutual
Agreement adalah hasil yang telah disepakati oleh Pejabat yang Berwenang dari
Indonesia dan Negara Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
6. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
adalah Subjek Pajak dalam negeri berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
7. Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B
adalah Subjek Pajak dalam negeri Negara Mitra P3B berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku di negara yang bersangkutan, yang
menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di negara
tersebut.
8. Wajib Pajak Luar Negeri adalah Subjek
Pajak luar negeri berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
9. Warga Negara Indonesia adalah Warga
Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang
kewarganegaraan.
10. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
11. Transfer Pricing adalah penentuan harga
yang dilakukan dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
12. Corresponding Adjustments yaitu koreksi
atau penyesuaian atas jumlah pajak yang terutang bagi Wajib Pajak suatu negara
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak negara mitra, yang
dilakukan oleh otoritas pajak negara yang bersangkutan sehubungan dengan
koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak negara mitra (primary
adjustments), sehingga alokasi keuntungan pada dua negara atau yurisdiksi
tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda.
13. Dual Residence adalah kondisi yang
dihadapi oleh satu subjek pajak yang melakukan transaksi lintas negara atau
yurisdiksi pada saat yang sama dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di
masing-masing negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.
Pasal 2
MAP dilaksanakan dalam hal terdapat:
a. permintaan
yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
b. permintaan yang diajukan oleh Warga
Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B
sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang
berlaku;
c. permintaan
yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
d. hal
yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.
BAB II
TATA CARA PENGAJUAN
DAN PELAKSANAAN MAP DARI WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI
INDONESIA ATAU WARGA NEGARA INDONESIA YANG
MENJADI WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI NEGARA MITRA P3B
Pasal 3
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilakukan antara lain dalam hal:
a. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena
melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib
Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa;
b. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan bentuk usaha tetap
yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
c. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
d. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri
Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk
menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak dalam negeri dari salah satu
negara tersebut.
(2) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan dalam hal Warga Negara
Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B
dikenakan atau akan dikenakan pajak di Negara Mitra P3B yang lebih berat
dibandingkan dengan yang dikenakan oleh Negara Mitra P3B kepada warganegaranya (kasus
non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B yang berlaku).
(3) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan dalam P3B yang berlaku.
Pasal 4
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a disampaikan dengan permohonan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya
mengenai:
a. nama,
Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang mengajukan permintaan;
b. nama,
Nomor Identitas Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak di Negara
Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak yang mengajukan
permintaan, khusus dalam hal terkait dengan transaksi Transfer Pricing;
c. tindakan
yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B atau
otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang telah dianggap tidak sesuai dengan
ketentuan P3B oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
d. penjelasan
apakah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia telah mengajukan atau akan mengajukan
permohonan pembetulan, keberatan, permohonan banding kepada badan peradilan pajak,
atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), atau
Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, atas hal-hal yang dimintakan MAP;
e. Tahun
Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia;
f. penjelasan
mengenai transaksi yang telah dilakukan koreksi oleh otoritas pajak Negara
Mitra P3B, yang meliputi substansi transaksi, nilai koreksi, dan dasar
dilakukannya koreksi;
g. pendapat
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan koreksi yang telah
dilakukan oleh otoritas Negara Mitra P3B Indonesia;
h. pihak
yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut
atas permintaan untuk melaksanakan MAP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia;
i. nama
kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor
pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan MAP; dan
j. ketentuan
dalam P3B yang menurut Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak diterapkan
secara benar dan pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atas penerapan
dari ketentuan P3B tersebut, apabila permintaan MAP berkaitan dengan penerapan
ketentuan P3B yang tidak semestinya.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau
wakilnya yang sah berdasarkan ketentuan Undang-Undang KUP, dan dalam hal
ditandatangani oleh kuasa, wajib dilampiri surat kuasa khusus.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam
jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan atau akan dikenakan pajak yang
tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib
meneliti kelengkapan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
melengkapi dengan dokumen-dokumen perpajakan yang terkait yang terdapat dalam
administrasi Kantor Pelayanan Pajak, untuk selanjutnya diteruskan kepada
Direktur Peraturan Perpajakan II paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima lengkap.
(5) Dalam hal permintaan MAP disampaikan
tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan surat pemberitahuan
kepada Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender
sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima, yang menyatakan bahwa
permintaan untuk melaksanakan MAP tidak lengkap dan meminta Wajib Pajak untuk
melengkapi hal-hal yang belum lengkap.
(6) Direktur Peraturan Perpajakan II
meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(7) Dalam hal permintaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan
Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
mengirimkan permintaan MAP secara tertulis kepada Pejabat yang Berwenang di
Negara Mitra P3B.
(8) Direktur Peraturan Perpajakan II atas
nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah melewati batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut
permohonan keberatan dimaksud; atau
c. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan
peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut
permohonan Banding dimaksud;
paling lama dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima dari
Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau sejak diketahui Wajib Pajak yang
bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
(9) Direktur Peraturan Perpajakan II dapat
meminta penjelasan lebih lanjut kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, termasuk
meminta dokumen-dokumen pendukung dan informasi yang diperlukan, serta dapat
meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau
unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
Pasal 5
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b disampaikan dengan permohonan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II
dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai:
a. nama,
alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan;
b. tindakan
atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B
yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak
yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga
negaranya sendiri;
c. Tahun Pajak sehubungan dengan
permintaan yang dilakukan;
d. pihak
yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut
atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
e. nama
kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor
pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam
jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah yang
bersangkutan dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan dalam P3B.
(3) Direktur Peraturan Perpajakan II
meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal permintaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan
Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
mengirimkan permintaan secara tertulis untuk melaksanakan MAP kepada Pejabat
yang Berwenang di Negara Mitra P3B.
(5) Direktur Peraturan Perpajakan II atas
nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP disampaikan setelah melewati jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permintaan untuk melaksanakan MAP
dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B Indonesia yang berlaku, paling
lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalendar sejak permintaan untuk
melaksanakan MAP diterima.
Pasal 6
(1) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP juga mengajukan
permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat
ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat
(1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat memproses
pengajuan permintaan MAP.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan
Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan
atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum
menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak
menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib
Pajak, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak
diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
Pasal 7
(1) Dalam
hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan
konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk
menindaklanjuti permintaan MAP yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam
Negeri Negara Mitra P3B.
(2) Sebelum dicapainya Persetujuan Bersama, Direktur
Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang
telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B mengenai isi rancangan
Persetujuan Bersama untuk memperoleh konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat
menerima isi rancangan Persetujuan Bersama.
(3) Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan
Bersama dengan Negara Mitra P3B setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau
Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra
P3B memberikan konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima kesepakatan
dimaksud.
(4) Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus diberikan paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama
mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia sebagaimana
tercantum dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat
Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur
Jenderal Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan atas surat
ketetapan pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(6) Direktur
Jenderal Pajak menyampaikan Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak secara
tertulis.
Pasal 8
(1) Direktur
Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal:
a. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi
Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang menyampaikan permintaan untuk
melaksanakan MAP:
1) menyampaikan surat pembatalan permintaan
MAP kepada Direktur Jenderal Pajak;
2) tidak
menyetujui isi rancangan Persetujuan Bersama;
3) tidak memenuhi seluruh permintaan data,
informasi, atau dokumen yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
4) menyampaikan
informasi yang tidak benar kepada Direktur Jenderal Pajak; atau
b. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia yang menyampaikan permintaan untuk melaksanakan
MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau
permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak mengenai penghentian
pelaksanaan MAP, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender
sejak penghentian diputuskan.
Pasal 9
Tata Cara Pengajuan dan Pelaksanaan MAP
dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang
Menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu
bagian yang tidak terpisahkan.
BAB III
TATA CARA PENANGANAN
PERMINTAAN MAP
DARI NEGARA MITRA P3B
Pasal 10
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan antara lain dalam hal:
a. Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B;
b. terjadi
koreksi Transfer Pricing di Indonesia atas Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia;
c. Negara
Mitra P3B meminta dilakukan Corresponding Adjustments sehubungan dengan koreksi
Transfer Pricing yang dilakukan otoritas Pajak negara yang bersangkutan atas
Wajib Pajak dalam negerinya yang melakukan transaksi hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
d. terjadi
pemotongan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan dengan penghasilan
yang bersumber dari Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam
P3B; atau
e. penentuan
negara domisili dari Wajib Pajak yang mempunyai status sebagai Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia dan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B (Dual
Residence).
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak
permintaan MAP yang diajukan oleh Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan
koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Negara Mitra P3B yang bersangkutan,
dalam hal tidak terdapat ketentuan mengenai Corresponding Adjustments dalam P3B
Indonesia yang berlaku.
Pasal 11
(1) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur
Peraturan Perpajakan II memberitahukan permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan dimaksud terdaftar.
(2) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi mengenai:
a. nama Negara Mitra P3B yang mengajukan
permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. tanggal diterimanya permintaan MAP;
c. nama,
Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak dalam
negeri yang terkait;
d. nama
dan alamat Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang terlibat, dalam hal
terjadi kasus Transfer Pricing; dan
e. nama
dan alamat Wajib Pajak terkait serta Tahun Pajak yang akan dibahas dalam kasus
Dual Residence.
Pasal 12
(1) Direktur Jenderal Pajak menolak
permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c untuk permintaan MAP
sehubungan dengan Corresponding Adjustments dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang terkait tidak mengajukan permintaan MAP kepada Direktur Jenderal
Pajak.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II atas
nama Direktur Jenderal Pajak meminta pernyataan secara tertulis dari Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia untuk memastikan bahwa yang bersangkutan tidak
mengajukan permintaan MAP.
Pasal 13
Dalam hal pokok permintaan MAP dari
Negara Mitra P3B adalah pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh Wajib
Pajak di Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B, Direktur
Peraturan Perpajakan II menyampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak
dimaksud mengenai permintaan MAP dari Negara Mitra P3B dan dapat meminta
penjelasan mengenai dasar pemotongan atau pemungutan pajak, substansi transaksi,
dan meminta dokumen yang diperlukan melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar.
Pasal 14
Dalam menindaklanjuti permintaan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, Direktur Peraturan Perpajakan II
dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana
teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 15
(1) Dalam hal permintaan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia
dan bentuk usaha tetap dimaksud juga mengajukan permohonan pembetulan atau
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang
KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan MAP dan memproses permohonan
pembetulan atau permohonan pengurangan, atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan
Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan
atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum
menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan
untuk melaksanakan MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal
Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal
Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Negara
Mitra P3B yang mengajukan permintaan MAP.
Pasal 16
(1) Dalam hal dipandang perlu atau atas
permintaan Negara Mitra P3B Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak dapat
melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra
P3B yang bersangkutan untuk menindaklanjuti permohonan MAP yang dilakukan oleh
negara mitra dimaksud.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak
menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan
Perpajakan II segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait terdaftar.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera
menyampaikan Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.
(4) Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan
perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia dalam surat ketetapan pajak,
Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau Surat
Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan
pembetulan, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat
keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan
dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia, tindak
lanjutnya dapat dilakukan berdasarkan prosedur atau tata cara pengembalian
pajak yang seharusnya tidak terutang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 17
(1) Direktur
Jenderal Pajak dapat menolak atau menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal:
a. permintaan
MAP disampaikan oleh Negara Mitra P3B setelah batas waktu pelaksanaan MAP
sebagaimana ditetapkan dalam P3B;
b. pokok
permohonan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B tidak termasuk ke dalam ruang
lingkup MAP sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku;
c. Negara Mitra P3B membatalkan permintaan
MAP;
d. permintaan
melaksanakan MAP terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk
usaha tetap dimaksud mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal
Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak;
e. Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan MAP sehubungan
dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra
P3B atas Wajib Pajak Dalam Negerinya, tidak mengajukan permohonan MAP;
f. Wajib
Pajak yang diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak
yang menjadi fokus dari permintaan MAP tidak memberikan seluruh dokumen yang
diperlukan;
g. Direktorat
Jenderal Pajak tidak mungkin untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan
untuk melaksanakan konsultasi dalam rangka MAP karena telah terlewatinya waktu
yang lama setelah penerbitan surat ketetapan pajak di Indonesia; atau
h. terdapat
indikasi kuat bahwa pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP tidak akan
menghasilkan keputusan yang tepat.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan
Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B bersepakat untuk menghentikan
pelaksanaan MAP, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.
Pasal 18
Tata Cara Penanganan Permintaan MAP
dari Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.
BAB IV
PELAKSANAAN MAP ATAS
INISIATIF DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 19
Direktur Jenderal Pajak dapat
mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf d tanpa berdasarkan permintaan dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
atau dari Negara Mitra P3B, untuk:
a. meninjau ulang (me-review) Persetujuan
Bersama yang telah disepakati sebelumnya karena terdapat indikasi
ketidakbenaran informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia maupun Negara Mitra P3B;
b. meminta dilakukan Corresponding Adjustments
atas koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan transaksi hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B;
c. membuat penafsiran atas suatu ketentuan
tertentu dalam P3B yang diperlukan dalam pelaksanaan P3B yang bersangkutan; atau
d. melaksanakan
hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan P3B.
Pasal 20
Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta
dokumen dan/atau informasi tambahan yang terkait dengan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau melalui
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tersebut
terdaftar.
Pasal 21
(1) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak
mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP kepada Negara Mitra P3B
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan secara tertulis
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait mengenai:
a. tanggal pengajuan permintaan untuk
melaksanakan MAP;
b. nama Negara Mitra P3B yang terkait;
c. pokok-pokok yang diajukan dalam surat
permintaan MAP;
d. argumentasi pengajuan permintaan MAP; dan
e. informasi lain yang diperlukan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat
Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang
Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19.
(3) Dalam hal tercapai Persetujuan Bersama
dengan Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Persetujuan Bersama
secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.
(4) Dalam hal pelaksanaan MAP yang berkaitan
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dihentikan tanpa menghasilkan
Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
menyampaikan pemberitahuan penghentian MAP kepada Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia terkait.
Pasal 22
Tata Cara Pelaksanaan MAP atas
Inisiatif Direktur Jenderal Pajak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran
III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak
terpisahkan.
BAB V
PELAKSANAAN
KONSULTASI DALAM RANGKA MAP
Pasal 23
(1) Pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam
rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), dan
Pasal 21 ayat (2) dilakukan oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II atau oleh
Tim Pelaksana/Delegasi Perunding yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak
dengan mempertimbangkan masukan dari Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II memberi
masukan kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai direktorat, unit pelaksana
teknis, dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam pelaksanaan MAP untuk
menjadi bagian dari Tim Pelaksana/Delegasi Perunding.
(3) Direktorat Peraturan Perpajakan II atau
Tim Pelaksana/Delegasi Perunding menyiapkan posisi Direktorat Jenderal Pajak
dalam pelaksanaan MAP dan melaksanakan MAP sesuai dengan posisi yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 24
(1) Dalam hal permintaan untuk melaksanakan
MAP terkait dengan koreksi Transfer Pricing, Direktur Jenderal Pajak dapat
membentuk Tim Khusus yang mempunyai tugas menyiapkan posisi (position paper) Direktorat
Jenderal Pajak, melakukan koordinasi serta supervisi atas unit-unit yang
terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP yang terkait dengan koreksi
Transfer Pricing, dan menjadi anggota delegasi perunding dalam pelaksanaan
pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(2) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari perwakilan Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan, dan unit pelaksana pemeriksaan yang terkait dengan
koreksi Transfer Pricing yang akan dibahas dalam pelaksanaan pertemuan
konsultasi dalam rangka MAP.
(3) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat meminta data, informasi atau dokumen yang diperlukan terkait
dengan koreksi Transfer Pricing kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia tidak memenuhi seluruh permintaan data, informasi atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan pelaksanaan
MAP tersebut.
Pasal 25
Direktur Jenderal Pajak mengembalikan
dokumen Wajib Pajak yang disampaikan dalam rangka pelaksanaan MAP dalam hal:
a. pelaksanaan
MAP batal untuk dilaksanakan atau dihentikan; atau
b. telah
dicapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B.
Pasal 26
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai
berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 3 November 2010
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-52/PJ/2009
TANGGAL 24 SEPTEMBER 2009
TENTANG
PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA
CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS
PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG
DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan
Harta di Indonesia, Kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Penunjukan Pemotong, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau
Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan
atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN
HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN
BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.
Pasal 1
(1) Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain
Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang
berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari
harga jual.
(4) Penjualan atau pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan atau pengalihan harta
berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan,
mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pasal 2
(1) Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib
Pajak Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26.
(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar
Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan
harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1).
Pasal 3
(1) Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi sebagai Wajib Pajak
dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
(2) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan,
Notaris, Penilai, dan Aktuaris, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha
yang menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 4
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
orang pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri terdaftar menerbitkan Surat Keputusan
Penunjukan Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri sebagai Pemotong Pajak
Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan
menggunakan bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1) Pemotong
Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib:
a. memotong Pajak Penghasilan Pasal 26
yang terutang pada saat dilakukan pembayaran atau saat terutangnya penghasilan,
tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu; dan
b. menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26
dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau mengalihkan
harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan
terjadinya transaksi ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang dltunjuk
oleh Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) memberikan tanda bukti pemotongan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipotong
Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan.
Pasal 6
(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang dipotong dengan Surat Pemberitahuan Masa kepada Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan
berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, maka saat pelaporan dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 24 September 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER- /PJ/2009 TENTANG
PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI
INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK
PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK
USAHA TETAP DI INDONESIA
DEPARTEMEN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR PELAYANAN
PAJAK
…………………………
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEPUTUSAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-
TENTANG
PENUNJUKAN ORANG
PRIBADI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI SEBAGAI PEMOTONG PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26
AYAT (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 36
TAHUN 2008
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang : bahwa Orang
Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri:
Nama : ………………………………………….
NPWP : ………………………………………….
memenuhi syarat untuk ditunjuk
sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mengingat : 1. Pasal
26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan
atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER- /PJ/2009 tentang Penunjukan
Pemotong, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali
yang Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : 1. Menunjuk:
Nama : ……………………………………….
NPWP : ……………………………………….
Alamat : ……………………………………….
sebagai pemotong Pajak Penghasilan
Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, atas pembayaran sehubungan dengan penjualan atau pengalihan harta
di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk
Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009;
2. Penunjukan ini berlaku sejak tanggal
…………………………………
Ditetapkan
di ……...………
pada
tanggal ………......…
A.n.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
KEPALA
KANTOR PELAYANAN PAJAK
ttd
…………………………………..
NIP
Tembusan:
Kepala Kanwil DJP ………….
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-61/PJ/2009
TANGGAL 5 NOPEMBER 2009
TENTANG
TATA CARA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain, antara
lain diatur mengenai hak pemajakan pemerintah Indonesia atas penghasilan-penghasilan
tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
c. bahwa diperlukan adanya pedoman untuk
memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Repulbik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
2. Wajib Pajak luar negeri selanjutnya
disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun
badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Surat Keterangan Domisili yang
selanjutnya disebut SKD adalah formulir yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak yang telah diisi dengan lengkap dan telah ditandatangani oleh
WPLN, serta telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B.
5. Surat Pemberitahuan Masa yang
selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan penyetoran atas pemotongan atau
pemungutan pajak yang telah dilakukan untuk suatu masa tertentu sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pasal 2
Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong
atau memungut pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 3
(1) Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan
pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B,
dalam hal:
a. Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak
dalam negeri Indonesia;
b. Persyaratan
administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
c. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh
WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau
memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 4
(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT
1] atau Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam
hal:
a. WPLN menerima atau memperoleh
penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen; atau
b. WPLN bank.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN
kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
a. menggunakan formulir yang telah
ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini;
b. telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah ditandatangani oleh WPLN;
d. telah disahkan oleh pejabat pajak yang
berwenang di negara mitra P3B, dan
e. disampaikan
sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak
terutangnya pajak.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan
hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya.
(5) Lembaga yang namanya disebutkan secara
tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di
Indonesia dan di negara mitra P3B tidak perlu menyampaikan SKD.
Pasal 5
(1) SKD yang menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada
Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa
untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar
penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(2) Formulir sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) digunakan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam
P3B sejak tanggal SKD tersebut disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang dari
negara mitra P3B dan berlaku selama 12 (dua belas) bulan.
Pasal 6
WPLN dapat menyampaikan permohonan
pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam hal manfaat P3B tidak diberikan akibat persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak
terpenuhi, tetapi WPLN menganggap pemotongan atau pemungutan pajak tidak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
Pasal 7
Tata cara penerapan P3B oleh Pemotong/Pemungut
Pajak ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 8
(1) Bukti pemotongan/pemungutan pajak wajib
dibuat oleh Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang
berlaku.
(2) Dalam hal terdapat penghasilan yang
diterima atau diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong atau
dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong/Pemungut
Pajak tetap diwajibkan untuk membuat bukti pemotongan/pemungutan pajak.
Pasal 9
(1) Pemotong/Pemungut Pajak wajib
menyampaikan fotokopi SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
melakukan penelitian kebenaran pelaporan atas jumlah pajak yang dipotong dan
melakukan perekaman SKD dan bukti pemotongan/pemungutan yang dilaporkan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
melakukan penelitian mengenai ada atau tidaknya bentuk usaha tetap dari WPLN
yang berada di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(4) Dalam hal terdapat indikasi bahwa WPLN
menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, Kantor
Pelayanan Pajak memberitahukan Kantor Pelayanan Pajak tempat bentuk usaha tetap
seharusnya terdaftar untuk dikirimi Surat Himbauan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 10
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, maka:
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-04/PJ.101/1996 tanggal 28 Mei 1996 tentang Masa Transisi Penerapan SE-03/PJ.101/1996;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5 November 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-61/PJ/2009
TANGGAL 15 DESEMBER 2009
TENTANG
RALAT PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009
TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Berhubung dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal 5 November 2009 terdapat Lampiran
II dan III yang perlu disempurnakan untuk menghindari kesalahan dalam
penafsiran dan penerapan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksud, maka perlu
dibuat ralat sebagai berikut:
1. mengganti beberapa frase yang terdapat
dalam formulir dan instruksi pengisian pada Lampiran II dan Lampiran III, yaitu:
a. "Competent Authority" menjadi
"Competent Authority or Authorized Tax Office";
b. "Competent
Authority or his authorized representative" menjadi "Competent
Authority or his authorized representative or authorized tax office";
2. menghapus frase "Please note that
this submitted form must bear the original endorsement of the Competent
Authority." yang terdapat dalam Form DGT-1 lembar kesatu;
3. menghapus frase "concerning the
types of income mentioned in Part V" yang terdapat dalam Form DGT-1 lembar
kesatu Part III;
4. mengganti keterangan yang terdapat pada
lembar kedua Form-DGT 1 mengenai pengesahan oleh Competent Authority menjadi
pernyataan oleh penerima penghasilan;
5. memberlakukan Form-DGT 1 lembar kesatu
selama 12 (dua belas) bulan sejak formulir tersebut disahkan oleh Pejabat yang
Berwenang di luar negeri;
6. memberlakukan Form-DGT 1 lembar kedua
untuk menyatakan penghasilan yang diterima Wajib Pajak luar negeri dalam 1 (satu)
bulan (Masa Pajak);
7. Sehubungan dengan ralat pada butir 1
sampai dengan butir 6, Lampiran II dan III disesuaikan menjadi sebagaimana
terdapat pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
8. Surat Keterangan Domisili yang
diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang di luar negeri sesuai dengan format dan
kelaziman di negara masing-masing dapat diterima untuk menerapkan ketentuan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas pajak penghasilan yang
terutang oleh WP luar negeri yang pelunasannya dilakukan bukan melalui
mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
Dengan ralat ini, maka Lampiran II dan
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 menjadi
sebagaimana terlampir.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 15 Desember 2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-62/PJ./2009
TANGGAL 5 NOPEMBER 2009
TENTANG
PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain
telah diatur mengenai ruang lingkup dan pihak yang berhak memperoleh manfaat
perjanjian;
c. bahwa diperlukan adanya pedoman untuk
memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini yang dimaksud dengan:
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
(2) Subjek Pajak dalam negeri selanjutnya
disebut SPDN adalah subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(3) Wajib Pajak luar negeri selanjutnya
disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi
maupun badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(4) Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan
pemerintah, SPDN, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau
pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai
ketentuan yang berlaku.
(5) Agen (agent) adalah orang atau badan
yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas
nama pihak lain.
(6) Nominee adalah orang atau badan yang
secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk
kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta
dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
Pasal 2
(1) Orang pribadi atau badan yang dicakup
dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang merupakan SPDN dan/atau subjek
pajak dalam negeri dari negara mitra P3B.
(2) P3B tidak diterapkan dalam hal terjadi
penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan telah sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
a. transaksi yang tidak mempunyai
substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa
dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b. transaksi dengan struktur/skema yang
format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic
substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan
pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial
owner).
Pasal 4
(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang
sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
a. bertindak tidak sebagai Agen;
b. bertindak tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup
dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang tidak dianggap
melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Individu yang bertindak tidak sebagai
Agen atau Nominee;
b. lembaga
yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh
pejabat yang berwenang di Indonesia dan di Negara mitra P3B;
c. WPLN
yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan
penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan
atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam
hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d. perusahaan
yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e. bank; atau
f. perusahaan yang memenuhi persyaratan:
1) pendirian perusahaan di negara mitra P3B
atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk
pemanfaatan P3B; dan
2) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen
sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
3) perusahaan
mempunyai pegawai; dan
4) mempunyai
kegiatan atau usaha aktif; dan
5) penghasilan yang bersumber dari
Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
6) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3) Perusahaan conduit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari
suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara
manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara
lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan
tersebut diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan
hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan
yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.
Pasal 5
(1) Dalam
hal terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Pemotong/Pemungut
Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan
wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008; dan
b. WPLN
yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara
format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya (economic
substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form).
Pasal 6
Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang
berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur
persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam P3B.
Pasal 7
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, maka:
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak
Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) Antara Indonesia Dengan Belanda;
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Penentuan Status
Beneficial Owner Sebagaimana Dimaksud Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Mitra;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5 November 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-4/PJ.03/2008
TANGGAL 22 AGUSTUS 2008
TENTANG
PENEGASAN TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 AYAT (4) SEHUBUNGAN DENGAN PENGHASILAN
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BENTUK USAHA TETAP YANG MELAKSANAKAN PROYEK
PEMERINTAH YANG DANANYA BERASAL DARI HIBAH DAN/ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI
Agar tercipta kesamaan pemahaman atas
penerapan ketentuan Pasal 26 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 17 TAHUN 2000 atas penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan
proyek pemerintah yang dananya berasal dari hibah dan/atau dana pinjaman luar
negeri dalam kaitannya dengan Peraturan Pemerintah nomor 42 TAHUN 1995 (PP 42
Tahun 1995) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Pemerintah nomor 25 TAHUN 2001 beserta semua peraturan pelaksanaannya, dengan
ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 42
TAHUN 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman
Luar Negeri sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor
25 TAHUN 2001 mengatur bahwa "Pajak Penghasilan yang terhutang atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier)
utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek
Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung
oleh Pemerintah.”
2. Dengan ini ditegaskan bahwa pengertian
“Pajak Penghasilan” sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah termasuk
pajak atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (4) Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah berapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Dengan demikian, dalam hal Pajak
Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh suatu
Bentuk Usaha Tetap memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam PP 42 Tahun 1995
sehingga Pajak Penghasilan yang terutang tersebut ditanggung oleh Pemerintah, maka
atas Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4) yang terutang juga ditanggung oleh
Pemerintah.
3. Dengan ditetapkannya Surat Edaran ini, penegasan-penegasan
sebelumnya yang bertentangan dengan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku.
Demikian untuk mendapat perhatian
Saudara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 22 Agustus 2008
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-22/PJ/2010
TANGGAL 23 PEBRUARI 2010
TENTANG
PEMBERITAHUAN
BERLAKUNYA PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN REPUBLIK PORTUGAL
Sehubungan dengan telah diterimanya
pemberitahuan pertukaran nota ratifikasi Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda antara Republik Indonesia dan Republik Portugal, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) antara Republik Indonesia dan Republik Portugal telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2004
tanggal 26 Januari 2004. Ratifikasi tersebut telah disampaikan kepada
Pemerintah Republik Portugal melalui Nota Diplomatik Nomor 88/EK/III/2004/62
tanggal 10 Februari 2004. Pemerintah Republik Portugal juga telah mengirimkan
pemberitahuan ratifikasi P3B melalui Nota Diplomatik Nomor SAO No. 00428
tanggal 11 Mei 2007.
2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 P3B
antara Republik Indonesia dan Republik Portugal, ketentuan-ketentuan dalam P3B
tersebut berlaku secara efektif:
a. sehubungan
dengan penghasilan yang dipotong/dipungut pajaknya di negara sumber atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh, pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.
b. sehubungan
dengan pajak atas penghasilan lainnya, sejak tahun pajak yang dimulai pada atau
setelah tanggal 1 Januari 2008.
3. Ketentuan lebih rinci dalam P3B antara
Republik Indonesia dan Republik Portugal terdapat dalam naskah Persetujuan
terlampir.
Demikian untuk mendapat perhatian
Saudara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-51/PJ./2009
TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
PELAKSANAAN
PERMINTAAN INFORMASI KE LUAR NEGERI DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENGHINDARAN DAN
PENGELAKAN PAJAK
Dalam rangka mencegah penghindaran dan
pengelakan pajak serta dan meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak
dalam melakukan pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
Indonesia, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Indonesia telah memiliki 58 Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang di dalamnya memuat tentang pelaksanaan
pertukaran informasi/EOI (exchange of information), kecuali P3B RI-Saudi Arabia.
2. Ketentuan tersebut memungkinkan
Direktorat Jenderal Pajak mengirimkan permintaan kepada negara-negara mitra P3B
yang perlu dimanfaatkan secara optimal dalam upaya pencegahan penghindaran
pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan penyalahgunaan P3B
oleh pihak-pihak yang tidak berhak (treaty abuse).
3. Transaksi yang dilakukan Wajib Pajak
dengan pihak-pihak di luar negeri, dengan atau tanpa menggunakan skema/struktur
transaksi yang rumit, perlu diteliti secara mendalam dengan memanfaatkan
informasi yang berasal dari luar negeri untuk memastikan bahwa transaksi itu
tidak dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak di Indonesia atau hanya
untuk memanfaatkan fasilitas yang terdapat di dalam P3B.
4. Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah,
atau Direktorat di Direktorat Jenderal Pajak yang sedang melakukan penelitian, pemeriksaan,
penelaahan atas permohonan keberatan Wajib Pajak, atau yang sedang memproses
permohonan banding Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan transaksi
internasional dan menemukan dugaan bahwa transaksi tersebut bertujuan untuk
menghindari pengenaan pajak di Indonesia, termasuk penyalahgunaan P3B, agar
memanfaatkan ketentuan EOI yang terdapat dalam P3B.
5. Informasi yang seharusnya dapat
diperoleh sendiri di dalam negeri atau tersedia di dalam negeri harus terlebih
dahulu diupayakan sebelum informasi tersebut diminta kepada negara mitra P3B.
6. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan permintaan informasi ke luar negeri adalah sebagai berikut:
a. Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah,
atau Direktorat mengirimkan surat yang bersifat rahasia kepada Direktur
Peraturan Perpajakan II untuk selanjutnya disusun kembali dengan format surat
yang baku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kemudian dikirimkan kepada
Competent Authority negara mitra P3B;
b. Surat permintaan informasi harus
mencantumkan informasi mengenai pihak-pihak yang bertransaksi, baik yang berada
di Indonesia maupun di luar negeri, yaitu : nama, NPWP, alamat, dan hubungan
transaksi. Dalam hal menyangkut informasi perbankan agar dicantumkan pula nama
bank, cabang, dan nomor rekening;
c. Menyebutkan tahapan yang sedang
dilakukan pada saat meminta informasi (penelitian, pemeriksaan, penyidikan, penelaahan
keberatan atau banding) dan Masa atau Tahun Pajak yang terkait;
d. Menyebutkan secara spesifik informasi
yang dibutuhkan, alasan, dan latar belakang kebutuhan informasi, serta
melampirkan fotokopi dokumen-dokumen yang dapat dimanfaatkan oleh negara mitra
P3B untuk menyediakan informasi;
e. Menjelaskan hal-hal yang dicurigai (allegation)
dari transaksi tersebut;
f. Urgensi
untuk segera dijawab (batas waktu penyelesaian pekerjaan), apabila ada; dan
g. Hal-hal lainnya yang dipandang perlu.
7. Mengingat negara mitra P3B memerlukan
waktu beberapa bulan, maka dalam hal informasi diperlukan dalam rangka
pemeriksaan, penelaahan permohonan keberatan atau banding, yang mempunyai batas
waktu penyelesaian, maka perlu diantisipasi dengan melakukan permintaan
informasi lebih awal.
8. Jawaban dari negara mitra P3B yang
diterima setelah diselesaikannya pemeriksaan, penelaahan keberatan atau banding
tetap dapat dimanfaatkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
9. Informasi yang disampaikan oleh negara
mitra P3B wajib dimanfaatkan secara optimal dan diadministrasikan dengan
memperhatikan kerahasiaan sebagaimana halnya informasi yang diperoleh dari
Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang nomor 6 TAHUN
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Demikian surat edaran ini disampaikan
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-68/PJ/2008
TANGGAL 9 DESEMBER 2008
TENTANG
FORMULIR SURAT
KETERANGAN DOMISILI (FORM 6166) AMERIKA SERIKAT
Berdasarkan surat dari Internal Revenue
Service (IRS), Department of The Treasury Amerika Serikat kepada Menteri
Keuangan Republik Indonesia tanggal 24 April 2008, dengan ini ditegaskan hal-hal
sebagai berikut:
1. IRS telah menerbitkan formulir Surat
Keterangan Domisili yaitu Form 6166 yang akan digunakan oleh penduduk Amerika
Serikat yang menyatakan bahwa Orang/Badan yang tersebut dalam surat dimaksud
adalah penduduk Amerika Serikat dan dapat menggunakan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) antara Negara Indonesia dan Negara Amerika Serikat dalam
penerapan pajaknya (contoh Form 6166 terlampir).
2. Form 6166 tersebut harus ditandatangani
oleh IVY S, McChesney, Field Director, Philadelphia Accounts Management Center (speciment
tanda tangan terlampir) dan mulai berlaku sejak tanggal 24 April 2008.
3. Terhadap Surat Keterangan Domisili yang
dikeluarkan oleh Competent Authority Amerika Serikat atau wakilnya yang sah
sebelum tanggal 24 April 2008 dianggap masih berlaku sepanjang sesuai dengan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 yaitu berlaku
selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk Wajib Pajak Bank.
Demikian untuk mendapat perhatian
Saudara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 09 Desember 2008
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-89/PJ/2010
TANGGAL 16 AGUSTUS 2010
TENTANG
TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN
DAN PEMANFAATAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Sehubungan dengan telah diterbitkannya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010 tanggal 28 Juli 2010
tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia
Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Surat Keterangan Domisili (SKD) diterbitkan
atau disahkan oleh Kepala KPP Domisili bagi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia
dengan tujuan agar Wajib Pajak dapat menikmati manfaat Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) sehubungan dengan penghasilan Wajib Pajak yang bersumber
dari luar negeri yang merupakan negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia.
2. Dalam rangka memberikan kepastian dan
pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak, ditetapkan jangka waktu penerbitan/pengesahan
SKD atau surat pemberitahuan penolakan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
3. Selanjutnya, SKD tersebut harus
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh KPP Domisili sebagai alat pengawasan
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan penghasilan yang bersumber dari luar
Indonesia sesuai dengan prinsip worldwide income yang dianut dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang PPh.
4. Tata cara penerimaan permohonan, penelitian,
penerbitan/pengesahan, pemanfaatan dan pelaporan pemanfaatan SKD bagi subjek
pajak dalam negeri Indonesia dalam rangka penerapan P3B adalah sebagaimana
ditetapkan pada Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian untuk menjadi perhatian dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 Agustus 2010
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
LAMPIRAN I
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
TATA CARA PENERIMAAN
PERMOHONAN, PENELITIAN, PENERBITAN/PENGESAHAN,
PEMANFAATAN DAN
PELAPORAN PEMANFAATAN SKD BAGI SUBJEK PAJAK DALAM
NEGERI INDONESIA
DALAM RANGKA PENERAPAN P3B
A. Tata
Cara Penerimaan Permohonan Permintaan Surat Keterangan Domisili (SKD)
Kepala Seksi Pelayanan menerima surat
permohonan Form-DGT 6 dari Wajib Pajak, memberikan tanda terima kepada Wajib
Pajak, dan meneruskannya kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi.
B. Tata
Cara Penelitian dan Penerbitan SKD
1. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
meneliti kebenaran status Wajib Pajak sebagai subjek pajak dalam negeri
Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Account Representative (AR) melakukan:
a. penelitian pemenuhan persyaratan bahwa
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan:
1) berstatus subjek pajak dalam negeri
sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh;
2) memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
3) bukan berstatus subjek pajak luar
negeri Indonesia, termasuk bentuk usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (4) Undang-Undang PPh.
AR dapat meminta informasi lain kepada
Wajib Pajak dalam rangka memastikan bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak dalam
negeri Indonesia, bukan subjek pajak luar negeri atau bentuk usaha tetap;
b. penelitian pemenuhan persyaratan bahwa
permohonan Wajib Pajak telah memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
1) menggunakan Form-DGT 6 yang telah diisi
dengan benar, lengkap, dan jelas;
2) memuat nama negara mitra P3B tempat
penghasilan bersumber;
3) memuat penjelasan mengenai penghasilan
dan pajak yang akan dikenakan di negara mitra P3B atas penghasilan dimaksud;
4) ditandatangani oleh Wajib Pajak;
5) dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP, dalam hal permohonan ditandatangani
oleh bukan Wajib Pajak;
c. penelitian atas penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh untuk Tahun Pajak terakhir atau Bagian Tahun
Pajak terakhir sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
d. penyiapan konsep SKD dengan menggunakan
Form-DGT 7 yang pengisiannya sebagaimana dicontohkan berikut ini dan pada
Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, dengan menggunakan kertas
ukuran A4:
1) pencantuman nama Kantor Wilayah pada
butir [1] dan nama KPP Domisili pada butir [2] dengan menggunakan nama yang
baku dalam bahasa Inggris sebagaimana dicontohkan dalam Lampiran III Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, dan mencantumkan alamat pada butir [3], nama
provinsi dan nama negara Indonesia pada butir [4], nomor telepon serta
faksimili lengkap dengan kode negara dan kode wilayah pada butir [5] dan [6];
2) pencantuman nomor surat dan tanggal
penerbitan SKD dengan format tanggal, bulan, dan tahun pada butir [7] dengan
menggunakan bahasa Inggris;
3) pencantuman nama Wajib Pajak pada butir
[8], NPWP pada butir [9], alamat pada butir [10], dan nama provinsi serta
negara Indonesia pada butir [11];
4) pencantuman nama negara/jurisdiksi
mitra P3B pada butir [12] sesuai dengan nama yang baku sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
5) pencantuman Tahun Pajak untuk setiap
SKD yang menggunakan Form-DGT 7 sesuai SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak
terakhir yang dilaporkan oleh Wajib Pajak pada butir [13] dan [14] dan hanya
diisi dengan 1 (satu) tahun pajak.
Sebagai contoh, dalam hal Wajib Pajak
menyampaikan permohonan permintaan SKD pada tanggal 2 Februari 2010 dan belum
menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009, maka Tahun Pajak yang
dicantumkan dalam SKD adalah Tahun Pajak 2008.
Dalam hal Wajib Pajak yang semula
adalah subjek pajak dalam negeri, namun statusnya berubah menjadi subjek pajak
luar negeri atau bukan subjek pajak, maka butir [13] dan [14] harus diisi
dengan periode dalam Tahun Pajak dimana Wajib Pajak masih berstatus sebagai
subjek pajak dalam negeri.
Sebagai contoh, Yosiaki Tanaka adalah
subjek pajak dalam negeri dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada
tanggal 15 Agustus 2010. Sebelum meninggalkan Indonesia, ia telah menyampaikan
SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak 2010 ke KPP Domisili. Pernyataan yang
dicantumkan dalam Form-DGT 7 (setelah alamat Wajib Pajak) adalah:
“is a residen of Indonesia for income
tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and ………………….. for the period of January 1 to
August 15, 2010 and has filed the income tax return of the period of January 1
to August 15, 2010.
6) Bagi Wajib Pajak yang belum pernah
menyampaikan SPT Tahunan PPh, karena baru mendaftarkan diri dalam tahun
berjalan, SKD harus mencantumkan Tahun Pajak saat Wajib Pajak terdaftar, sepanjang
pada saat itu Wajib Pajak berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia. Namun
demikian, pernyataan yang dicantumkan dalam Form-DGT 7 (setelah alamat Wajib
Pajak) harus diubah menjadi:
“is a residen of Indonesia for income
tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and…………………………for the fiscal year……………”
7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan SKD terkait dengan penghasilan yang bersumber dari Taipei, maka
pernyataan yang dicantumkan dalam Form-DGT 7 (setelah alamat Wajib Pajak) harus
diubah menjadi:
“is a resident of Indonesia for income
tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement
between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei
Economic and Trade Office for the fiscal year …………. and has filed the income
tax return for the fiscal year ………………”
Atau, dalam hal Wajib Pajak dimaksud
baru mendaftarkan diri dalam tahun berjalan:
“is a resident of Indonesia for income
tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement
between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei
Economic and Trade Office for the fiscal year…………….”
Selanjutnya, pernyataan pada bagian
bahwa Form-DGT 7 harus diubah menjadi:
This form is
requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of claiming
benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement
between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei
Economic and Trade Office, and shall be valid for 1 (one) year from the date
of issue.
|
8) Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan
permintaan SKD adalah bank, harus dilakukan modifikasi untuk pernyataan pada
bagian bawah Form-DGT 7 menjadi:
This
certificate is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of
claiming benefits of relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and …………………………… [12].
|
atau, dalam hal SKD yang diajukan oleh
Wajib Pajak terkait dengan penghasilan yang bersumber dari Taipei:
This form is
requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of claiming
benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement
between the Indonesian Economic and Trade Office to Taipei and the Taipei
Economic and Trade Office.
|
e. Apabila Wajib Pajak meminta pengesahan
SKD dengan menggunakan formulir khusus yang diterbitkan oleh otoritas yang
berwenang di negara/jurisdiksi mitra, maka:
1) pengesahan hanya dilakukan pada bagian
formulir yang terkait dengan pengesahan status subjek pajak dalam negeri
Indonesia;
2) apabila formulir khusus dimaksud memuat
keterangan terkait Wajib Pajak, selain mengenai status subjek pajak dalam
negeri Indonesia, seperti : beneficial owner, rencana penggunaan penghasilan
oleh Wajib Pajak, usaha aktif Wajib Pajak, independensi manajemen, atau motif
penyalahgunaan P3B, KPP Domisili tidak diperkenankan memberikan pengesahan atas
hal-hal tersebut tanpa terlebih dahulu meneliti informasi yang akan disahkan. Dalam
hal KPP Domisili tidak dapat mengesahkan informasi tersebut, KPP Domisili hanya
memberikan pengesahan terkait dengan status subjek pajak dalam negeri dan
memberitahukan kepada Wajib pajak secara tertulis;
f. penyiapan konsep surat penolakan
sebagaimana dicontohkan dalam Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak.
3. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
meneliti konsep SKD atau formulir khusus atau konsep surat penolakan dan
mengawasi proses penerbitan SKD agar dapat diterbitkan dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan secara
lengkap atau pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada Wajib Pajak dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari sejak tanggal diterimanya surat
permohonan.
4. Kepala KPP Domisili menyetujui konsep
SKD atau formulir khusus atau konsep surat penolakan. Dalam menyetujui konsep
SKD, Kepala KPP Domisili membubuhkan tanda tangan basah dan stempel dinas pada
butir [15] Form-DGT 7 atau bagian terkait pada formulir khusus dan mencantumkan
nama Kepala KPP Domisili pada butir [16] Form-DGT 7 atau bagian terkait pada
formulir khusus, dan jabatan dalam bahasa Inggris sebagaimana dicontohkan dalam
Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
5. Kepala Seksi Pelayanan menatausahakan
Form-DGT 6 dan SKD (Form-DGT 7) atau formulir khusus atau surat penolakan di
Seksi Pelayanan dan menyampaikan SKD atau formulir khusus atau surat penolakan
kepada Wajib Pajak melalui Subbagian Umum (SOP Tata Cara Penyampaian Dokumen di
KPP Domisili).
C. Tata
Cara Pemanfaatan SKD
1. Kepala KPP Domisili harus memanfaatkan
informasi yang terdapat dalam Form-DGT 6 dan membandingkannya dengan informasi
yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh yang dilaporkan Wajib Pajak untuk mengecek
penghasilan yang telah dinyatakan Wajib Pajak dalam Form-DGT 6, apabila memang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
2. Dalam hal, berdasarkan hal penelitian
tersebut, terdapat Wajib Pajak yang tidak atau belum melaporkan penghasilan
yang bersumber dari negara mitra P3B atau Kepala KPP Domisili tidak meyakini
bahwa seluruh penghasilan yang bersumber dari negara mitra P3B, terkait dengan
SKD yang pernah diterbitkan, telah dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan PPh,
Kepala KPP Domisili dapat mengirimkan surat Himbauan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku atau meminta keterangan kepada Wajib Pajak.
3. AR melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. meneliti SPT Tahunan PPh, beserta
lampirannya, atas nama Wajib Pajak yang pengajuan permohonan permintaan SKD-nya
disetujui oleh Kepala KPP Domisili pada tahun lalu, untuk mengidentifikasi
penghasilan Wajib Pajak yang bersumber dari luar Indonesia dan kredit pajak
luar negeri yang terkait;
b. membandingkan penghasilan dan kredit
pajak luar negeri dengan informasi yang terdapat Form-DGT 6;
c. membuat konsep surat himbauan kepada
Wajib Pajak dalam hal tidak terdapat penghasilan yang berasal dari negara mitra
P3B dalam SPT Tahunan PPh, namun terdapat Form-DGT 7 yang diterbitkan atau
formulir khusus yang disahkan untuk negara mitra P3B tersebut atau membuat
konsep surat permintaan keterangan kepada Wajib Pajak.
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan
tanggapan atau dalam hal Wajib Pajak memberikan penjelasan, namun dianggap
tidak memadai, Kepala KPP Domisili dapat melakukan permintaan informasi ke luar
negeri (exchange of information) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
D. Tata
Cara Pelaporan Pemanfaatan SKD
Kepala KPP Domisili melaporkan hasil
pemanfaatan informasi dalam SKD kepada Kepala Kanwil dan Kepala Kanwil
menyampaikan laporan rekapitulasi hasil pemanfaatan informasi dalam SKD kepada
Direktur Peraturan Perpajakan II.
LAMPIRAN II
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
MINISTRY OF FINANCE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA
DIRECTORATE GENERAL OF TAXES
Large Taxpayer Regional Tax Office [1]
Large Taxpayer Tax Office Two [2]
Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16 [3]
Jakarta, Indonesia [4]
Telp. +62-21-3456789 [5]
Fax. +62-21-89012345 [6]
No. …………………………………, Date of Issue: 17
January 2010 [7]
CERTIFICATE OF
TAXPAYER RESIDENCY
The Republic of Indonesia tax authority
certifies that to the best of our knowledge:
Name of taxpayer : PT
ALIBABA [8]
Taxpayer Identification Number : 01.234.567.8-092.000 [9]
Address : Jalan Mataram Nomor 1, Kebayoran Baru [10]
DKI Jakarta, Indonesia [11]
is a resident of Indonesia for income
tax purposes within the meaning of the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and ………………………………………. [12] for the fiscal year
………………… [13] and has filed the income tax return for the fiscal year ………….. [14]
[Tanda tangan dan stempel] [15]
…………………[Nama Pejabat]………………… [16]
Head of Large Taxpayer Tax Office Two [17]
cc.: Director of Tax Regulations II
This
certificate is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of
claiming benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and ………………………………… [12] and shall be valid
for 1 (one) year from the date of issue.
|
FORM-DGT 7
LAMPIRAN III
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
NAMA UNIT ORGANISASI
DAN JABATAN UNTUK KEPERLUAN PENERBITAN SURAT
KETERANGAN DOMISILI
Nama Unit Organisasi Kantor Wilayah DJP
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Inggris
|
Kantor
Wilayah DJP Wajib Pajak Besar
|
Large
Taxpayer Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Jakarta Khusus
|
Jakarta
Special Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Nangroe Aceh Darussalam
|
Nangroe Aceh
Darussalam Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Sumatera Utara I
|
North
Sumatra Regional Tax Office One
|
Kantor
Wilayah DJP Sumatera Utara II
|
North
Sumatra Regional Tax Office Two
|
Kantor
Wilayah DJP Riau dan Kepulauan Riau
|
Riau and
Riau Islands Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Sumatera Barat dan Jambi
|
West Sumatra
and Jambi Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Sumatera Selatan dan Kep. Bangka Belitung
|
South
Sumatra and Bangka Belitung Islands Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Bengkulu dan Lampung
|
Bengkulu and
Lampung Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Jakarta Pusat
|
Central
Jakarta Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Jakarta Barat
|
West Jakarta
Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Jakarta Selatan
|
South
Jakarta Regional Tax Office
|
Kantor Wilayah
DJP Jakarta Timur
|
East Jakarta
Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Jakarta Utara
|
North
Jakarta Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Banten
|
Banten
Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Jawa Barat I
|
West Java
Regional Tax Office One
|
Kantor
Wilayah DJP Jawa Barat II
|
West Java
Regional Tax Office Two
|
Kantor
Wilayah DJP Jawa Tengah I
|
Central Java
Regional Tax Office One
|
Kantor
Wilayah DJP Jawa Tengah II
|
Central Java
Regional Tax Office Two
|
Kantor
Wilayah DJP Daerah Istimewa Yogyakarta
|
Special
Region Yogyakarta Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Jawa Timur I
|
East Java
Regional Tax Office One
|
Kantor
Wilayah DJP Jawa Timur II
|
East Java
Regional Tax Office Two
|
Kantor
Wilayah DJP Jawa Timur III
|
East Java
Regional Tax Office Three
|
Kantor
Wilayah DJP Kalimantan Barat
|
West
Kalimantan Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah
|
South and
Central Kalimantan Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Kalimantan Timur
|
East
Kalimantan Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara
|
South, West,
and South East Sulawesi Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara
|
Nort, Central
Sulawesi, Gorontalo and North Maluku Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Bali
|
Bali
Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Nusa Tenggara
|
Nusa
Tenggara Regional Tax Office
|
Kantor
Wilayah DJP Papua dan Maluku
|
Papua and
Maluku Regional Tax Office
|
Contoh Nama Unit Organisasi Kantor
Pelayanan Pajak DJP
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Inggris
|
KPP WP Besar
Satu
|
Large
Taxpayer Tax Office One
|
KPP WP Besar
Dua
|
Larga
Taxpayer Tax Office Two
|
KPP BUMN
|
State Owned
Enterprise Tax Office
|
KPP WP Besar
Orang Pribadi
|
High Wealth
Individual Tax Office
|
KPP
Penanaman Modal Asing Satu
|
Foreign
Investment Tax Office One
|
KPP
Penanaman Modal Asing Dua
|
Foreign
Investment Tax Office Two
|
KPP
Perusahaan Masuk Bursa
|
Listed
Company Tax Office
|
KPP Badan
dan Orang Asing Satu
|
Foreign
Enterprise and Individual Tax Office One
|
KPP Badan
dan Orang Asing Dua
|
Foreign
Enterprise and Individual Tax Office Two
|
KPP Pratama
Banda Aceh
|
Banda Aceh
Tax Office
|
KPP Madya
Medan
|
Medan Medium
Tax Office
|
KPP Madya
Jakarta Pusat
|
Central
Jakarta Medium Tax Office
|
KPP Pratama
Jakarta Menteng Satu
|
Jakarta
Menteng Tax Office One
|
KPP Pratama
Jakarta Tanah Abang Tiga
|
Jakarta
Tanah Abang Tax Office Three
|
Contoh Nama Jabatan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Inggris
|
Kepala KPP
WP Besar Satu
|
Head of
Large Taxpayer Tax Office One
|
Kepala KPP
WP Besar Dua
|
Head of
Large Taxpayer Tax Office Two
|
Kepala KPP
BUMN
|
Head of
State Owned Enterprise Tax Office
|
Kepala KPP
WP Besar Orang Pribadi
|
Head of High
Wealth Individual Tax Office
|
Kepala KPP
Penanaman Modal Asing Satu
|
Head of
Foreign Investment Tax Office One
|
Kepala KPP
Penanaman Modal Asing Dua
|
Head of
foreign Investment Tax Office Two
|
Kepala KPP
Perusahaan Masuk Bursa
|
Head of
Listed Company Tax Office
|
Kepala KPP
Badan dan Orang Asing Satu
|
Head of
Foreign Enterprise and Individual Tax Office One
|
Kepala KPP
Badan dan Orang Asing Dua
|
Head of
foreign enterprise and Individual Tax Office Two
|
Kepala KPP
Pratama Banda Aceh
|
Head of
Banda Aceh Tax Office
|
Kepala KPP
Madya Medan
|
Head of
Medan Medium Tax Office
|
Kepala KPP
Madya Jakarta Pusat
|
Head of
Central Jakarta Medium Tax Office
|
Kepala KPP
Pratama Jakarta Menteng Satu
|
Head of
Jakarta Menteng Tax Office One
|
Kepala KPP
Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga
|
Head of
Jakarta Tanah Abang Tax Office Three
|
LAMPIRAN IV
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAFTAR MITRA P3B
INDONESIA
No.
|
Nama
|
No.
|
Nama
|
No.
|
Nama
|
1
|
the
Democratic People’s Republic Of Algeria
|
21
|
the Republic
of Korea (Korea Selatan)
|
41
|
the Slovak
Republic
|
2
|
Australia
|
22
|
the
Democratic People’s Republic of Korea (Korea Utara)
|
42
|
the Republic
of South Africa
|
3
|
Austria
|
23
|
the State of
Kuwait
|
43
|
the Kingdom
of Spain
|
4
|
the People’s
Republic of Bangladesh
|
24
|
the Grand
Duchy of Luxembourg
|
44
|
the
Democratic Socialist Republic of Sri Lanka
|
5
|
the Kingdom
of Belgium
|
25
|
Malaysia
|
45
|
the Republic
of the Sudan
|
6
|
Brunei
Darussalam
|
26
|
the United
Mexican States
|
46
|
the Kingdom of Sweden
|
7
|
the Republic
of Bulgaria
|
27
|
Mongolia
|
47
|
the Switzerland
|
8
|
Canada
|
28
|
the Kingdom
of the Netherlands
|
48
|
the Syrian
Arab Republic
|
9
|
the Czech
Republic
|
29
|
New Zealand
|
49
|
the Kingdom
of Thailand
|
10
|
the People’s
Republic of China
|
30
|
the Kingdom
of Norway
|
50
|
the Republic
of Tunisia
|
11
|
the Kingdom
Of Denmark
|
31
|
the Islamic
Republic of Pakistan
|
51
|
the Republic
of Turkey
|
12
|
the Arab
Republic Of Egypt
|
32
|
the Republic
of the Philippines
|
52
|
the United
Arab Emirates
|
13
|
the Republic
of Finland
|
33
|
the Republic
of Poland
|
53
|
Ukraine
|
14
|
the French
Republic
|
34
|
the
Portuguese Republic
|
54
|
the United
Kingdom of Great Britain and Northern Ireland
|
15
|
the Federal
Republic Of Germany
|
35
|
the State of
Qatar
|
55
|
the United
States of America
|
16
|
the Hungarian People’s Republic
|
36
|
Romania
|
56
|
the Republic
of Uzbekistan
|
17
|
the Republic
of India
|
37
|
the Russian
Federation
|
57
|
the Republic
of Venezuela
|
18
|
the Italian
Republic
|
38
|
the Kingdom
of Saudi Arabia
|
58
|
the
Socialist Republic of Vietnam
|
19
|
Japan
|
39
|
the Republic
of the Seychelles
|
|
|
20
|
the
Hashemite Kingdom of Jordan
|
40
|
the Republic
of Singapore
|
|
|
LAMPIRAN V
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-89/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN/PENGESAHAN DAN PEMANFAATAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR WILAYAH DJP
…………………..
KANTOR PELAYANAN
PAJAK ………………………
Jalan…………………………. Telepon : ………………………………..
………………………………… Faksimili : ………………………………..
………………………………… Homepage : http://www.pajak.go.id
_____________________________________________________________________________________
Nomor : S-
…………………………………… ………………………201…..
Sifat : ……………………………………….
Hal : Surat
Pemberitahuan Penolakan Permohonan Surat Keterangan Domisili
Yth. Direktur/Sdr. …………………….
NPWP : …………………………………..
di …………………………………………..
………………………………………………
Sehubungan
dengan Permohonan Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri
Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Form-DGT
6) tanggal ………………………. yang Saudara sampaikan, dengan ini diberitahukan bahwa
permohonan Saudara ditolak, karena:
| | Wajib
Pajak bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia atau belum terdaftar sebagai
Wajib Pajak sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-35/PJ/2010.
| | Permohonan
Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-35/PJ/2010.
| | Wajib
Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai
batas waktu penyampaian dan Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan
perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
Demikian untuk dimaklumi.
Kepala
Kantor,
…………………………………….
NIP
………………………………
|
| Diisi dengan tanda cek
list (v) pada kotak yang sesuai.
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-114/PJ/2009
TANGGAL 15 DESEMBER 2009
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA
Sehubungan dengan diterbitkannya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara
Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Ketentuan dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) merupakan kesepakatan mengenai pembagian hak
pemajakan atas penghasilan antara Indonesia dengan negara mitra P3B dan
merupakan fasilitas yang hanya dapat dinikmati oleh pihak-pihak yang berhak, yaitu:
a. orang atau badan yang merupakan subjek
pajak dalam negeri di Indonesia dan/atau di negara mitra P3B, dan
b. khusus untuk penghasilan bunga, dividen,
dan royalti, pihak yang menerima penghasilan tersebut adalah pihak yang
menikmati manfaat atas penghasilan tersebut (beneficial owner).
2. Dalam penerapan P3B di Indonesia, manfaat
P3B hanya dapat dinikmati oleh pihak-pihak tersebut di atas dengan cara
menerapkan P3B saat Pemotong/Pemungut Pajak menjalankan kewajiban pemotongan/pemungutan
Pajak Penghasilan. Namun demikian, dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dipotong/dipungut
pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B, WPLN
tersebut dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak atau dapat
memanfaatkan ketentuan mengenai Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure/MAP) sebagaimana diatur dalam P3B.
3. Bahwa untuk menghindari perbedaan
penafsiran dan penerapan ketentuan dalam kedua Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tersebut, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:
a. Pemotong/Pemungut Pajak harus
menerapkan ketentuan dalam P3B apabila penerima penghasilan:
1) bukan
Subjek Pajak dalam negeri Indonesia;
2) memenuhi persyaratan administratif
untuk menerapkan ketentuan dalam P3B; dan
3) tidak melakukan penyalahgunaan P3B
sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009.
Dalam hal salah satu persyaratan
tersebut di atas tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan
menerapkan ketentuan dalam P3B.
b. Persyaratan administratif yang harus
dipenuhi seluruhnya oleh WPLN apabila hendak memperoleh manfaat P3B pada saat
Pemotong/Pemungut Pajak melaksanakan kewajibannya adalah:
1) WPLN menggunakan formulir yang tepat (Form-DGT
1 atau Form-DGT 2), dan
2) WPLN mengisi formulir tersebut dengan
lengkap dan menandatanganinya, dan
3) formulir telah disahkan oleh pejabat
pajak yang berwenang di negara tempat WPLN terdaftar sebagai subjek pajak dalam
negeri, dan
4) formulir disampaikan oleh WPLN kepada
Pemotong/Pemungut Pajak sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa
untuk masa terutangnya pajak.
c. Dalam hal WPLN menyampaikan Form-DGT 1
setelah batas waktu yang telah ditetapkan, maka Pemotong/Pemungut Pajak tidak
diperkenankan untuk menerapkan ketentuan dalam P3B. Dengan demikian, Pemotong/Pemungut
Pajak wajib memotong/memungut pajak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
d. Form-DGT 1 digunakan pada saat
penerapan P3B oleh Pemotong/Pemungut Pajak, yaitu pada saat terutangnya pajak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lembar kesatu Form-DGT 1 yang telah diisi
dan ditandatangani oleh WPLN, serta telah disahkan oleh Pejabat yang Berwenang
di negara mitra P3B, dapat dipergunakan lebih dari satu kali oleh WPLN dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak disahkannya dokumen tersebut oleh
Pejabat yang Berwenang, apabila:
1) WPLN
bertransaksi dengan Pemotong/Pemungut Pajak yang sama, dan
2) nama
dan alamat WPLN tidak mengalami perubahan.
Dalam
hal butir 1) dan 2) di atas terpenuhi, untuk menerapkan ketentuan dalam P3B
pada Masa Pajak berikutnya, WPLN cukup menyampaikan lembar kedua Form-DGT 1
yang telah diisi lengkap pada Part IV atau Part V, dan Part VI.
e. Lembar kedua Form-DGT 1 tidak disahkan
oleh Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B, namun WPLN harus
menandatangani pernyataan yang terdapat pada bagian bawah lembar kedua Form-DGT
1, mencantumkan nama lengkap dan tanggal penandatanganan dokumen tersebut.
f. Lembar kedua Form-DGT 1 dapat
digunakan oleh WPLN untuk menyatakan seluruh penghasilan yang diterima dalam 1
(satu) bulan (Masa Pajak). Dalam hal terdapat beberapa pembayaran, WPLN:
1) mencantumkan total penghasilan untuk
tiap-tiap kelompok penghasilan (kelompok penghasilan modal : bunga/dividen/royalti,
kelompok penghasilan jasa, dan kelompok penghasilan lainnya) dalam lembar kedua
Form-DGT 1 yang sama, dan
2) membuat rekapitulasi atau rincian
penghasilan yang diterima pada suatu bulan (Masa Pajak) untuk tiap-tiap
kelompok penghasilan tersebut pada lembaran yang terpisah dengan format yang
memuat informasi tentang:
a) Nomor urut;
b) Tanggal penerimaan penghasilan;
c) Jenis penghasilan;
d) Jumlah penghasilan (dalam mata uang
asli); dan
e) Keterangan (apabila ada).
Pemotong/Pemungut Pajak memfotokopi
lembar kedua Form-DGT 1 tersebut, memaraf dan melaporkannya pada saat
penyampaian SPT Masa, dengan menyertakan fotokopi Form-DGT 1 (lembar kesatu dan
lembar kedua) yang pernah disampaikan sebelumnya oleh WPLN.
Contoh
1:
PT Budiman melakukan pembayaran
kepada Alice Corp. (WPLN dari negara X) berupa royalti pada tanggal 5 Januari 2010,
imbalan jasa manajemen pada tanggal 15 Januari 2010, dan imbalan jasa teknik
pada tanggal 20 Januari 2010.
- Untuk dapat menerapkan ketentuan
dalam P3B, pertama kali sejak diberlakukannya ketentuan ini, PT Budiman wajib
memperoleh Form-DGT 1 (lembar kesatu dan kedua) dari Alice Corp. dan meneliti
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009. Lembar kedua Form-DGT 1 diisi
lengkap pada Part V dan Part VI mengenai pembayaran royalti pada tanggal 5
Januari 2010. Lembar kedua yang tidak disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di
negara X dapat diterima untuk menerapkan P3B, namun harus ditandatangani oleh
Alice Corp.
- Dalam hal PT Budiman meyakini bahwa
SKD dari Alice Corp. telah sesuai dengan ketentuan dimaksud, penerapan
ketentuan P3B untuk pembayaran imbalan jasa manajemen pada tanggal 15 Januari 2010
dan jasa teknik pada tanggal 20 Januari 2010 dapat menggunakan lembar kedua
Form-DGT 1 yang menyatakan kedua penghasiian tersebut sekaligus atau seluruh
penghasilan dalam bulan Januari dan lampiran rincian penghasilan. Lembar kedua
yang tidak disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di negara X dapat diterima
untuk menerapkan P3B.
- PT Budiman wajib melaporkan SPT Masa
Pajak Januari 2010 dengan melampirkan fotokopi dokumen Form-DGT 1 (lembar
kesatu dan kedua, serta memaraf lembar kedua Form-DGT 1 tersebut.
Pada bulan Februari 2010 PT Budiman
membayar bunga dan royalti kepada Alice Corp.
- Ketentuan dalam P3B dapat diterapkan
hanya apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 terpenuhi.
- Untuk Pemotong/Pemungut Pajak yang
sama, Alice Corp. tidak perlu menyampaikan lembar kesatu Form-DGT 1 yang baru, sepanjang
tidak ada perubahan nama dan alamat yang terdapat dalam Form-DGT 1 sebelumnya. Alice
Corp. cukup menyampaikan lembar kedua Form-DGT 1 yang telah diisi lengkap pada
Part V dan Part VI dan ditandatangani. Lembar kedua yang tidak disahkan oleh
Pejabat yang Berwenang di negara X dapat diterima untuk menerapkan P3B. Alice
Corp. mencantumkan total penghasilan bunga dan royalti dalam butir 1 Part VI
Form-DGT 1 dan membuat rincian penghasilan.
- Untuk dapat menerapkan ketentuan
dalam P3B, PT Budiman harus memperoleh lembar kedua Form-DGT 1 yang telah diisi
lengkap dan ditandatangani oleh Alice Corp. Selanjutnya, PT Budiman wajib menyampaikan
SPT Masa Pajak Februari 2010 dan melampirkan fotokopi lembar kedua Form-DGT 1
yang telah diparaf dan fotokopi Form-DGT 1 (lembar kesatu dan lembar kedua) yang
pernah dilampirkan pada SPT Masa Pajak Januari 2010.
Contoh
2:
Melanjutkan kasus pada Contoh 1, PT
Budiman melakukan pembayaran royalti kepada Alice Corp. pada tanggal 25 Januari
2011. Misalnya, Form-DGT 1 yang telah disampaikan oleh WPLN disahkan oleh
Pejabat yang Berwenang pada tanggal 4 Januari 2010.
- Form-DGT 1 (yang pernah disampaikan
oleh Alice Corp. pada Masa Pajak Januari 2010 sudah berakhir masa waktu
penggunaannya, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk menerapkan ketentuan
dalam P3B untuk penghasilan royalti tersebut. Untuk itu, Alice Corp. harus
menyerahkan lembar kesatu Form-DGT 1 baru yang disahkan oleh Pejabat yang
Berwenang di negara X.
- Selanjutnya, PT Budiman wajib
menerapkan ketentuan dalam P3B dan menyampaikan SPT Masa Pajak Januari 2011 dan
melampirkan fotokopi dokumen Form-DGT 1 (lembar kesatu dan lembar kedua) tersebut.
g. Pada Form-DGT 1 Part V "To be
Completed if the Income Recipient is Non Individual", dalam hal WPLN
menjawab "No" untuk pertanyaan pada butir 6, WPLN tetap diperkenankan
untuk menerapkan ketentuan dalam P3B, sepanjang jawaban pada butir 7 sampai
dengan butir 12 dijawab "Yes". Hal ini dimaksudkan agar ketentuan
dalam P3B dapat diterapkan bukan hanya kepada WPLN yang mendaftarkan sahamnya
di pasar modal, namun juga kepada perusahaan yang secara substantif merupakan
pemilik manfaat yang sebenarnya atas penghasilan tersebut.
h. Di dalam butir 12 Form-DGT 1 Part V
terdapat pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui apakah penerima penghasilan
merupakan perusahaan conduit. Yang dimaksud dengan "claims by other
persons" dalam pertanyaan tersebut adalah tagihan kepada WPLN yang berasal
dari pihak ketiga, dalam bentuk bunga, royalti, imbalan jasa, atau pembayaran
lainnya, yang dimaksudkan untuk meneruskan penghasilan WPLN kepada pihak yang
sebenarnya memperoleh manfaat atas penghasilan (beneficial owner), tidak
termasuk tagihan pegawai dalam hubungan pekerjaan (employment) yang normal, seperti
gaji, upah, bonus, dan tunjangan.
i. Pada Form-DGT 1 Part VI mengenai "Income
Earned from Indonesia in Respect to Which Relief Is Claimed", dengan ini
diberi penegasan bahwa:
1) WPLN mengisi jumlah penghasilan sesuai
dengan jumlah yang dibayarkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak. Meskipun tidak
terdapat pajak yang terutang di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam P3B, jumlah
penghasilan yang dibayarkan Pemotong/Pemungut Pajak tetap harus dicantumkan. Pencantuman
jumlah penghasilan tersebut hanya merupakan informasi tentang pembayaran
penghasilan dan bukan merupakan dasar pengenaan pajak.
2) Apabila penghasilan yang diterima WPLN
dalam mata uang selain Rupiah, WPLN dapat mencantumkan nominal dalam mata uang
asing dan mengganti IDR dengan mata uang asing yang digunakan.
3) Pada butir 2 huruf c, dalam hal waktu
penyelesaian suatu pemberian jasa belum atau tidak dapat diperkirakan, maka
saat berakhirnya pemberian jasa dapat dikosongkan.
j. Dalam transaksi pengalihan obligasi, penghasilan
yang timbul dari transaksi tersebut diperlakukan sebagai bunga/diskonto sesuai
dengan PERATURAN PEMERINTAH nomor 16 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi dan PERATURAN PEMERINTAH nomor 27 TAHUN 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Dengan
demikian, WPLN yang memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan obligasi, kecuali
WPLN bank, wajib menggunakan Form-DGT 1 untuk memperoleh manfaat P3B.
k. Dalam hal penerima penghasilan adalah
WPLN bank, tanpa memperhatikan jenis penghasilannya, Form-DGT 2 wajib digunakan
untuk memperoleh manfaat P3B.
l. Form-DGT 2 dapat terus digunakan oleh
WPLN dalam hal menerima penghasilan dari Pemotong/Pemungut Pajak yang sama atau
yang berbeda dalam waktu 12 bulan sejak tanggal dokumen tersebut disahkan oleh
Pejabat yang Berwenang di negara mitra P3B.
Dalam hal Form-DGT 2 tersebut akan
digunakan untuk lebih dari satu Pemotong/Pemungut Pajak, Form-DGT 2 asli dapat
diperbanyak oleh Pemotong/Pemungut dan dilegalisasi oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dimana Pemotong/Pemungut Pajak tersebut terdaftar. Kepala
KPP harus menyimpan dokumen Form-DGT 2 asli tersebut.
Form-DGT 2 yang telah dilegalisasi oleh
Kepala KPP diperlakukan sama seperti dokumen aslinya.
4. WPLN diperkenankan untuk menggunakan SKD
yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang di luar negeri sesuai dengan
format dan kelaziman di negara masing-masing untuk menerapkan ketentuan dalam P3B
apabila WPLN melunasi pajak terhutang di Indonesia tidak melalui mekanisme
pemotongan atau pemungutan pajak oleh Pemotong/Pemungut Pajak di Indonesia.
Demikian untuk menjadi perhatian dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 15 Desember 2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar