PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 16/PMK.03/2010
TANGGAL 25 JANUARI 2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 68 TAHUN 2009
tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan
Sekaligus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5082);
4. Keputusan
Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG
DIBAYARKAN SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam
negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan
dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun
secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana
pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon
yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi
kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun
Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan
lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan
Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh
pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
(3) Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun
yang dibayarkan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua
puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus pada saat
Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia;
b. Pembayaran
manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang
ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara
sekaligus;
c. pengalihan
Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun
membeli anuitas seumur hidup.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat
final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang pada saat dilakukan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.
Pasal 3
(1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar
0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah);
b. sebesar
5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar
15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar
25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas jumlah kumulatif Uang
Pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Pasal 4
(1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar
0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah);
b. sebesar
5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Pasal 5
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada
tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan
kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Dalam hal Pegawai tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 6
(1) Dalam
hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang
Pesangon.
(2) Atas pengalihan Uang Pesangon kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara sekaligus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat
final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipotong oleh pemberi kerja.
(4) Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai,
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pasal 7
(1) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(2) Atas pengalihan Uang Pesangon kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara bertahap atau
berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terutang Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai,
dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final oleh
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
Pasal 8
(1) Dalam hal terjadi pengalihan Uang
Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun
membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima
hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
(2) Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun
kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan Pasal 21
yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja
atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
(4) Pada saat perusahaan asuransi jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai,
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pasal 9
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong,
menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua untuk
setiap Masa Pajak.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
oleh Pemotong Pajak untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah
Masa Pajak berakhir.
(3) Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan
dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang
dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar, paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(4) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan batas akhir
pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan
pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(5) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya
pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(6) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan,
dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan
bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tetap dilakukan terhadap
Pegawai yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0% (nol persen).
(7) Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak, kepada
satu Pegawai dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
ayat (6) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan ini, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon, Uang
Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan
Hari Tua, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun
atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang diperoleh
Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan pembayarannya
dilakukan sejak tanggal 16 November 2009, berlaku ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari
Tua atau Jaminan Hari Tua;
2. Tata Cara pengenaan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sebagaimana tersebut pada angka 1, berlaku Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 112/KMK.03/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua
atau Jaminan Hari Tua;
3. Saat diperolehnya penghasilan berupa
uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah pada saat
Pegawai berhenti bekerja.
Pasal 11
Tata cara penghitungan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
dengan menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4
ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 12
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 Tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang
Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 16 November 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 33
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR /PMK.03/
TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
CONTOH PENGHITUNGAN
PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
BERUPA UANG PESANGON,
UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN
JAMINAN HARI TUA YANG
DIBAYARKAN SEKALIGUS
1. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
yang Dibayarkan sekaligus
Pirman Nurjaman bekerja sebagai pegawai
tetap pada PT Asgar Manah sejak tahun 1980. PT Asgar Manah telah mengikutkan
program pensiun untuk seluruh pegawainya dengan membentuk Dana Pensiun PT Asgar
Manah. Pada bulan Januari 2010, Pirman Nurjaman terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp600.000.000,00 dari PT
Asgar Manah.
Selain itu, Pirman Nurjaman berhak atas
manfaat pensiun sebesar Rp 300.000.000,00 dari Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pirman
Nurjaman meminta pembayaran sekaligus atas manfaat pensiun sebesar 20% dari
manfaat pensiun dan sisanya (80% dari manfaat pensiun) dibayarkan secara
bulanan. Dana Pensiun PT Asgar Manah membayarkan Uang Manfat Pensiun yang
dibayarkan sekaligus sebesar 20% x Rp300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15% x Rp400.000.000,00 = Rp
60.000.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp
25.000.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp 87.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang
atas 20% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp10.000.000,00 = Rp
500.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp
500.000,00
Sedangkan penghitungan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas pembayaran 80% dari manfaat pensiun yang dibayarkan
secara bulanan berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
2. Contoh
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Bertahap
Apabila PT Asgar Manah melakukan
pembayaran Uang Pesangon kepada Pirman Nurjaman secara bertahap dengan jadwal
pembayaran sebagai berikut:
a. Bulan Januari 2010 Rp240.000.000,00
b. Bulan Januari 2011 Rp120.000.000,00
c. Bulan Juli 2011 Rp120.000.000,00
d. Bulan Januari 2012 Rp120.000.000,00
maka
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang:
a. Bulan Januari 2010:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15% x Rp140.000.000,00 = Rp21.000.000,00
----------------------
(+)
Rp23.500.000,00
b. Bulan Januari 2011:
15% x Rp120.000.000,00 = Rp18.000.000,00
c. Bulan Juli 2011:
15% x Rp120.000.000,00 = Rp18.000.000,00
d. Bulan Januari 2012:
Oleh karena pembayaran Uang Pesangon
sudah memasuki tahun ketiga maka tarif PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang
dibayarkan pada bulan Januari 2012 adalah Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pemotongan PPh 21 pada bulan Januari 2012
tidak bersifat Final.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk
Bulan Januari 2012:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp70.000.000,00 = Rp10.500.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp13.000.000,00
_____________________________________________________________________________________
Salinan sesuai dengan aslinya, MENTERI KEUANGAN,
Kepala Biro Umum ttd
u.b. SRI MULYANI INDRAWATI
Kepala Bagian T.U. Departemen
ttd
Antonius Suharto
NIP 060041107
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR 39/PJ/2008
TANGGAL 6 OKTOBER 2008
TENTANG
SURAT PEMBERITAHUAN
TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN 2008 BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
Bahwa dalam rangka memberi kepastian
hukum serta meningkatkan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2008 Beserta Petunjuk Pengisiannya;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 40,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN 2008
BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA.
Pasal 1
Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani,
dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar.
Pasal 2
Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 beserta Petunjuk
Pengisiannya untuk Tahun 2008 adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-81/PJ./2007
tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, dan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2007 beserta Petunjuk
Pengisiannya, tetap berlaku sepanjang digunakan untuk pengisian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun 2007.
Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 6 Oktober 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN NASUTION
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 43/PMK.03/2009
TANGGAL 3 MARET 2009
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA
TERTENTU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2009 beserta Penjelasannya diatur bahwa dalam keadaan
darurat, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) yang dituangkan dalam Kesimpulan Rapat Kerja Panitia
Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah berupa
penetapan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya atau pengeluaran melebihi
pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2009;
b. bahwa dalam rangka mengurangi dampak
krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan
untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja, Pemerintah telah
mengusulkan kepada DPR-RI upaya mengatasi dampak krisis global melalui program
stimulus fiskal;
c. bahwa berdasarkan Kesimpulan Rapat
Kerja Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah pada tanggal 23 dan 24 Februari
2009 dengan mendasarkan pada ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a, DPR-RI
telah menyetujui penetapan pagu anggaran dalam rangka pemberian stimulus fiskal
berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah sesuai usulan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan
Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4920);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA
KATEGORI USAHA TERTENTU.
Pasal 1
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
ditanggung Pemerintah ditetapkan paling banyak sebesar pagu anggaran Pajak Penghasilan
Pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 dan perubahannya.
Pasal 2
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung
Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang
berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) dalam satu bulan.
Pasal 3
Kategori usaha tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kategori usaha pertanian termasuk
perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b. kategori
usaha perikanan; dan
c. kategori
usaha industri pengolahan,
yang rinciannya sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung
Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh
pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebesar Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah atas
penghasilan pekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha
tertentu, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 3 Maret 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 49/PMK.03/2009
TANGGAL 18 MARET 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.03/2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL
21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak khususnya pekerja untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah hanya diberikan
kepada pekerja yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada
Kategori Usaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4920);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009
tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan
Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.03/2009 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA
KATEGORI USAHA TERTENTU.
Pasal I
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Masa Pajak Juni 2009, sedangkan mulai Masa
Pajak Juli 2009 hanya diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah yang diterima pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar pajak terutang berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan
dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak sebesar 20% lebih tinggi bagi pekerja
yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Dalam hal setelah Masa Pajak Juni 2009
pekerja belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah hanya diberikan sejak Masa Pajak setelah pekerja yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 18 Maret 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 68 TAHUN 2009
TANGGAL 16 NOPEMBER 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21
ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1903
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam
negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan
dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun
secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana
pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon
yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi
kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun
Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan
lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan
Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Pasal 3
(1) Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai
dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
(2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai
dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
(3) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(4) Dalam hal terjadi pengalihan Uang
Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun
membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima
hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
Pasal 4
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 5
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada
tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan
kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong,
menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(2) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat
dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(3) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan,
dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan
bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan terhadap
Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).
Pasal 8
(1) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan
Uang Pesangon.
(2) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3), pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
pengalihan Uang Pesangon tersebut.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.
Pasal 9
Dalam hal terjadi pengalihan Uang
Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana
Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian
anuitas seumur hidup.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon, uang
tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan
pembayarannya dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini berlaku, berlaku
ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan
Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan
Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4067), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Rupublik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 November 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG
MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG
DIBAYARKAN SEKALIGUS
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan
penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan
Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 149
TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5)
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan
Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Materi pokok yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua.
Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin
yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah
dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang djperoleh menjadi
lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian
hukum.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup jelas.
Pasal
2
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Karena alasan keuangan, pembayaran
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam beberapa kali pembayaran.
Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua)
tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus, dan dihitung
sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
Pasal
3
Ayat (1)
Pada dasarnya kewajiban pembayaran
Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada pegawainya pada saat terjadi
pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya, kewajiban pembayaran Uang Pesangon
tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui
pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau secara bertahap atau berkala.
Ayat (2)
Apabila pemberi kerja mengalihkan
Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka
Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja
sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat
pengalihan tersebut.
Ayat (3)
Dalam hal pemberi kerja mengalihkan
Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap belum menerima hak atas
Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja tidak mempunyai kewajiban untuk memotong
Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal
4
Dengan
memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan
besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan
keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan
tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa
Uang Pesangon dengan jumlah Rp175.000.000,00.
Penghasilan bruto Rp
175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
--------------------------
Rp13.750.000,00
Dalam
hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam
beberapa kali pembayaran, misalnya:
a. Bulan
Desember 2009 Rp 50.000.000,00
b. Bulan
April 2010 Rp 125.000.000,00 (+)
-----------------------------
Jumlah Rp
175.000.000,00
Perhitungan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai
satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus
dipotong:
Bulan Desember 2009:
Jumlah penghasilan bruto Rp 50.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp0,00
Bulan April 2010:
Jumlah penghasilan bruto Rp125.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500,000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00
(+)
--------------------------
Jumlah Rp
13.750.000,00
Jumlah
seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp13.750.000,00.
Pasal
5
Berdasarkan
pertimbangan bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua yang dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk jangka
waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut pada
dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak. Dengan
memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada umumnya,
maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa tahun
masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan ini
diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian
hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak produktif.
Untuk
memberikan perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai
dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol person).
Contoh
perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus Rp150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
terutang:
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
= --------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Dalam hal jumlah pembayaran uang
Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya:
Bulan Desember 2009 sebesar Rp
50.000.000,00
Bulan Februari 2010 sebesar Rp
100.000.000,00
---------------------
Jumlah Rp 150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebagai berikut:
Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
Bulan Februari 2010:
5% x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
--------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Pasal
6
Ayat (1)
Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya
dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga
sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang
bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut,
yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Penerima penghasilan sebagaimana
contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp50.000.000,00
= Rp3.000.000,00.
Pasal
7
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Bukti pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).
Pasal
8
Cukup jelas.
Pasal
9
Cukup jelas.
Pasal
10
Cukup jelas
Pasal
11
Cukup jelas.
Pasal
12
Cukup jelas.
Pasal
13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 80 TAHUN 2010
TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali tarif pemotongan dan
pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang
Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (5)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF
PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG
MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA DAERAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang
selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya disebut anggota POLRI adalah anggota POLRI
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu
sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda
atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 2
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau
APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat
Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya
tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya
yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk
gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan
tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pasal 3
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau APBD
dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21
sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong dari
penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya.
(3) Pemotongan atas tambahan Pajak
Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibayarkan.
Pasal 4
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN
atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau
imbalan lain tersebut.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat final dengan tarif:
a. sebesar
0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari
jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV,
Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya.
Pasal 5
Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga
yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban
APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota
pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai
dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.
Pasal 6
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain
yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final di luar penghasilan tetap
dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut
digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang
bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Ketentuan mengenai tata cara pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI,
dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang
Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3577), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 20 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 140
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN
PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
ATAU ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan
penyesuaian ketentuan mengenai tarif pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan
Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional
Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pensiunannya atas
penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang sebelumnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para
Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan
Daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5)
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan
Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Terhadap penghasilan berupa gaji dan
tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan
teratur setiap bulan yang dibebankan dalam APBN atau APBD yang besarnya
ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh pemerintah.
Sedangkan atas penghasilan selain gaji
dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan
teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya berupa honorarium atau
imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 yang bersifat final kepada golongan kepangkatan tertentu bagi PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI dan Pensiunannya merupakan insentif.
Pengenaan pajak yang bersifat final
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan administrasi bagi
fiskus, bendahara pemerintah sebagai pemotong pajak dan Wajib Pajak orang
pribadi yang dipotong pajak.
Dalam rangka melaksanakan kewajiban
untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang tidak memiliki NPWP, atas penghasilan
berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang
bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya dikenai
pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi yang dipotong dari
penghasilan yang diterima setiap bulan.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup jelas.
Pasal
2
Ayat (1)
Penghasilan yang diberikan dalam
mata uang asing yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
termasuk dalam pengertian penghasilan tetap dan teratur setiap bulan.
Apabila PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunannya merangkap juga sebagai Pejabat Negara, maka penghasilan
yang diterima baik berupa gaji atau uang pensiun dan tunjangan lain sebagai PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, maupun penghasilan berupa gaji
kehormatan dan tunjangan lainnya atau imbalan tetap sejenisnya selaku Pejabat
Negara, pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang juga ditanggung oleh
pemerintah selaku pemberi kerja.
Ayat (2)
Huruf
a
Termasuk dalam pengertian ‘gaji dan
tunjangan lain’ adalah gaji dan tunjangan ke-13.
Huruf
b
Lihat penjelasan huruf a.
Huruf
c
Termasuk dalam pengertian ‘uang
pensiun dan tunjangan lain’ adalah uang pensiun dan tunjangan ke-13.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal
3
Ayat (1)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya antara lain dengan menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal
4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ‘bendahara
pemerintah’ adalah bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Pasal
5
Cukup jelas.
Pasal
6
Penghasilan
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang menerima
penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final (misalnya
penghasilan berupa laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan aktiva) digabung
dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam perhitungan Pajak
Penghasilan yang terutang yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
Pasal
7
Cukup jelas.
Pasal
8
Cukup jelas.
Pasal
9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5174
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 139/PMK.03/2010
TANGGAL 11 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENENTUAN KEMBALI
BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI
PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK
DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18
ayat (3d) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 diatur bahwa besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau
sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18
ayat (3e) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan Kembali
Besarnya Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari
Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain yang Tidak
Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN
PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Hubungan Istimewa adalah hubungan
istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau
hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara
mitra yang berlaku.
Pasal 2
(1) Besarnya penghasilan yang diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau
jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di
luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan
seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya
kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
(2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar
negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.
(3) Biaya atau pengeluaran lainnya yang
dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri
yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.
Pasal 3
(1) Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali dengan memperhatikan
tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang bersangkutan.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di
Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.
(3) Besarnya selisih penghasilan setelah
ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi
jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.
(4) Atas penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5) Dalam rangka menentukan kembali besarnya
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji karyawan
asing.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 11 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 385
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 209/PMK.07/2010
TANGGAL 29 NOPEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI DEFINITIF
DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2010
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi
Definitif Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2010;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 4893);
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
3. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010
tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB
PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2010.
Pasal 1
(1) Penerimaan Negara dari Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan
PPh Pasal 21 dibagihasilkan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) Bagian daerah dari Dana Bagi Hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8% (delapan persen) untuk provinsi yang
bersangkutan; dan
b. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) Bagian daerah kabupaten/kota dana bagi
hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk
kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar;
b. 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk
seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama
besar.
Pasal 2
Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 untuk masing-masing
daerah didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29
WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010.
Pasal 3
(1) Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 adalah
sebesar Rp10.928.026.055.002,00 (sepuluh triliun sembilan ratus dua puluh
delapan miliar dua puluh enam juta lima puluh lima ribu dua rupiah) dengan
rincian sebagai berikut:
a. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29
WPOPDN sebesar Rp618.152.094.787,00 (enam ratus delapan belas miliar seratus
lima puluh dua juta sembilan puluh empat ribu tujuh ratus delapan puluh tujuh
rupiah); dan
b. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 21 sebesar Rp10.309.873.960.215,00
(sepuluh triliun tiga ratus sembilan miliar delapan ratus tujuh puluh tiga juta
sembilan ratus enam puluh ribu dua ratus lima belas rupiah).
(2) Rincian Alokasi Definitif Dana Bagi
Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 untuk masing-masing
daerah Tahun Anggaran 2010 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan dasar penyaluran Triwulan IV.
Pasal 5
Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25
dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan
Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer
ke daerah.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.07/2009 tentang
Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2010
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.07/2010,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 29 November 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 November 2010
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 576
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 229/PMK.07/2010
TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI SEMENTARA
DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2011
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil
Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2011;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5167);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010
tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB
PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2011.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya
disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
2. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN, adalah
Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak
Penghasilan yang berlaku kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku.
3. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang
selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang
berlaku.
Pasal 2
(1) Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan
PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8% (delapan persen) untuk provinsi yang
bersangkutan; dan
b. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai
berikut:
a. 8,4%
(delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak
terdaftar; dan
b. 3,6%
(tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
Pasal 3
(1) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 merupakan perkiraan.
(2) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 didasarkan atas rencana
penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.
(3) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 masing-masing daerah Tahun Anggaran 2011 adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011
sebesar Rp13.131.019.999.471,00 (tiga belas triliun seratus tiga puluh satu
miliar sembilan belas juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu empat
ratus tujuh puluh satu rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
a. DBH PPh WPOPDN sebesar Rp715.119.999.732,00
(tujuh ratus lima belas miliar seratus sembilan belas juta sembilan ratus
sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh dua rupiah);
b. DBH PPh Pasal 21 sebesar Rp12.415.899.999.739,00
(dua belas triliun empat ratus lima belas miliar delapan ratus sembilan puluh
sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga
puluh sembilan rupiah).
Pasal 5
(1) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan
sebagai dasar penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011.
(2) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
Alokasi definitif DBH PPh WPOPDN dan
PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
tersendiri.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 20 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 633
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 250/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
BESARNYA BIAYA
JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
BESARNYA BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN.
Pasal 1
(1) Besarnya biaya jabatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak
Penghasilan bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 ditetapkan sebesar 5%
(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp.6.000.000,00 (enam
juta rupiah) setahun atau Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.
(2) Besarnya biaya pensiun yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak
Penghasilan bagi pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 ditetapkan sebesar 5%
(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua
juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu
rupiah) sebulan.
Pasal 2
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/1998 tentang Besarnya
Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Pegawai Tetap atau Pensiunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 252/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN
PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN
KEGIATAN ORANG PRIBADI
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk
bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak
atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
6. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib
Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun
kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
7. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang
tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh
Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang
dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.
8. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang
tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh
Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang
dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.
9. Pegawai adalah orang pribadi yang
bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga
kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau
kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode
tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi
kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri
atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
10. Pegawai tetap adalah pegawai yang
menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk
anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus
menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang
bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai
yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
11. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas
adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang
bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta
oleh pemberi kerja.
12. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai
adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja
lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa
atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari
pemberi penghasilan.
13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi
yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar,
lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya
dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
kegiatan tersebut.
14. Penerima pensiun adalah orang pribadi
atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang
dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat
Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala
macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat
Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang
bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara
lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
17. Upah harian adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara
harian.
18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara
mingguan.
19. Upah satuan adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah borongan adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan kepada bukan pegawai adalah
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang
dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis
lainnya.
22. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan
sejenis lainnya.
23. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember
atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
BAB II
PEMOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 2
(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari orang
pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit
yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah
termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi
TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun
dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
1. honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan
untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium atau imbalan lain kepada
peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan
pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang
pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja
yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan
orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam
rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam hal organisasi internasional tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi
internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan
pemotongan pajak.
BAB III
PENERIMA PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN ATAU PPh PASAL 26
Pasal 3
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya;
c. bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara
lain meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman
lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah,
penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi
jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan
langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor
perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;
d. peserta kegiatan yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
antara lain meliputi:
1. peserta perlombaan dalam segala bidang,
antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi
dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan,
atau kunjungan kerja;
3. peserta
atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. peserta pendidikan, pelatihan, dan
magang;
5. peserta kegiatan lainnya.
Pasal 4
Tidak termasuk dalam pengertian
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
a. pejabat perwakilan diplomatik dan
konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
BAB IV
PENGHASILAN YANG DIPOTONG
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 5
(1) Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun
tidak teratur;
b. penghasilan yang diterima atau
diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan
sejenisnya;
c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan
hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
d. penghasilan pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e. imbalan kepada bukan pegawai, antara
lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara
lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan
nama apapun.
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. bukan Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final; atau
c. Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit).
Pasal 6
(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Pasal 7
(1) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada
harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian
kenikmatan yang diberikan.
(2) Dalam hal penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan
PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan
tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
Pasal 8
(1) Tidak termasuk dalam pengertian
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. pembayaran manfaat atau santunan
asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran
tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan
hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh
pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi
yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh
pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan
dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN
PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU
PPh PASAL 26
Pasal 9
(1) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku
bagi:
1. pegawai
tetap;
2. penerima
pensiun berkala;
3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya
dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1
(satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak
sendiri;
4. bukan
pegawai, yang meliputi:
a) distributor multi level marketing atau
direct selling;
b) petugas dinas luar asuransi yang tidak
berstatus sebagai pegawai;
c) penjaja barang dagangan yang tidak
berstatus sebagai pegawai; dan/atau
d) penerima penghasilan bukan pegawai
lainnya yang menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara
berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian
penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang berlaku bagi
pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau
upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan
kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku
bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b.
(2) PTKP
sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PTKP dibagi 12 (dua belas).
(3) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
BAB VI
PENGURANGAN YANG
DIPERBOLEHKAN
Pasal 10
(1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh
Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan
Kena Pajak adalah sebagai berikut:
a. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala, sebesar penghasilan netto dikurangi PTKP;
b. bagi pegawai tidak tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 3, sebesar penghasilan bruto
dikurangi PTKP;
c. bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, sebesar penghasilan bruto dikurangi
PTKP yang dihitung secara bulanan.
(3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai
tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto
dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. iuran yang terkait dengan gaji yang
dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima
pensiun yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
(5) Besarnya
PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi karyawati kawin, sebesar PTKP
untuk dirinya sendiri;
b. bagi
karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(6) Dalam hal karyawati kawin dapat
menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya
kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh
penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP
untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(7) Besarnya
PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(8) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan
menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan
pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk
diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21,
dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi
bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam
hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi bagian
penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan bagian penghasilan yang tidak
dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah
borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam hal pegawai tidak tetap telah
memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi
PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang
sebenarnya.
(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk
menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam
puluh) hari.
(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di
bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan
hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang
dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan
sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 12
(1) Penerima penghasilan bukan pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh
pengurangan PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib
Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong
Pajak serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
(2) Untuk dapat memperoleh pengurangan PTKP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima penghasilan bukan pegawai harus
menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus
menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat
nikah dan kartu keluarga.
BAB VII
TARIF PEMOTONGAN
PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 13
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari:
a. pegawai tetap;
b. penerima pensiun yang dibayarkan secara
bulanan;
c. pegawai
tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan
atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang
bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan
dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan
yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh
selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah
penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. atas penghasilan yang bersifat teratur
adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (clua belas);
b. atas penghasilan yang bersifat tidak
teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas
jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak
Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a.
(4) Dalam hal pegawai tetap mempunyai
kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal tahun kelender dan mulai bekerja
setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi
kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
(5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus
dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang
terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau
bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa
sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak
subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak, perhitungan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan
kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak yang bersangkutan.
(7) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja
sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun
kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1
(satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut
dikembalikan kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian
bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
berhenti bekerja.
Pasal 14
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang
penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto di atas bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP
yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan
kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
(2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif
dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
(3) Besarnya batasan jumlah penghasilan
kumulatif dalam satu bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
disesuaikan sepanjang terdapat perubahan besarnya PTKP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 15
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto untuk setiap
pembayaran yang didasarkan pada penyelesaian suatu pekerjaan atau jasa yang
menurut maksudnya tidak bersifat berkesinambungan, yang diterima oleh bukan
pegawai;
b. jumlah bruto untuk setiap kali
pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta
kegiatan; atau
c. jumlah kumulatif penghasilan bruto
sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya bersifat
berkesinambungan, baik berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau
berdasarkan keadaan yang sebenarnya, yang diterima oleh bukan pegawai.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif Penghasilan
Kena Pajak sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau
diperoleh bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a
angka 4, yang dihitung setiap bulan.
Pasal 16
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas penghasilan bruto kumulatif
berupa:
a. honorarium atau imbalan yang bersifat
tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
b. jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus
atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh
mantan pegawai;
c. penarikan dana pensiun oleh peserta
program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.
Pasal 17
Tata cara pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun yang dibayar oleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus oleh badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 18
Tata cara pemotongan dan pengenaan PPh
Pasal 21 atas penghasilan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang diterima atau diperoleh
pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI dan pensiunannya, diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 19
(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua
puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan
memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku
antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri
tersebut.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar
negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB VIII
TARIF PEMOTONGAN PPh
PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN
YANG TIDAK MEMPUNYAI
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal 20
(1) Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong
PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan
PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen)
dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang
bersifat tidak final.
(4) Dalam hal penerima penghasilan yang
telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh
Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21
yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
BAB IX
SAAT TERUTANG PPh
PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 21
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada
saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa
pajak.
(3) Saat terutang untuk setiap masa pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN
PEMOTONG PAJAK SERTA PENERIMA
PENGHASILAN YANG
DIPOTONG PAJAK
Pasal 22
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri
ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang belaku.
(2) Pegawai, penerima pensiun berkala, serta
bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib
membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun
kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar
penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak pada saat mulai
bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan
keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan
baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
(4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar
pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa
pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk
melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan
kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi
kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang
terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan
Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
(8) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan
memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang dipotong
pajak.
(9) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 23
(1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong
merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang telah
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh
Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan mengenai pedoman teknis tata
cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, dan contoh
perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 254/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PENETAPAN BAGIAN
PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA
PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian
dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan
Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN
DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN
PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Batas penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sampai dengan jumlah Rp150.000,00 (seratus
lima puluh ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan atau dalam
hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.
Pasal 3
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau
komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penghitungan Pajak Penghasilan bagi pegawai harian dan mingguan serta
pegawai tidak tetap lainnya, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.03/2005 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian
dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan
Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 262/PMK.03/2010
TANGGAL 31 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,
DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 7 PERATURAN PEMERINTAH nomor 80 TAHUN 2010 tentang Tarif
Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang
Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata
Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 80 TAHUN 2010
tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA
TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana
diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang
selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota POLRI adalah anggota POLRI
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu
sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda
atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
BAB II
PENGHASILAN YANG
DIKENAI PPh PASAL 21
Pasal 2
(1) PPh Pasal 21 yang terutang atas
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD
ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1) gaji
dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan
tetap sejenisnya,
yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS,
Anggota TN!, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya
tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
c. Pensiunan,
untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap
bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Termasuk dalam pengertian gaji, uang
pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah gaji, uang
pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan lain
dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21
dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.
Pasal 4
Dalam hal penghasilan tetap dan teratur
setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan honorarium atau
imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diterima
dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar (kurs)
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran
penghasilan tersebut.
BAB III
DASAR PENGENAAN PPh
PASAL 21
Pasal 5
(1) Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak.
(2) Besarnya Penghasilan Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penghasilan neto
dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(3) Besarnya Penghasilan neto sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota
POLRI ditentukan berdasarkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur
setiap bulan dikurangi dengan:
a. biaya
jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
tentang biaya jabatan; dan
b. iuran
yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau
Anggota POLRI kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bagi pensiunan ditentukan berdasarkan seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan biaya pensiun
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang biaya
pensiun.
Pasal 6
Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas
honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 adalah penghasilan bruto.
Pasal 7
(1) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
per tahun adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan atau Peraturan Menteri Keuangan mengenai penyesuaian besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
(2) Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi wanita kawin, sebesar Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri;
b. bagi
wanita tidak kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri
ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal wanita kawin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat menunjukan keterangan tertulis dari
pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan
suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya Penghasilan Tidak
Kena Pajak adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri ditambah
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk status kawin dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.
(4) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
BAB IV
TARIF PEMOTONGAN
PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 8
(1) Tarif pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai
dasar penerapan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah
hingga ribuan rupiah penuh.
(3) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong setiap Masa Pajak, selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak
terakhir, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas
perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah jumlah gaji, uang
pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam
hal terdapat pembayaran penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan
ke-13 (ketiga belas), serta rapel gaji dan/atau tunjangan maka perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah
pada huruf a ditambah dengan jumlah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga
belas) serta rapel gaji dan/atau tunjangan.
(4) Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) adalah Masa Pajak tertentu dimana Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, atau Anggota POLRI terakhir bekerja.
(5) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah:
a. atas
penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas
penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas) serta
rapel gaji dan/atau tunjangan adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan
yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a.
(6) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI atau Anggota POLRI mulai bekerja sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI
atau Anggota POLRI setelah bulan Januari, banyaknya bulan yang menjadi faktor
pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau faktor pembagi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak
yang bersangkutan mulai bekerja atau mulai pensiun.
(7) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong
untuk Masa Pajak Desember adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang
atas seluruh Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim dengan
akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya
dalam tahun takwim yang bersangkutan.
(8) Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong
untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang
atas seluruh Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan dengan akumulasi PPh
Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya dalam tahun takwim
yang bersangkutan.
(9) Tidak termasuk dalam akumulasi PPh Pasal
21 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) adalah
tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(10) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI atau Anggota POLRI menerima tambahan penghasilan yang bersifat tetap dan
teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari pembayaran gaji, maka
penghitungan PPh Pasal 21 atas tambahan penghasilan tersebut harus
memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang
diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI yang
bersangkutan.
Pasal 9
Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau
imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, adalah sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) dari
penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota
POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari
penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari
penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota
POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
Pasal 10
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD
dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada
tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI,
dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi
sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dan dipotong
dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI,
dan Pensiunannya.
(3) Pengenaan tambahan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh bendahara pemerintah dalam
hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak pada saat permintaan pembayaran penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan diajukan.
(4) Pemotongan atas tambahan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh bendahara pemerintah pada
saat pembayaran penghasilan tetap dan teratur yang diterima setiap bulan.
(5) Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya dengan memberikan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak kepada
bendahara pemerintah.
(6) Bagi wanita kawin yang tidak memilih
untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, kepemilikan Nomor
Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan
memberikan:
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
suami serta fotokopi surat nikah; atau
b. fotokopi
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak diri sendiri dengan kode keluarga dari Nomor
Pokok Wajib Pajak suami,
kepada
bendahara pemerintah.
BAB V
KEWAJIBAN PEMOTONGAN
PAJAK
Pasal 11
(1) Bendahara pemerintah yang melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 adalah bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mendaftarkan
diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
perpajakan; dan
b. menghitung,
memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap
Masa Pajak.
(3) Kewajiban menghitung, memotong, dan
melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dilakukan terhadap
penghasilan yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).
(4) Ketentuan mengenai kewajiban untuk
melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada Masa
Pajak yang bersangkutan nihil.
Pasal 12
(1) Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi
Pensiunan dilakukan oleh badan yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan
untuk melakukan pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf c.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) berlaku bagi badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi
kelebihan perhitungan atas PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah, kelebihan
PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah tersebut diperhitungkan dengan PPh
Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah pada bulan berikutnya melalui Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
(2) Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi
kesalahan pemotongan atas PPh Pasal 21 yang bersifat Final dari penghasilan
berupa honorarium atau imbalan lain sehingga terdapat kelebihan penyetoran PPh
Pasal 21 yang bersifat final, kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat
final tersebut dikembalikan sesuai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.
Pasal 14
(1) Bendahara pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah
kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya paling
lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI dan Anggota POLRI berhenti bekerja sebelum berakhirnya tahun kalender, bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan
paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Bendahara pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final atas
penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun paling lama
pada akhir bulan dilakukannya pembayaran penghasilan tersebut.
Pasal 15
(1) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh
Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang
ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib disetor ke Kantor Pos atau
bank yang ditunjuk Menteri Keuangan, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Bendahara pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap
Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh
Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Bendahara pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 terdaftar, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
PENERIMA PENGHASILAN
Pasal 16
(1) Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
POLRI, dan Pensiunan wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah
tanggungan keluarga pada:
a. awal tahun kalender;
b. saat mulai menjadi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI dan Anggota POLRI;
c. saat mulai pensiun,
sebagai dasar penentuan Penghasilan
Tidak Kena Pajak dan wajib menyerahkannya kepada bendahara pemerintah.
(2) Apabila Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
atau Anggota POLRI berhenti bekerja, pindah, atau pensiun pada bagian tahun
kalender, maka Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tempat bekerja yang
lama wajib menyampaikan Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) kepada Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:
a. tempat bekerja yang baru dalam hal yang
bersangkutan pindah kerja;
b. yang membayar uang pensiun dalam hal
yang bersangkutan mulai pensiun;
paling lama 1 (satu) bulan setelah
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI berhenti bekerja, pindah, atau
pensiun.
Pasal 17
PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan PPh Pasal 21 yang
dipotong dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi.
Pasal 18
Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain
yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, di luar penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan
lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
yang bersangkutan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Tata cara penghitungan PPh Pasal 21
atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan honorarium atau imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya sesuai petunjuk umum dan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 20
Dengan berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan ini, atas permintaan pembayaran penghasilan tetap dan teratur untuk
bulan Januari 2011 yang telah dilakukan pemrosesan pada bulan Desember 2010, pengenaan
PPh Pasal 21 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Para Pensiunan Atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau
Keuangan Daerah beserta peraturan pelaksanaanya.
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 636/KMK.04/1994 tentang
Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan
yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangannya Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 601
LAMPIRAN
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI DAN
PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PETUNJUK UMUM DAN
CONTOH PENGHITUNGAN
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 BAGI
PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA
TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA
ATAS PENGHASILAN YANG
MENJADI BEBAN APBN ATAU APBD
BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
A. Penghitungan
masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang
untuk setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21, selain
Masa Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir;
B. Penghitungan
kembali sebagai dasar pengisian 1721 A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir.
Penghitungan
pada Masa Pajak Desember dilakukan bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau
Anggota POLRI yang bekerja sampai akhir tahun takwim dan bagi Pensiunan yang
menerima penghasilan pensiun sampai akhir tahun takwim.
Penghitungan
pada Masa Pajak terakhir dilakukan bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau
Anggota POLRI yang berhenti bekerja atau memasuki masa pensiun.
I.A. Penghitungan Masa atau Bulanan Selain
Masa Pajak Desember atau Masa Pajak Terakhir:
I.A.1 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI
a. untuk
menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan, terlebih
dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima selama sebulan, yang
meliputi seluruh gaji dan tunjangan;
b. selanjutnya
dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi
penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan dan iuran pensiun;
c. selanjutnya
dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan
dikalikan 12 (dua belas);
d. dalam
hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI mulai bekerja setelah
bulan Januari, maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan
penghasilan neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, atau Anggota POLRI mulai bekerja sampai dengan bulan Desember;
e. selanjutnya
dihitung Penghasilan Kena Pajak yaitu sebesar Penghasilan neto setahun
sebagaimana dimaksud pada hurut c atau hurut d, dikurangi dengan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP);
f. PPh
Pasal 21 terutang atas perkiraan penghasilan setahun dihitung dengan menerapkan
tarif Pasal 17 UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak;
g. selanjutnya
dihitung PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebulan, yaitu:
1) jumlah PPh Pasal 21 terutang atas
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf c dibagi dengan 12 (dua belas);
2) jumlah PPh Pasal 21 terutang atas
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf d dibagi banyaknya bulan yang
menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada huruf d.
I.A.2 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan
a. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima
penerima pensiun pada tahun pertama pensiun adalah sebagai berikut:
1) terlebih dahulu dihitung penghasilan
neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan
biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang
bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;
2) selanjutnya penghasilan neto pensiun
sebagaimana tersebut pada angka 1) ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun
yang bersangkutan yang diterima sebelum Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau
Anggota POLRI pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh
Pasal 21 sebelum pensiun;
3) untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
jumlah penghasilan pada angka 2) tersebut dikurangi dengan PTKP, dan
selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh
terhadap Penghasilan Kena Pajak tersebut;
4) PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam
tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 dalam
angka 3) dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari Bendahara sebelum Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI pensiun sesuai dengan yang
tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
5) PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh
Pemerintah sebulan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam angka 4) dibagi
dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam angka 1).
b. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima
penerima pensiun pada tahun kedua dan seterusnya adalah sebagai berikut:
1) terlebih dahulu dihitung penghasilan
neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan
biaya pensiun;
2) selanjutnya dihitung perkiraan
penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12 (dua
belas);
3) untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
jumlah penghasilan pada angka 2) tersebut dikurangi dengan PTKP, dan
selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh
terhadap Penghasilan Kena Pajak tersebut;
4) selanjutnya dihitung PPh Pasal 21
sebulan, yang ditanggung oleh Pemerintah, yaitu sebesar jumlah PPh Pasal 21
setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 3) dibagi dengan 12 (dua
belas);
I.A.3 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji, Uang
Pensiun, dan Tunjangan Ke-13 (Ketiga belas) atau Rapel Gaji dan/atau Tunjangan
a. Apabila
kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunan diberikan
Gaji, Uang Pensiun, dan Tunjangan ke-13 (ketiga belas) atau rapel gaji dan/atau
tunjangan, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan cara sebagai berikut:
1) dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan
berupa gaji uang pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
2) dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan yang disetahunkan tanpa gaji dan tunjangan ke-13
(ketiga belas) atau uang pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
3) selisih antara PPh Pasal 21 menurut
penghitungan angka 1) dan angka 2) adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa
gaji dan tunjangan ke-13 (ketiga belas) atau uang pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga
belas).
b. Dalam
hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunan baru mulai
bekerja/Pensiun setelah bulan Januari, maka PPh Pasal 21 atas Gaji dan
Tunjangan ke-13 (ketiga belas) atau Uang Pensiun dan Tunjangan ke-13 (Ketiga
Belas) tersebut dihitung dengan cara sebagaimana pada huruf a dengan
memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan atas
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan pada butir I.A.1 huruf b angka 2), 4)
dan 5) di atas.
c. Apabila
kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunan dibayar (rapel
gaji), maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagaimana dimaksud
pada huruf a.
I.A.4 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI yang menerima tambahan penghasilan
yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari
pembayaran gaji.
Dalam hal terdapat tambahan
penghasilan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya
terpisah dari pembayaran gaji kepada seorang Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau
Anggota POLRI, baik karena ditugaskan pada Satuan Kerja lain atau adanya
tambahan tunjangan tertentu, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan cara sebagai
berikut:
a. Bendahara
yang membayarkan gaji pokok melakukan perhitungan PPh Pasal 21 sesuai dengan
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam butir I.A.1 dan/atau I.A.3.
b. Bendahara
yang membayarkan tambahan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan melakukan
perhitungan PPh Pasal 21 sebagai berikut:
1) dihitung PPh Pasal 21 atas keseluruhan
penghasilan tetap dan teratur yang diterima setiap bulan yang disetahunkan, baik
atas gaji sebagaimana dimaksud pada huruf a maupun atas tambahan penghasilan.
2) PPh Pasal 21 yang terutang atas
tambahan penghasilan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan adalah
sebesar selisih antara PPh Pasal 21 yang dihitung sebagaimana dimaksud pada
butir 1) dengan PPh Pasal 21 yang dihitung sebagaimana dimaksud pada huruf a.
I.B. Penghitungan
PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa Pajak Desember
Penghitungan
PPh Pasal 21 terutang pada Masa Pajak Desember adalah sebagai berikut:
a. Dihitung PPh Pasal 21 terutang atas
seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima dalam tahun
kalender yang bersangkutan.
b. PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak
Desember adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima dalam tahun kalender
yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang
telah dihitung tiap Masa Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai
dengan Masa Pajak November.
c. apabila dalam PPh Pasal 21 yang telah
dihitung tiap Masa Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan
Masa Pajak November terdapat tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20% lebih tinggi
daripada tarif PPh umum karena belum memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21
yang telah dihitung tiap Masa Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan
sampai dengan Masa Pajak November sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak
termasuk tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20% tersebut.
I.C. Penghitungan
PPh Pasal 21 Terutang Pada Masa Pajak Terakhir
Penghitungan
PPh Pasal 21 terutang pada Masa Pajak terakhir adalah sebagai berikut:
a. Dihitung PPh Pasal 21 terutang atas
seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima dalam tahun
kalender yang bersangkutan yang disetahunkan.
b. PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak
terakhir adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima dalam tahun kalender
yang bersangkutan yang disetahunkan, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan
PPh Pasal 21 yang telah dihitung tiap Masa Pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
II. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
SELAIN PENGHASILAN PADA BUTIR I BERUPA HONORARIUM ATAU IMBALAN LAIN DENGAN NAMA
APAPUN
a. PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif PPh Final atas jumlah penghasilan
bruto untuk setiap kali pembayaran.
b. Tarif
PPh Final diterapkan dengan memperhatikan golongan dari PNS dan golongan
pangkat bagi Anggota TNI dan Anggota POLRI.
c. Dalam
hal jumlah penghasilan bruto atas honorarium atau imbalan lain sebagaimana
dimaksud pada huruf a tidak dapat dipisahkan dari jumlah pembayaran lainnya
sehubungan dengan pembayaran yang bersifat lump sum maka besarnya penghasilan
bruto yang menjadi dasar penerapan tarif PPh Final adalah sebesar jumlah
seluruh pembayaran lump sum tersebut.
BAGIAN KEDUA : CONTOH PENGHITUNGAN PPh
PASAL 21
I. CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK
PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN
I.A. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, dan Anggota POLRI, Selain Masa Pajak Desember dan Masa Pajak
Terakhir:
I.A.1 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI yang Bekerja dari Januari
sampai dengan Desember.
Aprinta, Pegawai Negeri Sipil
Golongan III/c, menduduki eselon IV.a status kawin, mempunyai 3 orang
tanggungan, telah memiliki NPWP, bekerja di Kantor Pelayanan Pemerintahan A (KPP
A), menerima penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagai berikut:
Gaji
Pokok Rp
2.244.500,00
Tunjangan
Istri Rp
224.450,00
Tunjangan
Anak Rp 89.780,00
Tunjangan
Jabatan Rp 540.000,00
Tunjangan
Beras Rp 198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp
3.296.773,00
Penghitungan
PPh Pasal 21 bulanan untuk bulan Januari s.d November:
Gaji
Pokok Rp 2.244.500,00
Tunjangan
Istri Rp 224.450,00
Tunjangan
Anak Rp 89.780,00
Tunjangan
Jabatan Rp 540.000,00
Tunjangan
Beras Rp 198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
-----------------------
Jumlah
penghasilan bruto Rp 3.296.773,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 3.296.773,00 = Rp
164.839,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp 121.540,00 +
----------------------
Rp
286.379,00 -
---------------------
Penghasilan
neto Rp 3.010.394,00
Penghasilan
neto disetahunkan:
12
x Rp 3.010.394,00 Rp
36.124.728,00
PTKP
(K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp
15.840.000,00
- status WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
------------------------
Rp 21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan
Kena Pajak (PKP) Rp 15.004.728,00
Pembulatan Rp
15.004.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji setahun
5%
x Rp 15.004.000,00 = Rp 750.200,00
PPh
Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp
750.200,00 : 12 = Rp
62.516,00
Catatan:
1. PPh
Pasal 21 yang terutang setiap bulan sebesar Rp62.516,00 Ditanggung Pemerintah.
2. Apabila
Aprinta belum memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang setiap
bulan adalah:
120% x Rp62.516,00 = Rp75.019,00
Atas
tambahan PPh 21 terutang yaitu sebesar Rp12.503 (Rp75.019,00-Rp62.516,00) tidak
Ditanggung Pemerintah sehingga Bendahara Pemerintah wajib memotong dari gaji
dan tunjangan Aprinta dan menyetorkannya ke Kas Negara.
I.A.2 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, dan Anggota POLRI yang mulai bekerja dalam tahun berjalan
Hapid Abdul Goffar merupakan pejabat
negara pada sebuah lembaga negara yang baru diangkat pada bulan Juli 2010, telah
menikah dengan 4 orang tanggungan anak dan telah memiliki NPWP. Penghasilan
yang dibayarkan sehubungan dengan statusnya sebagai pejabat negara:
Gaji
Kehormatan Rp 10.000.000,00
Tunjangan
Istri Rp
1.000.000,00
Tunjangan
Anak Rp 400.000,00
Tunjangan
Jabatan Rp 10.000.000,00
Perhitungan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Juli sampai
dengan Masa Pajak November 2010 dihitung sebagai berikut:
Gaji Kehormatan Rp 10.000.000,00
Tunjangan Istri Rp 1.000.000,00
Tunjangan Anak Rp 400.000,00
Tunjangan Jabatan Rp 10.000.000,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp
21.400.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5%
X Rp 21.400.000,00 atau maksimum
Rp500.000
per bulan = Rp 500.000,00
2. Iuran
pensiun
4,75%
X Rp11.400.000,00 = Rp 541.500,00 +
----------------------
Rp 1.041.500,00 -
------------------------
Penghasilan
neto Rp
20.358.500,00
Penghasilan
neto setahun:
6
x Rp 20.358.500,00 Rp 122.151.000,00
PTKP
(K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp
1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp
3.960.000,00
----------------------
+
Rp 21.120.000,00 -
-------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
101.031.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji setahun
5% x Rp
50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 51.031.000,00 = Rp 7.654.650,00
-----------------------
Rp 10.154.650,00
PPh
Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp
10.154.650,00 : 6 = Rp 1.692.442,00
I.A.3 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji dan Tunjangan Ke-13
atau Uang Pensiun dan Tunjangan Ke-13
Apabila
Aprinta sebagaimana contoh I.A.1 pada bulan Juli 2010 menerima gaji dan
tunjangan ke-13, maka perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke-13
adalah sebagai berikut:
Gaji
dan tunjangan bulan Juli 2010:
Gaji
Pokok Rp
2.244.500,00
Tunjangan
lstri Rp
224.450,00
Tunjangan
Anak Rp 89.780,00
Tunjangan
Jabatan Rp
540.000,00
Tujangan
beras Rp
198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
------------------------
Jumlah
Gaji dan tunjangan bulan Juli 2010 Rp 3.296.773,00
Penghasilan
disetahunkan:
12
x Rp 3.296.773,00 Rp
39.561.276,00
Gaji
dan tunjangan Ke-13:
Gaji
Pokok Rp
2.244.500,00
Tunjangan
Istri Rp
224.450,00
Tunjangan
Anak Rp 89.780,00
Tunjangan
Jabatan Rp
540.000,00
Pembulatan Rp 40,00 +
------------------------
Jumlah
Gaji dan tunjangan Ke-13 Rp
3.098.770,00
----------------------
Jumlah
Penghasilan bruto setahun Rp 42.660.046,00
Pengurangan
Biaya
Jabatan
5%
X Rp 42.660.046,00 = Rp 2.133.002,00
Iuran
pensiun
12
x 4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp 1.458.476,00 +
----------------------
Rp
3.591.478,00 -
-----------------------
Penghasilan
neto setahun Rp 39.068.568,00
PTKP
(K/3)
untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
status
WP Kawin Rp 1.320.000,00
tambahan
3 orang tanggungan
(3
x Rp1.320.000,00) Rp
3.960.000,00 +
-------------------------
Rp
21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan
Kena Pajak (PKP) Rp 17.948.568,00
Pembulatan Rp 17.948.000,00
PPh
Pasal 21 setahun atas seluruh penghasilan:
5%
x Rp 17.948.000,00 = Rp
897.400,00
PPh
Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke-13:
Rp
897.400,00 – Rp 750.200,00 = Rp 147.200,00
Catatan:
1. PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji
dan tunjangan ke-13 sebesar Rp147.200,00 Ditanggung Pemerintah.
2. Apabila Aprinta belum memiliki NPWP
maka besarnya PPh yang terutang atas gaji dan tunjangan ke-13 adalah:
120% x Rp147.200,00 = Rp176.640,00
Atas tambahan PPh 21 terutang yaitu
sebesar Rp29.440,00 (Rp176.640,00-Rp147.200,00) tidak Ditanggung Pemerintah
sehingga Bendahara Pemerintah wajib memotong dari gaji dan tunjangan Aprinta
dan menyetorkannya ke Kas Negara.
3. Apabila terdapat pembayaran rapel atas
kenaikan gaji atau pembayaran atas kekurangan gaji dan tunjangan maka tata cara
perhitungan atas rapel tersebut disamakan dengan perhitungan PPh Pasal 21 atas
gaji dan tunjangan ke-13.
I.A.4 Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI yang menerima tambahan penghasilan
yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari
pembayaran gaji.
Apabila Aprinta sebagaimana contoh I.A.1,
ditugaskan pada Kantor Inspeksi Pemerintahan B (KIP B) sehingga tunjangan
jabatan tidak lagi dibayarkan oleh KPP A dan di KIP B dibayarkan tunjangan
jabatan sebesar Rp540.000,00 per bulan oleh Bendahara Pengeluaran KIP B, maka
perhitungan PPh Pasal 21 di KPP A dan KIP B adalah:
PPh
Pasal 21 di KPP A:
Gaji
Pokok Rp
2.244.500,00
Tunjangan
Istri Rp
224.450,00
Tunjangan
Anak Rp 89.780,00
Tunjangan
Beras Rp
198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp
2.756.773,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 2.756.773,00 = Rp 137.839,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp
121.540,00 +
---------------------
Rp 259.379,00 -
---------------------
Penghasilan
neto Rp
2.497.394,00
Penghasilan
neto disetahunkan:
12
x Rp 2.497.394,00 Rp 29.968.728,00
PTKP
(K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp
1.320.000,00
- tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00
+
-------------------------
Rp
21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan
Kena Pajak (PKP) Rp 8.848.728,00
Pembulatan Rp 8.848.000,00
PPh
Pasal 21 setahun
5%
x Rp 8.848.000,00 = Rp 442.400,00
PPh
Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp
442.400,00 : 12 = Rp
36.866,00
PPh
Pasal 21 di KIP B:
Penghasilan
dari KPP A:
Gaji
Pokok Rp
2.244.500,00
Tunjangan
Istri Rp
224.450,00
Tunjangan
Anak Rp 89.780,00
Tunjangan
Beras Rp
198.000,00
Pembulatan Rp 43,00 +
------------------------
Jumlah
penghasilan Rp 2.756.773,00
Penghasilan
dari KIP B
Tunjangan
Jabatan Rp 540.000,00 +
-----------------------
Jumlah
Penghasilan Rp 3.296.773,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 3.296.773,00 = Rp
164.839,00
2. Iuran pensiun
4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp 121.540,00+
-----------------------
Rp 286.379,00 -
-----------------------
Penghasilan
neto Rp
3.010.394,00
Penghasilan
neto disetahunkan:
12
x Rp 3.010.394,00 Rp 36.124.728,00
PTKP
(K/3)
- untuk Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status WP Kawin Rp
1.320.000,00
tambahan
3 orang tanggungan
(3
x Rp1.320.000,00) Rp
3.960.000,00 +
-------------------------
Rp 21.120.000,00 -
Penghasilan
Kena Pajak (PKP) Rp 15.004.728,00
Pembulatan Rp
15.004.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji dan tunjangan setahun
5%
x Rp 15.004.000,00 = Rp
750.200,00
PPh
Pasal 21 setahun yang terutang di KPP A Rp 442.400,00 -
------------------------
PPh
Pasal 21 terutang di KIP B setahun Rp 307.800,00
PPh
Pasal 21 terutang di KIP B sebulan:
Rp307.800
: 12 = Rp25.650
Catatan:
1. PPh Pasal 21 per bulan yang terutang
atas gaji dan tunjangan di KPP A adalah sebesar Rp36.866,00
2. PPh Pasal 21 per bulan yang terutang
atas tunjangan jabatan yang dibayarkan di KIP B adalah sebesar Rp25.650,00
3. Contoh perhitungan I.A.4 ini juga
diberlakukan apabila pembayaran tunjangan tambahan yang bersifat tetap dan
teratur setiap bulan dan pembayaran gaji dilakukan oleh bendahara yang sama
tetapi pengajuan pembayarannya terpisah.
I.B. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada
Masa Pajak Desember
Penghitungan PPh Pasal 21 Masa Desember untuk Aprinta
sebagaimana contoh I.A.1, yang menerima gaji dan tunjangan ke-13 pada bulan
Juli sebagaimana contoh I.A.3, adalah sebagai berikut:
Penghasilan dari Januari sampai
dengan Desember:
Gaji Pokok Rp
26.934.000,00
Tunjangan Istri Rp 2.693.400,00
Tunjangan Anak Rp 1.077.360,00
Tunjangan Jabatan Rp
6.480.000,00
Tunjangan Beras Rp
2.376.000,00
Pembulatan Rp 516,00
Gaji dan tunjangan ke-13 Rp 3.098.770,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto setahun Rp 42.660.046,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% X Rp 42.660.046,00 = Rp2.133.002,00
Iuran pensiun
12 x 4,75% X Rp 2.558.730,00 = Rp1.458.476,00
+
--------------------
Rp 3.591.478,00 -
-----------------------
Penghasilan neto setahun Rp
39.068.568,00
PTKP (K/3)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status
WP Kawin Rp 1.320.000,00
tambahan 3 orang tanggungan
(3 x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
-----------------------
Rp
21.120.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
17.948.568,00
Pembulatan Rp
17.948.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun (Januari
s.d. Desember):
5% x Rp17.948.000,00 = Rp 897.400,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan
terutang
Januari s.d. November : 11 x Rp 62.516,00 = Rp 687.676,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan
ke-13: Rp 147.200,00+
-------------------------
Jumlah PPh Pasal 21 terutang Januari
s.d. November Rp 834.876,00
PPh Pasal 21 terutang Masa Desember:
Rp 897.400,00 - Rp 834.876,00 = Rp 62.524
Catatan:
1. Apabila PPh Pasal 21 yang terutang
untuk Masa Januari s.d. November terdapat tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20%
karena belum memiliki NPWP, maka tambahan PPh Pasal 21 tersebut tidak boleh
menjadi pengurang atas PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan Desember.
2. Bendahara pengeluaran harus membuat
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A2) untuk setiap tahun Pajak paling lama
akhir bulan Januari Tahun berikutnya.
I.C. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada
Masa PajakTerakhir
Apabila Aprinta sebagaimana contoh I.A.1, akan memasuki
usia pensiun pada bulan Juni, maka perhitungan PPh Pasal 21 pada bulan Mei
adalah sebagai berikut:
Penghasilan
dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei:
Gaji Pokok Rp
11.222.500,00
Tunjangan Istri Rp 1.122.250,00
Tunjangan Anak Rp 448.900,00
Tunjangan Jabatan Rp
2.700.000,00
Tunjangan Beras Rp 990.000,00
Pembulatan Rp 215,00 +
-------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp
16.483.865,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5%
X Rp 16.483.865,00 = Rp 824.193,00
2. Iuran
pensiun
4,75%
X Rp 12.793.650,00 = Rp 607.698,00 +
----------------------
Rp
1.431.891,00 -
-------------------------
Penghasilan neto Rp
15.051.974,00
Penghasilan neto disetahunkan:
12/5 x Rp 15.051.974,00 Rp 36.124.737,00
PTKP (K/3)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status
WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan
3 orang tanggungan
(3
x Rp1.320.000,00) Rp 3.960.000,00 +
Rp
21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) disetahunkan Rp
15.004.737,00
Pembulatan Rp
15.004.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp 15.004.000,00 = Rp 750.200,00
PPh Pasal 21 terutang:
Rp 750.200,00 x 5/12 = Rp 312.583,00
PPh Pasal 21 terutang Masa Pajak Mei = PPh Pasal 21
terutang - jumlah PPh Pasal 21 yang terutang Masa Pajak Januari sampai dengan
Masa Pajak April
= Rp 312. 583,00 - (Rp 62.516,00 x 4)
= Rp 62.519,00
Catatan:
a. Bendahara harus menerbitkan bukti
pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A2) paling lama akhir bulan Juni.
b. Aprinta harus menyerahkan bukti
pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A2) kepada PT Taspen untuk diperhitungkan dalam
penentuan PPh Pasal 21 atas Uang Pensiun.
I.D. Contoh
Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan yang menerima uang pensiun mulai Masa
Pajak Januari
Raisita
Agus seorang Pensiunan PNS status menikah dengan tanggungan 1 orang anak, telah
memiliki NPWP. Setiap bulan Toto Subroto menerima Uang Pensiun sebesar Rp 2.500.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah
sebagai berikut:
Uang Pensiun Rp
2.500.000,00
Pengurangan:
Biaya Pensiun
5% X Rp 2.500.000,00 = Rp
125.000,00
---------------------
Penghasilan neto Rp 2.375.000,00
Penghasilan Neto Setahun:
12 x Rp 2.375.000,00 Rp 28.500.000,00
PTKP (K/1)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status
WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan
1 orang tanggungan
(1
x Rp 1.320.000,00) Rp 1.320.000,00 +
-------------------------
Rp
18.480.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
10.020.000,00
PPh Pasal 21
5% x Rp 10.020.000,00 = Rp 501.000,00
PPh Pasal 21 atas Uang Pensiun
sebulan
Rp 501.000,00 : 12 = Rp
41.750,00
I.E. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 bagi
Pensiunan yang menerima uang pensiun dalam tahun berjalan
Aprinta sebagaimana contoh I.C, yang memasuki usia
pensiun pada bulan Juni, mulai bulan Juni menerima Uang Pensiun sebesar Rp 2.500.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pensiun tersebut adalah sebagai berikut:
Uang Pensiun Rp 2.500.000,00
Pengurangan:
Biaya Pensiun
5% X Rp 2.500.000,00 = Rp 125.000,00 -
------------------------
Penghasilan neto Rp
2.375.000,00
Perkiraan Penghasilan neto 7 bulan Rp 16.625.000,00
Penghasilan neto sebelumnya (1721-A2) Rp 15.051.973,00 +
-------------------------
Jumlah Penghasilan neto Rp
31.676.973,00
PTKP (K/3)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- status
WP Kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan
3 orang tanggungan
(3
x Rp1.320.000,00) Rp
3.960.000,00 +
--------------------------
Rp
21.120.000,00 -
------------------------
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
10.556.973,00
Pembulatan Rp
10.556.000,00
PPh Pasal 21
5% x Rp 10.556.000,00 = Rp
527.800,00
PPh Pasal 21 terutang sebelumnya (1721-A2) : Rp 312.583,00 -
-----------------------
PPh Pasal 21 terutang atas Uang
Pensiun Rp 215.217,00
PPh Pasal 21 terutang atas Uang
Pensiun setiap bulan adalah:
Rp
215.217,00 : 7 = Rp 30.745,00
II. CONTOH
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK HONORARIUM ATAU IMBALAN LAIN
II.A. Fitria Ratna Wardika adalah PNS golongan
III/d, pada bulan Maret 2011 menerima honorarium sebagai nara sumber sebuah
seminar yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar Rp 5.000.000,00.
PPh Pasal 21 Final yang terutang:
5% x Rp 5.000.000,00 = Rp
250.000
Catatan:
a. PPh Pasal 21 atas honorarium sebagai
nara sumber sebagaimana dimaksud pada butir II.A tidak ditanggung pemerintah
dan dipotong PPh Pasal 21 bersifat final.
b. Bendahara
pemerintah yang membayarkan honorarium wajib:
1) memotong PPh Pasal 21 Final dan
menyetorkannya ke bank persepsi atau Kantor Pos;
2) membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21
Final paling lama akhir bulan dilakukan pembayaran;
3) melaporkan pemotongan PPh Pasal 21
Final melalui penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21.
II.B. Yayuk, PNS Golongan II/d, pada tanggal 21
Maret 2011 menerima honorarium sebagai salah satu anggota Tim Kerja sebesar Rp 1.500.000,00,
selama 6 bulan.
PPh Pasal 21 Final yang terutang:
0% x Rp1.500.000,00 = Rp 0,00
Catatan:
Walaupun PPh Pasal 21 Final yang dipotong Rp 0,00, Bendahara
pemerintah wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 Final paling lama akhir
bulan Maret 2011.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN
KEPALA BIRO UMUM ttd
u.b. AGUS D.W. MARTOWARDOJO
KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMEN
ttd
GIARTO
NIP 195904201984021001
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-22/PJ/2009
TANGGAL 4 MARET 2009
TENTANG
PELAKSANAAN PEMBERIAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA
PEMBERI KERJA YANG BERUSAHA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak
Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada
Kategori Usaha Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
atas Penghasilan Pekerja Pada Pemberi Kerja yang Berusaha Pada Kategori Usaha
Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009
tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan
Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH
ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA PEMBERI KERJA YANG BERUSAHA PADA KATEGORI USAHA
TERTENTU.
Pasal 1
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang
berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) dalam satu bulan.
(2) Kategori
usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kategori
usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b. kategori usaha perikanan; dan
c. kategori usaha industri pengolahan,
sebagaimana tercantum dalam lampiran
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal
21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu.
Pasal 2
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh
pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sebesar
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja.
(2) Dalam hal pelaksanaan kewajiban pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan pemberi
kerja:
a. memberikan tunjangan Pajak Penghasilan
Pasal 21 kepada pekerja; atau
b. menanggung
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja,
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
ditunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang
mendapat Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah.
(3) Contoh penghitungan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 3
(1) Pemberi kerja wajib menyampaikan
realisasi pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(2) Atas Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib
dibuatkan Surat Setoran Pajak yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21
DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 43/PMK.03/2009" oleh pemberi kerja.
(3) Formulir dan Surat Setoran Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilampirkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak yang sama.
Pasal 4
(1) Pemberi kerja wajib memberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas
seluruh penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun Pajak 2009.
Pasal 5
Dalam hal ditemukan ketidakbenaran atas
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21, atas Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah tersebut ditagih kembali kepada pemberi kerja sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 6
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah berlaku untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk Masa
Pajak Februari 2009 sampai dengan Masa Pajak November 2009 dan dilaporkan
paling lama tanggal 20 Desember 2009.
Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 4 Maret 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN NASUTION
LAMPIRAN I
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-22/PJ/2009 TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA
PEMBERI KERJA YANG BERUSAHA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU
CONTOH PENGHITUNGAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS
PENGHASILAN PEKERJA
PADA KATEGORI USAHA TERTENTU
1. Peri Irawan adalah pegawai tetap di PT
Majutex. PT Majutex merupakan perusahaan yang bergerak pada kategori usaha
industri pertenunan dengan Klasifikasi Lapangan Usaha 17114. Pada bulan Maret 2009
Peri Irawan memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebesar Rp 5.000.000
dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000. Peri Irawan menikah dan mempunyai
2 anak (status K/2).
a. Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang
bulan Maret 2009:
Penghasilan bruto sebulan Rp
5,000,000
Pengurangan:
- Biaya
jabatan (5% x Rp 5,000,000) Rp 250,000
- Iuran
Pensiun Rp 25,000
---------------
Rp 275,000
------------------
Penghasilan Neto sebulan Rp 4,725,000
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 4,725,000 Rp 56,700,000
PTKP setahun:
- untuk
WP sendiri Rp 15,840,000
- tambahan
WP kawin Rp
1,320,000
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2,640,000
------------------
Rp
19,800,000
------------------
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp
36,900,000
PPh Pasal 21 terutang setahun : 5%
x Rp36,900,000 Rp
1,845,000
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp1,845,000
/ 12 Rp 153,750
b. Besarnya
penghasilan yang diterima Peri Irawan apabila PPh Pasal 21 tidak ditanggung
Pemerintah:
Penghasilan bruto sebulan Rp
5,000,000
Dikurangi iuran pensiun Rp
(25,000)
Dikurangi PPh Pasal 21 terutang Rp
(153,750)
-----------------
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 4,821,250
c. Besarnya
penghasilan yang diterima Peri Irawan apabila PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah:
Besarnya penghasilan apabila PPh
Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah:
Rp
4,821,250
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah Rp
153,750
------------------
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 4,975,000
2. Danang Resmawan adalah seorang pegawai
dari PT Barcelona. PT Barcelona merupakan perusahaan yang bergerak pada
kategori usaha industri pertenunan dengan Klasifikasi Lapangan Usaha 17114. Pada
bulan Maret 2009 Danang Resmawan memperoleh gaji sebesar Rp4.000.000 dan
membayar iuran pensiun sebesar Rp25.000. Selama ini PPh Pasal 21 yang terutang
ditanggung oleh PT Barcelona. Danang Resmawan menikah dan mempunyai 2 anak (status
K/2).
a. Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang
bulan Maret 2009:
Gaji Rp
4,000,000
Pengurangan:
- Biaya
jabatan (5% x Rp 4.000.000) Rp 200,000
- Iuran
Pensiun Rp 25,000
---------------
Rp 225,000
-----------------
Penghasilan Neto sebulan Rp 3,775,000
Penghasilan neto setahun 12 x Rp3,775,000 Rp 45,300,000
PTKP setahun:
- untuk
WP sendiri Rp 15,840,000
- tambahan
WP kawin Rp
1,320,000
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2,640,000
-------------------
Rp
19,800,000
------------------
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp
25,500,000
PPh Pasal 21 terutang setahun : 5%
x Rp25,500,000 Rp
1,275,000
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp1,275,000
/ 12 Rp 106,250
b. Besarnya
penghasilan yang diterima Danang Resmawan apabila PPh Pasal 21 tidak ditanggung
Pemerintah:
Gaji Rp
4,000,000
Dikurangi iuran pensiun Rp
(25,000)
-----------------
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 3,975,000
c. Besarnya
penghasilan yang diterima Danang Resmawan apabila PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah:
Besarnya penghasilan apabila PPh
Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah Rp
3,975,000
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah Rp
106,250
-----------------
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 4,081,250
Catatan:
Oleh karena selama ini PT Barcelona
menanggung PPh Pasal 21 maka PPh yang ditanggung tersebut tidak dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
3. Budi Yanto adalah pegawai tetap di PT
Kertas Pulp. PT Kertas Pulp merupakan perusahaan yang bergerak pada kategori
usaha industri bubur kertas dengan Klasifikasi Lapangan Usaha 21011. Pada bulan
April Tahun 2009, Budi Yanto memperoleh gaji sebesar Rp2.500.000 dan diberikan
tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp30.000. luran Pensiun yang dibayar Budi Yanto
adalah sebesar Rp25.000 Budi Yanto menikah dan mempunyai 2 anak (status K/2).
a. Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang
bulan Maret 2009:
Gaji sebulan Rp
2,500,000
Tunjangan PPh Pasal 21 Rp 30,000
Penghasilan bruto sebulan Rp
2,530,000
Pengurangan:
- Biaya
jabatan (5% x Rp 2,530,000) Rp 126,500
- luran
Pensiun Rp 25,000
---------------
Rp 151,500
-----------------
Penghasilan Neto sebulan Rp
2,378,500
Penghasilan neto setahun 12 x Rp2,378,500 Rp28,542,000
PTKP setahun:
- untuk
WP sendiri Rp 15,840,000
- tambahan
WP kawin Rp
1,320,000
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2,640,000
-------------------
Rp
19,800,000
-------------------
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 8,742,000
PPh Pasal 21 terutang setahun 5% x Rp8,742,000 Rp 437,100
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp437,100 / 12 Rp 36,425
b. Besarnya penghasilan yang diterima Budi
Yanto apabila PPh Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah:
Penghasilan bruto sebulan Rp 2,530,000
Dikurangi iuran pensiun Rp (25,000)
Dikurangi PPh Pasal 21 terutang Rp (36,425)
--------------------
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 2,468,575
c. Besarnya
penghasilan yang diterima Budi Yanto apabila PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah:
Besarnya penghasilan apabila PPh
Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah Rp
2,468,575
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah Rp 36,425
-----------------
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 2,505,000
4. Pada bulan Mei 2009 Budi Yanto selain
memperoleh gaji beserta tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp2.530.000, juga
menerima bonus sebesar Rp5.000.000.
Karena penghasilan Budi Yanto pada
bulan Mei 2009 totalnya telah melebihi Rp5.000.000 (gaji dan tunjangan PPh
Pasal 21 sebesar Rp2.530.000 dan bonus sebesar Rp5.000.000 sehingga total
penghasilan sebesar Rp 7.530.000) maka seluruh PPh Pasal 21 terutang atas
penghasilan Budi Yanto pada bulan Mei 2009 harus dipotong dan disetor oleh
pemberi kerja. Dengan demikian, Budi Yanto pada bulan Mei 2009 tidak mendapat
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah.
5. Azizah Hasanah pada bulan Juni 2009
bekerja pada PT Perkebunan Hijau sebagai tenaga harian lepas. PT Perkebunan
Hijau merupakan perusahaan yang bergerak pada kategori usaha perkebunan dengan
Klasifikasi Lapangan Usaha 01115. Ia bekerja selama 6 hari dan menerima upah
sehari sebesar Rp200.000. Azizah Hasanah belum menikah (status TK/0).
a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari Rp
200,000
Dikurangi batas upah harian tidak
dilakukan pemotongan PPh Rp 150,000
(Sesuai Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 254/PMK.03/2008)
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp 50,000
PPh Pasal 21 terutang sehari 5% x Rp50.000 Rp 2,500
Jumlah PPh Pasal 21 terutang selama 6
hari adalah 6 hari x Rp 2.500 Rp 15,000
b. Besarnya
penghasilan yang diterima Azizah Hasanah apabila PPh Pasal 21 tidak ditanggung
Pemerintah:
Penghasilan
bruto berupa upah harian pada bulan
Juni
2009 (6 x Rp200,000) Rp 1,200,000
Dikurangi PPh Pasal 21 terutang Rp 15,000
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 1,185,000
c. Besarnya
penghasilan yang diterima Azizah Hasanah apabila PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah:
Besarnya penghasilan apabila PPh
Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah Rp
1,185,000
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah Rp 15,000
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 1,200,000
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
NIP
130605098
LAMPIRAN II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-22/PJ/2009 TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA PEMBERI KERJA YANG BERUSAHA
PADA KATEGORI USAHA TERTENTU
_____________________________________________________________________________________
FORMULIR
REALISASI PPh PASAL 21
DITANGGUNG PEMERINTAH
Wajib Pajak pemberi kerja : ………………………………………………………………..
NPWP : ………………………………………………………………..
Masa Pajak : ………………………………………………………………..
Jumlah pekerja
dengan penghasilan bruto di atas PTKP dan tidak lebih dari Rp5 Juta
|
………..…..orang
|
Jumlah
penghasilan bruto
|
Rp
|
Jumlah PPh
Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
|
Rp
|
Daftar pekerja yang telah menerima PPh
Pasal 21 Ditanggung Pemerintah:
NO.
|
NAMA
PEKERJA
|
NPWP
|
PENGHASILAN
BRUTO PER BULAN
(Rupiah)
|
PPh
Pasal 21 DTP
(Rupiah)
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
JUMLAH
|
|
|
Demikian kami sampaikan dengan
sebenarnya.
………………..,
…………………………….2009
Tanda
Tangan dan Cap Perusahaan
Wajib
Pajak Pemberi Kerja
NPWP:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
Tidak ada komentar:
Posting Komentar