PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 02/PMK.03/2010
TANGGAL 8 JANUARI 2010
TENTANG
BIAYA PROMOSI YANG
DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka untuk lebih
memberikan kepastian hukum dan memberikan kesamaan perlakuan bagi Wajib Pajak, perlu
penyesuaian terhadap pengaturan mengenai biaya promosi yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto;
b. bahwa biaya promosi sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh
Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu
produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau
meningkatkan penjualan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) angka 7 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Biaya Promosi yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang
dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan
pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan
dan/atau meningkatkan penjualan.
Pasal 2
Besarnya Biaya Promosi yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah:
a. biaya
periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
b. biaya
pameran produk;
c. biaya
pengenalan produk baru; dan/atau
d. biaya
sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.
Pasal 3
Tidak termasuk Biaya Promosi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. pemberian imbalan berupa uang dan/atau
fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak
berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
b. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah
dikenai pajak bersifat final.
Pasal 4
Dalam hal promosi dilakukan dalam
bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang
belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.
Pasal 5
Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada
pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan wajib dilakukan
pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 6
(1) Wajib Pajak wajib membuat daftar
nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
yang dikeluarkan kepada pihak lain.
(2) Daftar nominatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, Nomor
Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor
bukti pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong.
(3) Daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibuat sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan ini.
(4) Daftar nominatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak menyampaikan SPT
Tahunan PPh Badan.
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak dipenuhi, Biaya Promosi tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/2009 tentang
Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 8 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 6
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 02/PMK.03/2010
TENTANG BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR NOMINATIF
BIAYA PROMOSI
Nama Wajib Pajak :
NPWP :
Alamat :
Tahun Pajak :
No.
|
Data
Penerima
|
Pemotongan
PPh
|
|||||||
Nama
|
NPWP
|
Alamat
|
Tanggal
|
Bentuk
dan Jenis Biaya
|
Jumlah
(Rp)
|
Keterangan
|
Jumlah
PPh
|
Nomor
Bukti Potong
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
...............................,.................
Nama Wajib Pajak
_______________________________________________________________________________________
MENTERI KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya, ttd
Kepala Biro Umum SRI
MULYANI INDRAWATI
u.b.
Kepala Bagian T.U. Departemen
ttd
Antonius Suharto
NIP 060041107
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR 6/PJ/2011
TANGGAL 21 MARET 2011
TENTANG
PELAKSANAAN
PEMBAYARAN DAN PEMBUATAN BUKTI PEMBAYARAN ATAS ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN
YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata
Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran
atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan
dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 60 TAHUN 2010
tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan
dari Penghasilan Bruto;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010
tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN DAN PEMBUATAN BUKTI PEMBAYARAN ATAS ZAKAT ATAU
SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN
BRUTO.
Pasal 1
Zakat atau Sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a. zakat yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama
Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan Pemerintah.
Pasal 2
(1). Wajib Pajak yang melakukan pengurangan
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2). Bukti
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dapat
berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau
pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM); dan
b. paling sedikit memuat:
1) Nama
lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2) Jumlah
pembayaran;
3) Tanggal
pembayaran;
4) Nama badan amil zakat; lembaga amil
zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
5) Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga
amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di
bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
6) Validasi petugas bank pada bukti
pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila:
a. tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak
kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang
dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b. bukti
pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 4
(1). Pengurangan zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang
bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib tersebut.
(2). Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini mulai berlaku. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini mulai berlaku, pelaksanaan pembayaran dan pembuatan bukti pembayaran
atas zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku
ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 7
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 21 Maret 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd
A. FUAD RAHMANY
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 57/PMK.03/2010
TANGGAL 9 MARET 2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 105/PMK.03/2009 TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA
TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa
dalam rangka memberikan kepastian hukum dan untuk lebih memberikan keseimbangan
hak dan kewajiban Wajib Pajak, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan
mengenai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto;
b. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009
tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan
Dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009
tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan
Dari Penghasilan Bruto;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 105/PMK.03/2009 TENTANG PIUTANG
YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN
BRUTO.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak
Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 angka 3 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2. Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi
bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau
terakhir oleh Wajib Pajak.
3. Penerbitan
umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi:
a. Penerbitan
umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media
massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan
khusus adalah pemuatan pengumuman pada:
1) penerbitan
Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA) / Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional
(PERBANAS);
2) penerbitan/pengumuman
khusus Bank Indonesia; dan/atau
3) penerbitan
yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan
pihak kreditur menjadi anggotanya.
2. Ketentuan
Pasal 3 ayat (1) diubah, diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat
yakni ayat (1a), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam
laporan laba rugi komersial;
b. Wajib
Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan
utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.
(1a) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbentuk hard copy
dan/atau soft copy.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih kepada debitur kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah piutang
debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai
akibat adanya pemberian:
a. Kredit
Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi
produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I
yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok
Prokesra-OPPKS;
b. Kredit
Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada
koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling)
atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit,
untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha
taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
c. Kredit
Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank
kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit
yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit
Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha
kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka
kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan
koperasi.
(4) Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya
tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
3. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
Apabila Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dibayar seluruhnya atau
dibayar sebagian oleh debitur, jumlah piutang yang dibayar seluruhnya atau
dibayar sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak
diterimanya pembayaran.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Maret 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Maret 2010
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 123
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 60 TAHUN 2010
TANGGAL 20 AGUSTUS 2010
TENTANG
ZAKAT ATAU SUMBANGAN
KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Zakat
atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana beberapa
kali telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ZAKAT ATAU
SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN
BRUTO.
Pasal 1
(1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a. zakat atas penghasilan yang dibayarkan
oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak
badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama
Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
(2) Zakat atau sumbangan keagamaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang atau yang disetarakan
dengan uang.
Pasal 2
Apabila pengeluaran untuk zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil
zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pembebanan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang
dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 20 Agustus 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 98
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60 TAHUN 2010
TENTANG
ZAKAT ATAU SUMBANGAN
KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB
YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
UMUM
Penghasilan yang dikecualikan dari
Objek Pajak seperti zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, pada prinsipnya tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang
membayar pengeluaran tersebut dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak.
Selain itu, untuk mendorong masyarakat
dalam menjalankan kewajiban keagamaan berupa membayar zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia serta
untuk lebih meningkatkan akuntabilitas dan transparansi penggunaannya maka
Wajib Pajak yang membayar zakat melalui badan amil zakat atau lembaga amil
zakat dan Wajib Pajak yang memberikan sumbangan keagamaan melalui lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, juga diberikan fasilitas
perpajakan. Fasilitas perpajakan tersebut berupa diperbolehkannya zakat atau
sumbangan keagamaan tersebut dikurangkan dari penghasilan bruto.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup jelas
Pasal
2
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa dalam hal Wajib Pajak mengeluarkan zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1),
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak
pemeluk agama Islam membayar zakat bukan kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah maka zakat yang
dibayarkan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Demikian
juga apabila Wajib Pajak selain pemeluk agama Islam membayar sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia bukan
kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, maka
pembayaran tersebut juga tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Contoh:
Badu
merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha. Badu membayar zakat
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Zakat tersebut tidak disalurkan
melalui badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah, tetapi secara langsung diberikan kepada perorangan atau
keluarga yang berhak untuk menerimanya. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini
maka zakat yang dibayarkan oleh Badu tersebut tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dan bagi penerima zakatnya dikecualikan dari penghasilan.
Pasal 3
Cukup
jelas.
Pasal 4
Cukup
jelas.
Pasal 5
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5148
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 76/PMK.03/2011
TANGGAL 5 APRIL 2011
TENTANG
TATA CARA PENCATATAN
DAN PELAPORAN SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELlTIAN
DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILlTAS PENDlDlKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA,
DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN
BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 9 PERATURAN PEMERINTAH nomor 93 TAHUN 2010 tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan
Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan
Infrastruktur Sosial yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pencatatan dan
Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan
Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010
tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan
Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan
Bruto (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 160, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5182);
4. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PENCATATAN DAN PELAPORAN SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN
PENELlTlAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN
PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BlAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Sumbangan dari/atau biaya yang dapat
dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka
penghitungan penghasilan kena pajak terdiri atas:
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan
bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang
disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau
disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah
mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana
penanggulangan bencana;
b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga
penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang
merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui
lembaga pendidikan;
d. Sumbangan. dalam rangka pembinaan
olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan
mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi
yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan
prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Pasal 2
(1) Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto
fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak PenghasiIan Tahun Pajak
sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya
tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan
d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau
biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai
subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
(2) Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi
5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Pasal 3
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi
pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diberikan dalam bentuk
uang dan/atau barang.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya dalam bentuk sarana
dan/atau prasarana.
Pasal 5
(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang
disumbangkan belum disusutkan;
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang
disumbangkan sudah disusutkan; atau
c. harga pokok penjualan, apabila barang
yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.
(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur
sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan berdasarkan
jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.
Pasal 6
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi
sumbangan.
Pasal 7
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d, dikurangkan dari
penghasilan bruto pada tahun pajak sumbangan tersebut diserahkan.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dikurangkan dari penghasilan bruto
pada tahun pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan.
(3) Dalam hal pembangunan infrastruktur
sosial dilaksanakan lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, biaya pembangunan
infrastruktur sosial dibebankan sekaligus sebagai pengurang penghasilan bruto
pada Tahun Pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan, dengan contoh
penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan
ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan
ini.
(4) Dalam hal pembangunan infrastruktur
sosial dibiayai oleh lebih dari 1 (satu) Wajib Pajak, biaya pembangunan
infrastruktur sosial yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto
adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh masing-masing Wajib Pajak.
(5) Pengeluaran masing-masing Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibatasi tidak melebihi persentase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 8
Bukti penerimaan sumbangan dan/atau
biaya wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak pemberi sumbangan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dengan menggunakan formulir
penerimaan sumbangan sesuai contoh format sebagaimana tercantum pada Lampiran
II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 9
(1) Badan penanggulangan bencana dan/atau
lembaga atau pihak yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada
Direktur Jenderal Pajak setiap triwulan.
(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau
biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e
wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak
paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
(3) Laporan penerimaan dan penyaluran
sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan menggunakan
formulir laporan penerimaan sumbangan sesuai contoh format sebagaimana
tercantum pada Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 10
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku sejak Tahun Pajak 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5 April 2011
MENTERI KEUANGAN
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERlTA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 205
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 76/PMK.03/2011
TENTANG TATA CARA PENCATATAN DAN PELAPORAN SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA
NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN,
SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG
DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
CONTOH PENGHITUNGAN
BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG
DIBEBANKAN SEKALIGUS
SEBAGAI PENGURANG PENGHASILAN BRUTO DALAM
HAL PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SOSIAL DILAKSANAKAN
LEBIH DARI 1 (SATU) TAHUN
PAJAK
- PT DEF pada tahun 2009 mempunyai
penghasilan neto fiskal sebesar Rp800.000.000,00. Pada tahun 2010, PT DEF
mengeluarkan biaya infrastruktur sosial untuk pembangunan sebuah tempat ibadah
yang akan dimanfaatkan masyarakat Desa A sebesar Rp64.000.000,00.
- PT
DEF pada tahun 2010 mempunyai penghasilan neto fiskal sebesar Rp1.000.000.000,00.
- Pada tahun 2011, untuk menyelesaikan
pembangunan tempat ibadah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2010, PT DEF
mengeluarkan tambahan biaya infrastruktur sosial sebesar Rp60.000.000,00.
- Pada
tahun 2011, tempat ibadah selesai dibangun dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Desa A.
Jumlah biaya yang sesungguhnya
dikeluarkan oleh PT DEF adalah sebagai berikut.
- Biaya
infrastruktur sosial (Tahun 2010) : Rp64.000.000,00 (8% dari Rp800.000.000,00)
- Biaya
infrastruktur sosial (Tahun 2011) : Rp60.000.000,00 (6% dari Rp1.000.000.000,00)
Penghitungan jumlah biaya maksimal yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk Tahun Pajak 2011 adalah sebagai
berikut.
- Biaya
infrastruktur sosial (Tahun 2010) : Rp40.000.000,00 (5% dari Rp800.000.000,00)
- Biaya
infrastruktur sosial (Tahun 2011) : Rp50.000.000,00 (5% dari Rp1.000.000.000,00)
Maka biaya infrastruktur sosial sebesar
Rp90.000.000,00 (Rp40.000.000,00 + Rp50.000.000,00) dapat dibebankan sekaligus
sebagai pengurang penghasilan bruto pada Tahun Pajak 2011.
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI
KEUANGAN,
KEPALA BIRO UMUM ttd
u.b. AGUS
D.W. MARTOWARDOJO
KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMEN
ttd
GIARTO
NIP195904201984021001
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 76/PMK.03/2011
TENTANG TATA CARA PENCATATAN DAN PELAPORAN SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA
NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN,
SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG
DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
TANDA BUKTI
PENERIMAAN SUMBANGAN DANA/ATAU BIAYA
A. Identitas
Pemberi Sumbangan
1. Nama : ……………………………………………………………………
2. Alamat : ……………………………………………………………………
3. NPWP : ……………………………………………………………………
B. Rincian
Sumbangan
1. Jenis
Sumbangan : Sumbangan
Bencana Nasional, Sumbangan Pembinaan Olahraga, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,
Sumbangan Penelitian dan Pengembangan*)
2. Bentuk sumbangan : Uang / Barang*)
3. Nilai Sumbangan : ……………………………………………………………………
4. Tanggal diterima : ……………………………………………………………………
C. Identitas
Penerima sumbangan
1. Nama Lembaga / Badan : ……………………………………………………………………
2. NPWP : ……………………………………………………………………
3. Alamat : ……………………………………………………………………
4. No. Telp. Dan Faksimili : ……………………………………………………………………
D. Khusus
Infrastuktur Sosial*** :
1. Sarana / Prasarana Yang Diberikan : ………………………………………………………..
2. Lokasi***) : ………………………………………………………..
3. Biaya Pembangunan : ………………………………………………………..
Infrastruktur Sosial
4. Ijin Mendirikan Bangunan : ………………………………………………………..
Keterangan:
*) coret
yang tidak perlu.
**) khusus
infrastruktur sosial pemberi biaya infrastruktur sosial cukup mengisi bagian A
dan D.
***) alamat
lengkap lokasi sarana dan prasarana tersebut.
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI
KEUANGAN,
KEPALA BIRO UMUM ttd
u.b. AGUS
D.W. MARTOWARDOJO
KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMEN
ttd
GIARTO
NIP195904201984021001
LAMPIRAN
III
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 76/PMK.03/2011
TENTANG TATA CARA PENCATATAN DAN PELAPORAN SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA
NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN,
SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG
DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Kepada Yth.
Direktur Jenderal Pajak
u.p. Direktur Peraturan Perpajakan II
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Gedung Utama Lantai 11
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav 40-42
Jakarta
LAPORAN PENERIMAAN
SUMBANGAN DAN/ATAU BIAYA……………
TRIWULAN…………/ TAHUN
PAJAK……….
Rincian Total Sumbangan dan/atau Biaya
Uang/Barang yang Diterima
No.
|
Nama/
NPWP, Alamat Pemberi Sumbangan dan/ atau Biaya
|
Jenis
Sumbangan dan/ atau Biaya
|
Bulan/Tahun**
|
|
|
|
Barang*
|
Jumlah
|
|
1.
|
PT.A / NPWP ………./ Jl. Mawar No. 5, Medan.
|
Obat-obatan
|
Rp 10.000.000,--
|
Juli / 2010
|
2.
|
PT. B / NPWP …….. / Jl. Melati No. 7,
Palembang.
|
-
|
Rp 20.000.000,--
|
Oktober / 2010
|
Total
|
|
|
Lembaga / Badan Penerima Sumbangan dan/atau
Biaya:
Nama : …………………………………………………………………………………………..
NPWP …***) : …………………………………………………………………………………………..
Alamat : …………………………………………………………………………………………..
Keterangan:
* Diisi
apabilan sumbangan dalam bentuk barang, dan nilai dalam rupiah
** Diisi
bulan dan tahun sumbangan dan / atau biaya diterima
***) NPWP
tidak perlu diisi bagi lembaga / badan yang dikecualikan sebagai Subjek Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI
KEUANGAN,
KEPALA BIRO UMUM ttd
u.b. AGUS
D.W. MARTOWARDOJO
KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMEN
ttd
GIARTO
NIP195904201984021001
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 79 TAHUN 2010
TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
BIAYA OPERASI YANG
DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK
DAN GAS BUMI
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6
ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kegiatan
usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama;
b. bahwa dalam pelaksanaan kontrak kerja
sama sebagaimana dimaksud pada huruf a, modal yang ditanggung oleh badan usaha
atau bentuk usaha tetap merupakan biaya operasi yang dapat dikembalikan oleh
Pemerintah Republik Indonesia pada saat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
menghasilkan produksi komersial;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 31 D Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang biaya
operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha
hulu minyak dan gas bumi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BIAYA
OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA
HULU MINYAK DAN GAS BUMI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang
dimaksud dengan:
1. Minyak bumi, gas bumi, minyak dan gas
bumi, eksplorasi, eksploitasi, kontrak kerja sama, Badan Pelaksana, wilayah
kerja, wilayah hukum pertambangan Indonesia, dan kegiatan usaha hulu adalah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi.
2. Kontraktor adalah badan usaha atau
bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
3. Operator adalah kontraktor atau dalam
hal kontraktor terdiri atas beberapa pemegang participating interest, salah
satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang
participating interest lainnya sesuai dengan kontrak kerja sama.
4. Operasi perminyakan adalah kegiatan
yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan dan peninggalan
sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site
restoration) minyak dan gas bumi.
5. Lifting adalah sejumlah minyak mentah
dan/atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer
point).
6. First Tranche Petroleum yang
selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas
bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang
dapat diambil dan diterima oleh Badan Pelaksana dan/atau kontraktor dalam tiap
tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan
produksi (own use).
7. Investment Credit yang selanjutnya
disebut insentif investasi adalah tambahan pengembalian biaya modal dalam
jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang
diberikan sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau gas bumi
tertentu.
8. Equity to be Split adalah hasil
produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) antara Badan Pelaksana dan
kontraktor setelah dikurangi FTP, insentif investasi (jika ada), dan
pengembalian biaya operasi.
9. Biaya bukan modal (non capital cost) adalah
biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun berjalan yang mempunyai masa
manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible drilling
cost.
10. Biaya modal (capital cost) adalah
pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan
melalui penyusutan.
11. Rencana kerja dan anggaran adalah suatu
perencanaan kegiatan dan pengeluaran anggaran tahunan oleh kontraktor untuk
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja.
12. Kontrak bagi hasil adalah suatu bentuk
kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian
hasil produksi.
13. Kontrak jasa adalah suatu bentuk kontrak
kerja sama untuk pelaksanaan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan
prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan.
14. Participating Interest adalah hak dan
kewajiban sebagai kontraktor kontrak kerja sama, baik secara langsung maupun
tidak langsung pada suatu wilayah kerja.
15. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh
kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi
kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi kontraktor
lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan.
16. Domestic Market Obligation yang
selanjutnya disingkat DMO adalah kewajiban penyerahan bagian kontraktor berupa
minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
17. Imbalan DMO adalah imbalan yang
dibayarkan oleh Pemerintah kepada kontraktor atas penyerahan minyak dan/atau
gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang
ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
18. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
19. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas
bumi.
Pasal 2
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini berlaku untuk kontrak bagi hasil dan kontrak jasa di bidang
usaha hulu minyak dan gas bumi.
Pasal 3
(1) Kontraktor wajib membawa modal dan
teknologi serta menanggung risiko operasi dalam rangka pelaksanaan operasi
perminyakan berdasarkan kontrak kerja sama pada suatu wilayah kerja.
(2) Pelaksanaan operasi perminyakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan prinsip efektif dan efisien,
prinsip kewajaran, serta kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik.
Pasal 4
(1) Seluruh barang dan peralatan yang dibeli
oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara
yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana.
(2) Atas barang dan peralatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengembalian biaya operasi tidak dapat
dilakukan penilaian kembali.
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan operasi perminyakan, kontraktor
wajib menyusun rencana kerja dan anggaran sesuai dengan kaidah praktek bisnis
dan keteknikan yang baik serta prinsip kewajaran.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengeluaran
rutin; dan
b. pengeluaran
proyek.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
(4) Persetujuan Kepala Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dasar bagi kontraktor untuk
melaksanakan operasi perminyakan.
Pasal 6
Terhadap pengeluaran proyek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, sebelum dilaksanakan wajib mendapatkan
persetujuan atorisasi pembelanjaan finansial dari Kepala Badan Pelaksana.
Pasal 7
(1) Kontraktor mendapatkan kembali biaya
operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui oleh
Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
(2) Produksi komersial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) statusnya ditetapkan melalui Persetujuan Menteri atas rencana
pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan.
(3) Dalam hal wilayah kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menghasilkan produksi komersial, terhadap seluruh
biaya operasi yang telah dikeluarkan menjadi risiko dan beban kontraktor
sepenuhnya.
Pasal 8
(1) Menteri menetapkan besaran minimum
bagian negara dari suatu wilayah kerja yang dikaitkan dengan lifting dalam
persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2).
(2) Penetapan besaran minimum bagian negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri.
BAB II
PENGHASILAN BRUTO
DAN PENGURANG
PENGHASILAN KONTRAKTOR
Bagian Kesatu
Penghasilan Bruto
Kontraktor
Pasal 9
(1) Penghasilan
bruto kontraktor terdiri atas:
a. penghasilan
dalam rangka kontrak bagi hasil; atau
b. penghasilan
dalam rangka kontrak jasa; dan
c. penghasilan
lain di luar kontrak kerja sama.
(2) Penghitungan pajak penghasilan atas
penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dihitung berdasarkan nilai realisasi minyak dan/atau gas bumi bagian
kontraktor dari equity share dan FTP share ditambah minyak dan/atau gas bumi
yang berasal dari pengembalian biaya operasi ditambah minyak dan/atau gas bumi
tambahan yang berasal dari pemberian insentif atau karena hal lain dikurangi
nilai realisasi penyerahan DMO minyak dan/atau gas bumi ditambah Imbalan DMO
ditambah varian harga atas lifling.
(3) Penghitungan pajak penghasilan atas
penghasilan dalam rangka kontrak jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dihitung berdasarkan imbalan yang diterima dari Pemerintah ditambah nilai
realisasi penjualan atas minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari
pengembalian biaya operasi.
(4) Penghasilan lain di luar kontrak kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. uplift
atau imbalan lain yang sejenis; dan/atau
b. penghasilan
yang berasal dari pengalihan participating interest.
Pasal 10
(1) Untuk
menjamin adanya penerimaan negara, Menteri menetapkan besaran dan pembagian FTP.
(2) Untuk mendorong pengembangan wilayah
kerja, Menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran insentif investasi.
Bagian Kedua
Biaya Operasi
Pasal 11
(1) Biaya
operasi terdiri atas:
a. biaya
eksplorasi;
b. biaya
eksploitasi; dan
c. biaya
lain.
(2) Biaya
eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. biaya
pengeboran terdiri atas:
1. biaya pengeboran eksplorasi; dan
2. biaya pengeboran pengembangan;
b. biaya
geologis dan geofisika terdiri atas:
1. biaya penelitian geologis; dan
2. biaya penelitian geofisika;
c. biaya
umum dan administrasi pada kegiatan eksplorasi; dan
d. biaya
penyusutan.
(3) Biaya
eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. biaya
langsung produksi untuk:
1. minyak bumi; dan
2. gas bumi.
b. biaya
pemrosesan gas bumi;
c. biaya
utility terdiri atas:
1. biaya perangkat produksi dan
pemeliharaan peralatan; dan
2. biaya uap, air, dan listrik;
d. biaya
umum dan administrasi pada kegiatan eksploitasi; dan
e. biaya
penyusutan.
(4) Biaya umum dan administrasi untuk
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dan ayat (3) huruf d terdiri atas:
a. biaya
administrasi dan keuangan;
b. biaya
pegawai;
c. biaya
jasa material;
d. biaya
transportasi;
e. biaya
umum kantor; dan
f. pajak
tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah.
(5) Biaya
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. biaya
untuk memindahkan gas dari titik produksi ke titik penyerahan; dan
b. biaya
kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu.
Pasal 12
(1) Biaya operasi yang dapat dikembalikan
dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus memenuhi persyaratan:
a. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja
kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
b. menggunakan harga wajar yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
c. pelaksanaan operasi perminyakan sesuai
dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik;
d. kegiatan operasi perminyakan sesuai
dengan rencana kerja dan anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala
Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
(2) Biaya yang dikeluarkan yang terkait
langsung dengan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
wajib memenuhi syarat:
a. untuk biaya penyusutan hanya atas
barang dan peralatan yang digunakan untuk operasi perminyakan yang menjadi
milik negara;
b. untuk biaya langsung kantor pusat yang
dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk
kegiatan yang:
1. tidak
dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
2. tidak
dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
3. tidak
rutin;
c. untuk pemberian imbalan sehubungan
dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam bentuk natural kenikmatan
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan;
d. untuk pemberian sumbangan bencana alam
atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan;
e. untuk pengeluaran biaya pengembangan
masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan hanya pada masa eksplorasi;
f. untuk pengeluaran alokasi biaya tidak
langsung kantor pusat dengan syarat:
1. digunakan untuk menunjang usaha atau
kegiatan di Indonesia;
2. kontraktor menyerahkan laporan keuangan
konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan
3. besarannya tidak melampaui batasan yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan
Menteri.
(3) Batasan maksimum biaya yang berkaitan
dengan remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri.
Pasal 13
Jenis biaya operasi yang tidak dapat
dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan meliputi:
a. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan
untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang
participating interest, dan pemegang saham;
b. pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada
rekening bersama Badan Pelaksana dan kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah
Indonesia yang berada di Indonesia;
c. harta yang dihibahkan;
d. sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang
timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;
e. biaya penyusutan atas barang dan
peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
f. insentif, pembayaran iuran pensiun, dan
premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja
asing, pengurus, dan pemegang saham;
g. biaya tenaga kerja asing yang tidak
memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak
memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA);
h. biaya konsultan hukum yang tidak
terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama;
i. biaya konsultan pajak;
j. biaya pemasaran minyak dan/atau gas
bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang telah disetujui
Kepala Badan Pelaksana;
k. biaya representasi, termasuk biaya
jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar
nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
l. biaya pengembangan lingkungan dan
masyarakat setempat pada masa eksploitasi;
m. biaya pelatihan teknis untuk tenaga
kerja asing;
n. biaya terkait merger, akuisisi, atau
biaya pengalihan participating interest;
o. biaya bunga atas pinjaman;
p. pajak penghasilan karyawan yang
ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak dan pajak
penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga
yang ditanggung kontraktor atau di-gross up;
q. pengadaan barang dan jasa serta
kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kaidah
keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi
pengeluaran di atas 10% (sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran;
r. surplus material yang berlebihan
akibat kesalahan perencanaan dan pembelian;
s. nilai buku dan biaya pengoperasian aset
yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian
kontraktor;
t. transaksi
yang:
1. merugikan negara;
2. tidak melalui proses tender sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu; atau
3. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
u. bonus
yang dibayarkan kepada Pemerintah;
v. biaya
yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
w. insentif
interest recovery; dan
x. biaya
audit komersial.
Pasal 14
Dalam hal terdapat penghasilan tambahan
yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan dalam bentuk hasil
penjualan produk sampingan atau bentuk lainnya diperlakukan sebagai pengurang
biaya operasi.
Pasal 15
(1) Barang yang memiliki masa manfaat tidak
lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai biaya operasi pada saat barang
digunakan.
(2) Pembebanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan barang yang
diperoleh pertama.
Pasal 16
(1) Penyusutan atas pengeluaran harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam
bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa
buku disusutkan sekaligus.
(2) Penyusutan dimulai pada bulan harta
tersebut digunakan (placed into service).
(3) Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai
kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dalam hal harta berwujud sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat kerusakan karena
faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud tetap
disusutkan sesuai dengan sisa masa manfaatnya.
Pasal 17
(1) Besarnya cadangan biaya penutupan dan
pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun pajak, dihitung
berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa
manfaat ekonomis.
(2) Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara Badan Pelaksana dan
kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia.
(3) Dalam hal total realisasi biaya
penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari jumlah yang
dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang
dapat dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang
bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan
dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 18
(1) Kontraktor dapat membebankan iuran
pesangon bagi pegawai tetap yang dibayarkan kepada pengelola dana pesangon
tenaga kerja yang ditetapkan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pengelolaan iuran pesangon dan
besarnya pesangon diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 19
(1) Seluruh biaya kerja, pembebanannya
ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di
wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(2) Untuk pengamanan penerimaan negara, selain
penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat mengambil
kebijakan terkait pengembangan lapangan.
Pasal 20
(1) Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 yang dapat dikembalikan dalam 1 (satu) tahun kalender terdiri atas:
a. biaya
bukan modal tahun berjalan;
b. penyusutan
biaya modal tahun berjalan; dan
c. biaya
operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2) Jumlah maksimum biaya operasi yang dapat
dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kontrak jasa ditentukan
sebesar imbalan yang diberikan oleh Pemerintah.
(3) Biaya operasi yang dapat dikembalikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dapat diperhitungkan dalam 1 (satu)
tahun kalender dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
(4) Biaya langsung minyak bumi dibebankan
pada produksi minyak bumi dan biaya langsung gas bumi dibebankan pada produksi
gas bumi.
(5) Dalam hal terdapat biaya bersama minyak
dan gas bumi, biaya bersama dialokasikan sesuai proporsi nilai relatif hasil
produksi.
(6) Dalam hal suatu lapangan atau wilayah
kerja telah menghasilkan satu jenis hasil produksi minyak bumi atau gas bumi, sementara
jenis produksi yang lainnya belum menghasilkan, biaya bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dialokasikan secara adil berdasarkan kesepakatan antara
Badan Pelaksana dan kontraktor.
(7) Pengembalian biaya operasi untuk minyak
bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi, sedangkan pengembalian biaya
operasi untuk gas bumi dilakukan hanya terhadap nilai penjualan gas bumi.
(8) Dalam hal pengembalian biaya operasi
minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil produksinya atau nilai
penjualannya, ditentukan:
a. biaya operasi gas bumi yang melebihi
nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada hasil produksi minyak bumi;
b. biaya operasi minyak bumi yang melebihi
nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada nilai penjualan gas bumi.
BAB III
PENGAKUAN DAN
PENGUKURAN PENGHASILAN
Pasal 21
Penghasilan kontraktor untuk kontrak
bagi hasil diakui pada titik penyerahan.
Pasal 22
(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama
dalam bentuk penjualan minyak bumi dinilai dengan menggunakan harga minyak
mentah Indonesia.
(2) Metodologi dan formula dari harga minyak
mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan bersama oleh
Menteri dan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penetapan
metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama
dalam bentuk kontrak penjualan gas bumi dihitung berdasarkan harga yang
disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
(2) Dalam hal penjualan gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah gas bumi diperoleh melalui proses
lebih lanjut yang disetujui Menteri, penghasilan yang diakui dihitung
berdasarkan hasil penjualan yang diterima dikurangi komponen biaya penjualan.
BAB IV
PENGHITUNGAN BAGI
HASIL
Pasal 24
(1) Dalam hal tidak terdapat FTP dan
insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi
biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Dalam hal terdapat FTP tetapi tidak
terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting
dikurangi FTP dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(3) Dalam hal terdapat FTP dan insentif
investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi FTP
dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(4) Dalam hal tidak terdapat FTP tetapi
terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting
dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(5) Insentif investasi dan biaya operasi
yang dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dikonversi
menjadi:
a. minyak bumi, dengan harga rata-rata
harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; atau
b. gas bumi, dengan harga yang disepakati
dalam kontrak penjualan gas bumi.
(6) Bagian kontraktor untuk kontrak kerja
sama, dihitung berdasarkan persentase bagian kontraktor sebelum pajak
penghasilan yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to
be split.
(7) Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja
sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah yang dinyatakan dalam
kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be split yang didalamnya belum
termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
(8) Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO
dengan menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi minyak
bumi dan/atau gas bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(9) Kontraktor mendapat imbalan DMO atas penyerahan
minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan harga
yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK
PENGHASILAN
Pasal 25
(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun
pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung berdasarkan
penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya
modal tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada
tahun-tahun sebelumnya.
(2) Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya
sampai dengan berakhirnya kontrak.
(3) Besarnya pajak penghasilan yang terutang
bagi kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang
bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya peraturan
Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak
penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal kontraktor berbentuk badan
hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperlakukan
sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Atas pemenuhan kewajiban pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
diterbitkan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas
bumi setelah dilakukan pemeriksaan pajak.
(8) Sebelum surat ketetapan pembayaran pajak
penghasilan minyak bumi dan gas bumi diterbitkan, dapat diterbitkan surat
keterangan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara.
(9) Ketentuan mengenai penerbitan surat
ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyak
bumi dan gas bumi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(10) Kontraktor dibebaskan dari pemungutan bea
masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang yang digunakan dalam operasi
perminyakan pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi.
(11) Ketentuan mengenai tata cara pembebasan
bea masuk dan pemungutan pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada
ayat (10) diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun
pajak bagi kontraktor dalam rangka kontrak jasa, berdasarkan penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dikurangi biaya bukan modal tahun
berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi seluruh
biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 yang belum dikembalikan.
(2) Ketentuan mengenai jumlah maksimum
pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah imbalan yang diberikan
oleh Pemerintah kepada kontraktor diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya
sampai dengan berakhirnya kontrak.
(4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang
bagi kontraktor berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikalikan dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang pajak penghasilan.
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan
terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENGHASILAN DI LUAR
KONTRAK KERJA SAMA
Pasal 27
(1) Atas penghasilan lain kontraktor berupa
uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4)
huruf a dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto.
(2) Atas penghasilan kontraktor dari
pengalihan participating interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf
b dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk
pengalihan participating interest selama masa eksplorasi; atau
b. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk
pengalihan participating interest selama masa eksploitasi.
(3) Pengenaan pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang untuk melakukan
kewajiban pengalihan participating interest sesuai kontrak kerja sama kepada
perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemotongan
dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 28
Dalam rangka membagi risiko dalam masa
eksplorasi, pengalihan participating interest tidak termasuk penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b apabila memenuhi kriteria:
a. tidak
mengalihkan seluruh participating interest yang dimilikinya;
b. participating
interest telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
c. di
wilayah kerja telah dilakukan eksplorasi (telah ada pengeluaran investasi); dan
d. pengalihan
participating interest tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
BAB VII
PEMBUKUAN KONTRAKTOR
Pasal 29
(1) Pembukuan atau pencatatan harus
diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya.
(2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan
di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau bahasa asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri
Keuangan.
(3) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip
taat asas, sesuai dengan pernyataan standar akuntansi keuangan, dan sesuai
prinsip kontrak bagi hasil.
(4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri
atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(5) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi
online wajib disediakan di Indonesia selama biaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 belum dikembalikan.
Pasal 30
(1) Untuk perhitungan pajak, Direktorat
Jenderal Pajak menetapkan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi setiap
tahunnya di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas bumi setelah mendapat
rekomendasi dari Badan Pelaksana.
(2) Sebelum menetapkan besarnya biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), auditor Pemerintah atas nama Direktorat
Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan.
(3) Dalam hal besaran biaya yang
direkomendasikan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda
dengan besaran biaya hasil pemeriksaan auditor Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), auditor Pemerintah dan Badan Pelaksana wajib menyelesaikan
perbedaan tersebut.
BAB VIII
KEWAJIBAN KONTRAKTOR
DAN/ATAU OPERATOR
Pasal 31
(1) Setiap
kontraktor pada suatu wilayah kerja wajib:
a. mendaftarkan diri untuk memperoleh
nomor pokok wajib pajak;
b. melaksanakan pembukuan;
c. menyampaikan surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh);
d. membayar angsuran pajak dalam tahun
berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya, dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari lifting yang
sebenarnya terjadi dalam suatu bulan takwim;
e. memenuhi ketentuan lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan
participating interest atau pengalihan saham, kontraktor wajib melaporkan
nilainya kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal pengalihan participating
interest, hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada kontraktor yang baru.
(4) Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 32
(1) Setiap
operator pada suatu wilayah kerja wajib:
a. mendaftarkan kontrak kerja sama untuk
memperoleh nomor pokok wajib pajak yang berbeda dengan nomor pokok wajib pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a;
b. melakukan pemenuhan kewajiban
pemotongan dan/atau pemungutan pajak;
c. menyelenggarakan pembukuan untuk
kegiatan operasi perminyakan untuk wilayah kerja yang bersangkutan.
(2) Dalam hal terjadi pergantian operator, kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada operator yang baru.
Pasal 33
(1) Minyak bumi dan/atau gas bumi bagian
pemerintah dari kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dihitung
berdasarkan volume minyak bumi dan/atau gas bumi.
(2) Dalam hal Pemerintah membutuhkan minyak
bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pajak
penghasilan kontraktor dari kontrak bagi hasil, dapat berupa volume minyak bumi
dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor.
(3) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata
cara penyerahan bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata
cara pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat. (2) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IX
KEWAJIBAN BADAN PELAKSANA
Pasal 34
(1) Badan Pelaksana wajib menerbitkan
standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya yang digunakan pada
kegiatan operasi perminyakan bersamaan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah
ini.
(2) Badan Pelaksana wajib menyampaikan
laporan pembukuan mengenai pelaksanaan pengembalian biaya operasi kepada
Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi secara
periodik setiap tahun dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
(1) Kontraktor harus melakukan transaksinya
di Indonesia dan menyelesaikan pembayarannya melalui sistem perbankan di
Indonesia.
(2) Transaksi dan penyelesaian pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar Indonesia
setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 36
(1) Menteri Keuangan dalam keadaan tertentu
dapat menunjuk pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi
finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan Menteri.
(2) Penunjukan pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pengadaan barang dan jasa.
Pasal 37
Dalam hal terjadi perubahan bentuk
hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan participating
interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang
mengakibatkan perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian
penerimaan negara harus tetap.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku:
a. Kontrak kerja sama yang telah
ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
b. Hal-hal yang belum diatur atau belum
cukup diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada
huruf a untuk ketentuan mengenai:
1. besaran bagian penerimaan negara;
2. persyaratan biaya operasi yang dapat
dikembalikan dan norma pembebanan biaya operasi;
3. biaya operasi yang tidak dapat
dikembalikan;
4. penunjukan pihak ketiga yang independen
untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis;
5. penerbitan surat ketetapan pajak
penghasilan;
6. pembebasan bea masuk dan pajak dalam
rangka impor atas barang pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi;
7. pajak penghasilan kontraktor berupa
volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor; dan
8. penghasilan di luar kontrak kerja sama
berupa uplift dan/atau pengalihan participating interest,
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha
hulu minyak bumi dan gas bumi yang dibuat atau diperpanjang setelah berlakunya
Peraturan Pemerintah ini wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 40
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 20 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 139
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 79 TAHUN 2010
TENTANG
BIAYA OPERASI YANG
DAPAT DIKEMBALIKAN DAN
PERLAKUAN PAJAK
PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUMI
I. UMUM
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara termasuk
minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam strategis yang tak dapat
diperbaharui. Mengingat minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber
penerimaan negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan secara
efisien dan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pengelolaan minyak dan gas bumi sampai
saat ini dilakukan melalui sistem kontrak bagi hasil yang juga dianut oleh
kebanyakan negara produsen minyak. Peraturan Pemerintah ini lebih menjamin
penerimaan negara yang berasal dari penghasilan kontrak bagi hasil atau
penghasilan lainnya menjadi lebih optimal, antara lain melalui:
a. biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto akan sama dengan biaya yang dapat dikembalikan oleh
Pemerintah;
b. jenis, syarat, metode alokasi, dan
batasan jumlah dari biaya tersebut akan diatur secara seksama agar penerimaan
negara lebih optimal dan agar tercipta kepastian hukum;
c. pajak-pajak tidak langsung seperti
pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak
daerah dan retribusi daerah yang selama ini menjadi beban Pemerintah diubah
sehingga menjadi beban bersama Pemerintah dan kontraktor dengan cara membukukan
pembayaran pajak tidak langsung tersebut sebagai komponen biaya;
d. kontraktor diwajibkan membayar sendiri
pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
di luar skema kontrak kerja sama.
Dengan ditetapkannya Peraturan
Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Dalam rangka optimalisasi penerimaan
negara dari kontrak-kontrak yang sudah ada, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009
mengamanatkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai
Pengembalian Biaya Operasi yang telah dikeluarkan kontraktor dalam rangka
kontrak kerja sama. Untuk itu, ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
ini juga berlaku terhadap kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan beberapa ketentuan peralihan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Dalam hal kontrak kerja sama di bidang
usaha hulu minyak dan gas bumi, Pemerintah menyediakan sumber daya alamnya
sedangkan kontraktor wajib membawa modal dan teknologi. Konsekuensinya bahwa
kontraktor tidak diperkenankan membebankan biaya bunga maupun biaya royalti dan
sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya seluruh pengeluaran atas
barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor merupakan milik negara, sehingga
pengeluaran tersebut merupakan biaya operasi yang dapat dikembalikan oleh
Pemerintah kepada kontraktor berdasarkan harga perolehan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kaidah praktek
bisnis yang baik meliputi kaidah praktek bisnis yang umum berlaku dan wajar
sesuai dengan etika bisnis, sedangkan kaidah keteknikan yang baik meliputi:
a. memenuhi ketentuan keselamatan dan
kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. memproduksikan minyak dan gas bumi
sesuai dengan kaidah pengelolaan reservoar yang baik;
c. memproduksikan sumur minyak dan gas
bumi dengan cara yang tepat;
d. menggunakan teknologi perolehan minyak
tingkat lanjut yang tepat;
e. meningkatkan usaha peningkatan
kemampuan reservoar untuk mengalirkan fluida dengan teknik yang tepat; dan
f. memenuhi ketentuan standar peralatan
yang dipersyaratkan.
Ayat (2)
Huruf a
Pengeluaran rutin antara lain
pembayaran gaji, biaya pemeliharaan, dan biaya pasca operasi pertambangan.
Huruf b
Pengeluaran proyek antara lain
pembangunan fasilitas produksi dan kegiatan survei seismik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Otorisasi pembelanjaan finansial adalah
authorization for expenditure (AFE).
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan varian harga atas
lifting adalah selisih harga yang terjadi karena perbedaan harga minyak mentah
Indonesia bulanan dengan harga minyak mentah Indonesia rata-rata tertimbang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengembangan wilayah kerja dalam
ketentuan ini meliputi ekstensifikasi dan intensifikasi.
Pasal 11
Biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan adalah sama dengan biaya yang akan dikembalikan oleh Pemerintah
kepada kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama, demikian pula sebaliknya. Prinsip
ini biasa dikenal dengan nama uniformity principle.
Biaya operasi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi dasar dalam penghitungan bagi
hasil dan penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang termasuk biaya penyusutan antara
lain berupa:
1. fasilitas
produksi;
2. gedung
kantor, gudang, perumahan;
3. mesin
dan peralatan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Termasuk dalam biaya pemindahan gas
dari titik produksi ke titik penyerahan adalah biaya untuk pemasaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada
tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut
harus mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
dengan kegiatan operasi perminyakan di lapangan yang berproduksi secara
komersial di wilayah kerja yang bersangkutan di Indonesia.
Dengan demikian, pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan objek pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan dan/atau
untuk penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya yang dapat dikembalikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “biaya langsung
kantor pusat yang dibebankan ke proyek” adalah biaya yang terkait langsung
dengan kegiatan operasi perminyakan di Indonesia dengan syarat:
1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga
di dalam negeri;
2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja
Indonesia; dan
3. tidak rutin.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Peraturan Menteri Keuangan paling
sedikit mengatur mengenai waktu pemberlakuan remunerasi.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Harta yang dihibahkan tidak boleh
dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut merupakan milik negara.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Biaya yang terkait dengan merger dan
akuisisi antara lain:
a. biaya personal dan konsultan yang
berkaitan dengan due diligence;
b. biaya eksternal untuk press release, promosi,
dan penggantian logo perusahaan;
c. biaya yang terkait dengan separation
program dan retention program, biaya yang berkaitan dengan teknologi sistem
informasi (sepanjang sistem yang lama belum sepenuhnya didepresiasikan), biaya
yang terkait dengan perpindahan kantor, dan biaya yang timbul karena perubahan
kebijakan tentang proyek yang sedang berjalan.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “bunga atas
pinjaman” adalah bunga atas pinjaman untuk membiayai operasi perminyakan.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan “kesalahan
perencanaan” adalah perbuatan kontraktor dalam menyusun rencana yang dapat
dikategorikan sebagai kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja. Pengertian
kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja adalah setiap tindakan yang
disengaja atau kecerobohan yang dilakukan oleh manajemen atau pejabat senior
dari kontraktor yang:
a. konsekuensi diketahui atau patut
diketahui dapat mengakibatkan terjadinya kerugian orang atau terancamnya
keamanan atau kepemilikan orang atau badan lain; atau
b. secara fatal melanggar standar kehati-hatian
yang dalam pengabaiannya atau ketidakpeduliannya yang fatal mengakibatkan
konsekuensi yang merugikan.
Huruf s
Yang dimaksud dengan “kelalaian
kontraktor” adalah kelalaian berat (gross negligance) atau perbuatan salah yang
disengaja (willful misconduct).
Sebagian biaya konstruksi fasilitas
produksi/peralatan yang tidak dapat dibebankan menjadi biaya operasi yang tidak
dapat dikembalikan dalam hal:
a. tidak dapat membuktikan bahwa kapasitas
fasilitas produksi memenuhi target yang disepakati sehingga pembebanan hanya
dapat dibebankan proporsional terhadap kapasitas terbukti;
b. tidak dapat membuktikan bahwa unjuk
kerja fasilitas produksi memenuhi kriteria yang ditetapkan sehingga pembebanan
hanya dapat dilakukan proporsional terhadap unjuk kerja terbukti.
c. pada masa konstruksi terjadi perbaikan
atau pembuatan ulang/penggantian seluruh dan/atau sebagian fasilitas produksi
yang termasuk dalam pertanggungan asuransi construction all risk;
d. pada masa garansi terjadi kerusakan
akibat kesalahan fabrikasi/manufacturing, maka biaya perbaikan ataupun
penggantian menjadi tanggung jawab kontraktor penyedia barang/jasa.
Huruf t
Angka 1
Yang dimaksud dengan “transaksi yang
merugikan negara” adalah transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan kerugian bagi negara seperti
pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan
dan lain-lain.
Angka 2
Yang dimaksud dengan tidak melalui
proses tender dalam ketentuan ini adalah seluruh pengadaan barang dan jasa
wajib melalui proses tender sesuai kebutuhan yang berlaku, namun untuk
pengadaan barang dan jasa untuk keperluan darurat dapat tidak melalui proses
tender.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Dalam hal adanya kepentingan nasional
yang mendesak, antara lain kelangsungan produksi, percepatan peningkatan
produksi minyak dan/atau gas bumi yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi negara, dapat dilakukan pengecualian terhadap ketentuan ini.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan penghasilan
tambahan yang berasal dari hasil penjualan produk sampingan antara lain
penjualan belerang dan penjualan kapasitas lebih dari tenaga listrik.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “placed into
service” adalah saat dimulainya suatu harta berwujud digunakan dan telah
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Badan Pelaksana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tahun pajak”
adalah tahun kalender.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kebijakan” adalah
antara lain dalam rangka pengembalian biaya yang didasarkan atas keekonomian
lapangan atau beberapa lapangan dalam usulan satu rencana pengembangan lapangan
(POD basis) atau pengembangan lapangan yang didasarkan atas keekonomian dalam
satu lapangan (field basis) atau pengembangan lapangan yang didasarkan atas
keekonomian satu sumur atau beberapa sumur dengan tidak membangun fasilitas
produksi sendiri (put on production).
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “biaya operasi
yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya” adalah bagian dari
saldo biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada awal tahun, sehingga
dapat dikembalikan pada tahun berjalan sesuai dengan pola bagi hasil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “titik penyerahan”
adalah titik terjadinya pengalihan hak kepemilikan (transfer of title) minyak
bumi dan/atau gas bumi dari Pemerintah kepada kontraktor.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “harga minyak
mentah Indonesia” adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh Menteri
secara periodik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “komponen biaya
penjualan” adalah biaya yang berkaitan dengan kegiatan pemrosesan lebih lanjut
gas sampai dengan penjualannya antara lain biaya pinjaman pembangunan kilang, biaya
operasi kilang, transportasi, dan biaya pemasaran.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tarif pajak”
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dalam
ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak sesuai besaran tarif pajak yang
dipilih oleh kontraktor yaitu tarif pajak yang berlaku pada saat kontrak kerja
sama ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat berubah setiap saat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “surat ketetapan
pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi” adalah surat ketetapan
pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah dilakukan
pemeriksaan.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “surat ketetapan
pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara” adalah surat
ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebelum dilakukan
pemeriksaan yang kegunaannya antara lain untuk kepentingan internal manajemen
kantor pusat.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Participating interest dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika interest pada suatu wilayah kerja
dimiliki oleh kontraktor A, kontraktor B, dan kontraktor C kemudian interest
kontraktor A dialihkan kepada kontraktor D, maka kewajiban perpajakan atas
interest tersebut menjadi kewajiban kontraktor D sejak pengalihan interest
tersebut berlaku efektif.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Jika kontraktor A telah menandatangani
kontrak kerja sama minyak dan gas bumi dengan Pemerintah pada wilayah kerja X, maka
kontraktor A yang juga bertindak selaku operator wajib mendaftarkan wilayah
kerja tersebut untuk memperoleh NPWP yang berbeda dengan NPWP kontraktor itu
sendiri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika kontraktor B menjadi operator
menggantikan kontraktor A, maka kewajiban beralih kepada kontraktor B sejak
pengalihan operator tersebut berlaku efektif.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “standar atau
norma, jenis, kategori, dan besaran biaya” adalah suatu ukuran baik kualitatif
dan/atau kuantitatif yang merupakan suatu rentang nilai yang mewakili kondisi
keteknikan dan kewajaran unsur biaya barang dan jasa yang digunakan sebagai
pembanding dalam proses persetujuan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi
pembelanjaan finansial.
Pembebanan biaya operasi didasarkan
pada realisasi biaya yang dikeluarkan berdasarkan proses pengadaan barang dan
jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Standar atau norma, jenis,
kategori, dan besaran biaya tersebut akan dievaluasi sesuai dengan keperluan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”
adalah musibah karena alam yang menimbulkan potensi kerugian negara berupa
penurunan penerimaan dan/atau kerugian pada aset negara pada kegiatan
eksplorasi dan/atau eksploitasi minyak bumi dan/atau gas bumi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga
besaran penerimaan negara (jumlah pajak dan penerimaan negara bukan pajak) tidak
mengalami perubahan sesuai dengan besaran penerimaan negara sebagaimana
tercantum dalam kontrak kerja sama.
Pasal 38
huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5173
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 83/PMK.03/2009
TANGGAL 22 APRIL 2009
TENTANG
PENYEDIAAN MAKANAN
DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DALAM BENTUK
NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU DAN YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN
PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEMBERI KERJA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau
Imbalan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang
Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto Pemberi Kerja;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU
IMBALAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU DAN YANG
BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN
BRUTO PEMBERI KERJA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pegawai
adalah seluruh pegawai termasuk dewan direksi dan komisaris.
Pasal 2
Pemberian natura dan kenikmatan yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah:
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau
minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di
daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut.
c. Pemberian natura dan kenikmatan yang
merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan
kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.
Pasal 3
Pengeluaran untuk penyediaan makanan
dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
meliputi:
a. pemberian makanan dan/atau minuman yang
disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau
b. pemberian kupon makanan dan/atau
minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan
pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran,
bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.
Pasal 4
(1) Penggantian atau imbalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja
untuk:
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi
Pegawai dan keluarganya;
b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
d. peribadatan;
e. pengangkutan bagi Pegawai dan
keluarganya;
f. olahraga
bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan
terbang layang,
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut
tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.
(2) Daerah tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang
layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai
dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun
udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan
ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa
pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan
mineral.
(3) Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan
fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 5
Pemberian natura dan kenikmatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar
jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran kupon makanan dan/atau minuman
bagi Pegawai, kriteria dan tata cara penetapan daerah tertentu, dan batasan
mengenai sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 tentang
Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian Atau
Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk
Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi
Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak
tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 93 TAHUN 2010
TANGGAL 30 DESEMBER 2010
TENTANG
SUMBANGAN
PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN
FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana
Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,
Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUMBANGAN
PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN
FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Sumbangan dan/atau biaya yang dapat
dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka
penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas:
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan
bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang
disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau
disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah
mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan
bencana;
b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga
penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang
merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui
lembaga pendidikan;
d. Sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan
mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi
yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana
untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Pasal 2
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto
fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya
tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan
d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau
biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai
subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi
5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Pasal 4
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi
pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan.
Pasal 5
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diberikan dalam bentuk
uang dan/atau barang.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya dalam bentuk sarana
dan/atau prasarana.
Pasal 6
(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang
disumbangkan belum disusutkan;
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang
disumbangkan sudah disusutkan; atau
c. harga pokok penjualan, apabila barang
yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.
(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur
sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan berdasarkan
jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.
Pasal 7
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi
sumbangan.
Pasal 8
(1) Badan penanggulangan bencana dan lembaga
atau pihak yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a
harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.
(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau
biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e
wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak
paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
(3) Lembaga penerima sumbangan dan/atau
biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan sumbangan dan/atau
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran laporan keuangan pada
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal 10
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
sejak Tahun Pajak 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 160
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 93 TAHUN 2010
TENTANG
SUMBANGAN
PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN
PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN,
SUMBANGAN PEMBINAAN
OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SOSIAL
YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO
I. UMUM
Dalam rangka membantu program
pemerintah serta memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk turut berperan
serta dalam penanggulangan bencana nasional, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia, pengembangan pendidikan di Indonesia, pembinaan
olahraga di Indonesia dan turut serta membantu pemerintah dalam pembiayaan
pembangunan infrastruktur sosial di Indonesia, maka pengeluaran untuk sumbangan
penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan, sumbangan
fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan pembiayaan pembangunan
infrastruktur sosial di Indonesia yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan maka ketentuan tersebut diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pengeluaran
untuk sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam satu tahun oleh Wajib Pajak dibatasi sampai jumlah maksimum tertentu.
Yang
dimaksud dengan “sumbangan” adalah pemberian bantuan yang dilaksanakan Wajib
Pajak, yang meliputi sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan
dalam rangka penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, dan
sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bencana
nasional” adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis, yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan “badan
penanggulangan bencana” adalah badan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
menampung, menyalurkan, dan/atau mengelola sumbangan yang berkaitan dengan
bencana nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana.
Huruf
b
Yang dimaksud dengan “penelitian”
adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara
sistematis untuk memperoleh informasi, data dan keterangan yang berkaitan
dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau
hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan
ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk
penelitian di bidang Seni dan Budaya.
Yang dimaksud dengan “pengembangan”
adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah
dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan
fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau
menghasilkan teknologi.
Yang dimaksud dengan “lembaga
penelitian dan pengembangan” adalah lembaga yang didirikan dengan tujuan
melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia termasuk perguruan
tinggi terakreditasi.
Huruf
c
Yang dimaksud dengan “fasilitas
pendidikan” adalah prasarana dan sarana yang dipergunakan untuk kegiatan
pendidikan termasuk pendidikan kepramukaan, olahraga, dan program pendidikan di
bidang seni dan budaya nasional.
Yang dimaksud dengan “lembaga
pendidikan” adalah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, termasuk
pendidikan olah raga, seni dan/atau budaya, baik pendidikan dasar dan menengah
yang terdaftar pada dinas pendidikan maupun perguruan tinggi terakreditasi.
Huruf
d
Yang dimaksud dengan “lembaga
pembinaan olahraga” adalah organisasi olahraga yang membina, mengembangkan dan
mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi.
Yang dimaksud dengan “olahraga
prestasi” adalah olahraga yang membina dan mengembangkan atlit secara terencana,
berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan
dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
Huruf
e
Cukup Jelas.
Pasal
2
Contoh:
PT
Gunung Raya pada tahun 2009 mempunyai penghasilan neto fiskal sebesar Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah). Pada tahun 2010 Wajib Pajak memberikan sumbangan dalam
rangka pembinaan olahraga melalui lembaga pembinaan olahraga sebesar Rp.40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah). Pada tahun 2010 Wajib Pajak mempunyai penghasilan
neto fiskal sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Wajib Pajak tidak
diperkenankan mengurangkan sumbangan tersebut dari penghasilan bruto tahun 2010
karena akan menyebabkan rugi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal
3
Contoh:
Penghasilan
neto fiskal Wajib Pajak adalah Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah) maka
jumlah sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu maksimal 5%
(lima persen) atau sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Apabila
Wajib Pajak memberikan sumbangan sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar Rp3.000.000.000,00
(tiga milyar rupiah).
Pasal
4
Yang dimaksud dengan “hubungan
istimewa” adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan.
Pasal
5
Ayat (1)
Yang dimaksud “barang” dapat berupa
barang yang diproduksi atau diperoleh oleh Wajib Pajak pemberi sumbangan.
Ayat
(2)
Yang dimaksud dengan “sarana dan/atau
prasarana” antara lain rumah ibadah, sanggar seni budaya, dan poliklinik.
Pasal
6
Cukup jelas.
Pasal
7
Cukup jelas.
Pasal
8
Cukup jelas.
Pasal
9
Cukup jelas.
Pasal
10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5182
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 94 TAHUN 2010
TANGGAL 30 DESEMBER 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukannya perubahan
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN
DALAM TAHUN BERJALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
BAB II
OBJEK PAJAK
Pasal 2
Objek pajak berupa dividen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak
termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal
dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang
saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang
jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak
melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian
kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Dalam hal terjadi pengalihan harta
perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar
harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
Pasal 4
(1) Agio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek
pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan
pengurang dari penghasilan bruto.
Pasal 5
(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh
oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk keuntungan
atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk
keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan Subjek Pajak
luar negeri
Pasal 6
Pembagian laba secara langsung dan/atau
tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba berdasarkan
proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 7
(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan
objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang
Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara
penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan;
atau
c. kepemilikan
atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila
terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan
kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak
pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau
tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan; atau
b. hubungan penguasaan secara langsung
atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
BAB III
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
Pasal 9
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak
termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai penghasilan atau
biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berkaitan
langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak
termasuk objek pajak,
diakui sebagai penghasilan atau biaya
sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan.
Pasal 10
(1) Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan
tersebut:
a. benar-benar
telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang
berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta
biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus
dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi.
Pasal 11
(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang
berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi
selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur
lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi
selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat ternak dijual.
Pasal 12
(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham
yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan
apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana
milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh
pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak
dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman
sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh
Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang
bunga dengan tingkat suku bunga wajar.
Pasal 13
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.
BAB IV
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK
SENDIRI
Pasal 14
Orang pribadi dalam negeri yang
menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan
pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran
Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan.
BAB V
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN
Pasal 15
(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya
pembayaran; atau
b. terutangnya
penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan
pada saat:
a. pembayaran;
atau
b. tertentu
lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya
penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan
yang bersangkutan,
tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan
pada akhir bulan:
a. dibayarkannya
penghasilan;
b. disediakan
untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh
temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
Pasal 16
Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka
atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada
tahun pajak dilakukan pemotongan.
Pasal 17
Dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal
tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran
royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan
Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
Dalam hal penghasilan tidak dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas
penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Pajak Penghasilan yang dipotong atau
dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.
Pasal 21
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian
fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar
lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22
Dalam menghitung Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terhadap
bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian
fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi dengan Pajak Penghasilan.
Pasal 23
(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN
INFORMASI
Pasal 24
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:
a. dalam
negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari
negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan
Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat
melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi,
prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian
pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama, dan pelaksanaan
bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan
yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan
perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan
berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai
dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH
DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU
Pasal 27
(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan
pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan
yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka
penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan
tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun
Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat
dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum perubahan tahun
buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.
BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN
ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN
BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Pasal 29
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan
penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan
fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi
nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Pasal 30
Ketentuan mengenai pemberian fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31
Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak
yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17
TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 32
Penghitungan pajak dalam tahun berjalan
sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib Pajak yang
tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17
TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 33
Fasilitas perpajakan dengan jangka
waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2009
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan
tersebut.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 94 TAHUN 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN
DALAM TAHUN BERJALAN
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang terkait dengan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan.
Peraturan Pemerintah ini, sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, mengatur
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur
juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pemberian saham bonus kepada pemegang
saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk dalam pengertian pembagian laba
atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus yang berasal dari
kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham
di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.
Oleh karena itu apabila saham bonus
dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal
seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah
setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Namun
demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga
pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham
bonus), yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran
modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham
tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Contoh:
PT A (belum Go Public) yang mempunyai
modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00 (terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan
telah disetor penuh melakukan ekspansi yang sumber pendanaannya diperoleh dengan
jalan meningkatkan modal saham dengan menjual saham baru sejumlah 500.000
lembar (nilai nominal Rp 1000,00/lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000
lembar saham x Rp1.500,00) sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal
sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan
sebagai agio saham oleh PT A.
Atas agio saham tersebut bukan
merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.
Ayat (2)
Contoh:
Seperti pada ayat (1), namun nilai
penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut sebesar Rp400.000.000,00. Atas
selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham sebesar Rp 100.000.000,00
(500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan sebagai disagio saham
oleh PT A.
Atas
disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Karakteristik Bank Indonesia terkait
surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs, penyisihan aktiva, dan
penyusutan aktiva tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak yang
bersangkutan” adalah Wajib Pajak pemberi dan Wajib Pajak penerima bantuan atau,
sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan atau harta hibahan.
Ayat (2)
Transaksi yang bersifat rutin antara
kedua belah pihak adalah berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Ayat (3)
Contoh hubungan berkenaan dengan
pekerjaan:
1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan
C merupakan pegawai PT X. Dalam hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau
Tuan C terdapat hubungan pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C
menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas
luar asuransi dari perusahaan asuransi PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus
sebagai pegawai PT X, namun antara PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan
pekerjaan tidak langsung. Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X
atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak
Penghasilan bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
1. Penguasaan manajemen secara langsung:
Tuan A dan
Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah komisaris X. Selain itu, Tuan
C juga menjadi direktur di PT Y, dan Tuan B sebagai komisaris di PT Y.
Tuan B Junior
adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai komisaris PT AA. Tuan B Junior
adalah anak dari Tuan B yang menjadi direktur PT X dan komisaris PT Y.
Dalam contoh
di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara
langsung, karena Tuan B selain bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai
komisaris PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X
juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan atau
sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut
merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Demikian pula
antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena
terdapat hubungan keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris
di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur di PT AA.
Jika PT AA
menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Jika Tuan B.Jr
(anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan dari Tuan B (ayah) maka
bantuan atau sumbangan atau harta hibahan tersebut dikecualikan dari objek
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan manajemen adalah
antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B (ayah) dan Tuan B Junior (anak).
Dengan
demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi antara entitas yang
pengurusnya sama atau memiliki hubungan keluarga. Sedangkan antara pengurus
dalam entitas tersebut tidak memilki hubungan penguasaan.
2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:
Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan
P sebagai komisaris PT AB. Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang
dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka
menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan
pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan
tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte
pendirian maupun akte perubahan PT X.
Dalam contoh di atas, antara PT AB dan
PT X mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X
menerima bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT A bergerak di bidang penyewaan
apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000
dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.
Pada tanggal 1 September 2010 PT A
menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs
yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$. Pada tanggal 1 September 2010
tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$
1,000 x Rp9.000,00).
Pada tanggal 15 September 2010 penyewa
membayar sewa apartemen. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00
per 1 US$, sehingga nilai sewa yang dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000
x Rp8.700,00).
Atas perbedaan waktu antara tanggal
penerbitan invoice dan tanggal pembayaran timbul kerugian selisih kurs bagi PT
A sebesar Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).
Atas kerugian selisih kurs tersebut
tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal dari penyewaan apartemen
yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.
Ayat (3)
Contoh:
PT A yang bergerak di bidang penyewaan
apartemen, pada bulan September 2010 mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000
yang digunakan masing-masing sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan
sebesar US$ 1,000,000 untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan
untuk usaha jasa angkutan.
Atas keuntungan atau kerugian selisih
kurs mata uang asing yang berasal dari pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut
dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha
PT A di bidang penyewaan apartemen yang atas penghasilannya dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang
atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “biaya
pengembangan” adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan tanaman industri
termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran tanaman sampai dijual.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “biaya
pemeliharaan” adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan ternak termasuk
pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak sampai dijual.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tingkat suku
bunga wajar” adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai
dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan
di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 13
Huruf a
Biaya yang berkenaan dengan penghasilan
yang dikenakan pajak tersendiri, baik penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan,
atau pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) maupun penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif
pajak ataupun norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh
karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari penghasilan
bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 14
Kantor perwakilan negara asing dan
organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek Pajak tidak berkewajiban
melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi dalam
negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi
batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Saat terutangnya Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat
disediakan untuk dibayarkan (seperti : dividen) dan jatuh tempo (seperti : bunga
dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti
: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).
Yang dimaksud dengan “saat disediakan
untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah
saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat
pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang
bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim),
maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada
saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai
dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah
pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording
date).
Dengan perkataan lain pemotongan Pajak
Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak
Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak
“menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen
tersebut belum diterima secara tunai.
Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo
pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan
atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur.
Ayat (4)
Saat terutangnya Pajak Penghasilan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat
disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga
dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti
: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).
Yang dimaksud dengan “saat disediakan
untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah
saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat
pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang
bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim),
maka Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada
saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai
dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah
pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording
date).
Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur
dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah
para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.
Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo
pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan
atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur.
Pasal 16
Contoh:
Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan
pinjaman kepada PT B sebesar Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10%
(sepuluh persen) per tahun. Jatuh tempo pembayaran bunga setiap tanggal l April
dan 1 Oktober.
Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga
sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga pinjaman ini, PT A telah
mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00 (bunga
selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh
tempo pembayaran pada tanggal 1 April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00)
dan kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.
Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut, dapat dikreditkan oleh PT A pada
tahun 2010.
Pasal 17
Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan
penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan prinsip akuntansi tentang
pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts revenues). Namun,
dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak
dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.
Yang dimaksud dengan “dalam hal-hal
tertentu” antara lain:
a. saat
pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam rangka
menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijakan
Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya
bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam
hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang menyatakan bahwa
atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, penghasilan
tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Contoh:
Tuan A, subjek pajak yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00 sehubungan
dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan
dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00
(5% x 120% x Rp20.000.000,00).
Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan
dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009 dan 2010. Atas kredit
pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut, Tuan A
hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas
penghasilannya semata-mata dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
melakukan impor barang yang digunakan untuk kegiatan jasa konstruksi. Atas
impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Contoh:
Penghasilan neto komersial bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian
fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian tahun sebelumnya yang
masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar Rp7.500.000.000,00.
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17
dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
Uraian
|
PPh
Pasal 17
|
PPh
Pasal 26 (4)
|
Penghasilan
Neto Komersial
|
16.000.000.000,00
|
|
Penyesuaian
Fiskal Positif
|
1.500.000.000,00
|
|
Penghasilan Neto Fiskal
|
17.500.000.000,00
|
|
Kompensasi
Kerugian
|
7.500.000.000,00
|
|
Penghasilan
Kena Pajak
|
10.000.000.000,00
|
|
PPh Badan
Terutang 28%
|
2.800.000.000,00
|
|
PKP setelah
dikurangi pajak
|
|
7.200.000.000,00
|
PPh Pasal 26
(4) = 20%
|
|
1.440.000.000,00
|
Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4),
kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00 tersebut tidak boleh
diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak
(Rp7.200.000.000,00).
Pasal 23
Ayat (1)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan.
adalah paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang
terhutang harus dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan
Domisili” atau yang disebut dengan certificate of resident adalah surat
keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh pejabat yang berwenang di
bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pertukaran informasi (exchange of
information), prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedures), dan
bantuan penagihan (assistance in collection of taxes) merupakan bagian dari
kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pembukuan secara terpisah merupakan
proses pencatatan yang dilakukan secara teratur dengan melakukan pemisahan
pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan.
usaha yang dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan
yang bukan merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha
yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas
perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh huruf c:
PT A bergerak di bidang industri
pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan
mesin pengolahan di Papua dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi
perusahaan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
nomor 1 TAHUN 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri
pengalengan ikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapat diberikan
fasilitas Pajak Penghasilan.
Salah satu bentuk fasilitas Pajak
Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.
Dalam hal ini, pencatatan secara
terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha
yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan (di Jakarta).
Ayat (2)
Biaya bersama adalah pengeluaran atau
biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara suatu penghasilan dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya.
Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar
alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
adalah biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dan peraturan pelaksanaannya.
Contoh:
PT A bergerak dalam bidang usaha yang
penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu
tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final Rp
300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final Rp 200.000.000,00
------------------------
Jumlah
penghasilan bruto Rp
500.000.000,00
Apabila biaya-biaya bersama yang tidak
dapat dipisahkan setelah dilakukan penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar : 2/5 x Rp250.000.000,00
= Rp 100.000.000,00
Pasal 28
Ayat (1)
Contoh:
Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1
Juli 2009·sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun buku 2009) melakukan perubahan
tahun bukunya yang telah disetujui Direktur Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009
sampai dengan 30 September 2010 (tahun buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan
yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010 sampai dengan 30 September 2010
harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010
tersendiri.
Ayat (2)
Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang
tidak termasuk dalam tahun buku yang baru, dapat dikompensasikan dengan
penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Contoh:
Tahun buku PT X adalah Oktober sampai
dengan September. PT X berencana mengubah tahun buku menjadi Januari sampai
dengan Desember mulai Tahun Pajak 2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal
dari Tahun Pajak 2007
Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007
(Oktober 2006 sampai dengan September 2007) dapat dikompensasikan dengan
penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun,
yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007
sampai dengan September 2008).
Tahun Pajak II : 2009 (Oktober 2008
sampai dengan September 2009).
Tahun
Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan
Desember 2009).
Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010
sampai dengan Desember 2010).
Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011
sampai dengan Desember 2011).
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Contoh:
PT A mempergunakan tahun buku dari 1
Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk Tahun Pajak 2008. Dalam rangka
menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun (tahun buku), PT A wajib
menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 32
PT A mempergunakan tahun buku dari 1
Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk Tahun Pajak 2009. Dalam rangka
menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan
pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24
dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak
oleh Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan Desember 2008,
PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 104/PMK.03/2009
TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
BIAYA PROMOSI DAN
PENJUALAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) angka 7 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
BIAYA PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Biaya Promosi adalah biaya yang
dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau
menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk
mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.
2. Biaya Penjualan adalah biaya yang
dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk menyalurkan barang dan/atau jasa sampai
kepada pembeli dan/atau pelanggan (customer) baik langsung maupun tidak
langsung, termasuk biaya pengepakan, biaya pergudangan, biaya pengamanan, dan
biaya asuransi, dan biaya lainnya yang diperlukan sampai barang diterima oleh
pembeli dan/atau pelanggan (customer).
3. Distributor Utama adalah perantara baik
perorangan atau badan usaha yang bertindak atas namanya sendiri, yang ditunjuk
langsung oleh pabrikan atau produsen, untuk melakukan penyimpanan, pendistribusian,
pemasaran, serta penjualan barang yang diperoleh langsung dari pabrikan atau
produsen, dalam partai besar kepada retailer atau konsumen akhir.
Pasal 2
Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto harus memenuhi kriteria berikut:
a. untuk
mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan;
b. dikeluarkan
secara wajar;
c. menurut
adat kebiasaan pedagang yang baik;
d. dapat
berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas; dan
e. diterima
oleh pihak lain.
Pasal 3
(1) Untuk
industri rokok, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh:
a. produsen;
b. Distributor Utama; atau
c. importir tunggal.
(2) Besarnya
Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. untuk industri rokok yang mempunyai
peredaran usaha sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), besarnya
Biaya Promosi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari peredaran usaha dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. untuk industri rokok yang mempunyai
peredaran usaha di atas Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai
dengan Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya Biaya Promosi
tidak melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp30.000.000.000,00
(tiga puluh miliar rupiah);
c. untuk industri rokok yang mempunyai
peredaran usaha di atas Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya
Biaya Promosi tidak melebihi 1% (satu persen) dari peredaran usaha dan paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh:
a. produsen;
b. Distributor Utama; atau
c. importir tunggal.
(4) Dalam hal Biaya Promosi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor
Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah produsen.
(5) Dalam hal rokok tidak diproduksi di
Indonesia, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah importir tunggal.
Pasal 4
(1) Untuk
industri farmasi, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh:
a. produsen;
b. Distributor Utama; atau
c. importir tunggal.
(2) Besarnya Biaya Promosi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
tidak melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah).
(3) Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh:
a. produsen;
b. Distributor Utama; atau
c. importir tunggal.
(4) Dalam hal Biaya Promosi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor
Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah produsen.
(5) Dalam hal produk farmasi tidak
diproduksi di Indonesia, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah importir tunggal.
Pasal 5
Dalam hal promosi diberikan dalam
bentuk sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto adalah sebesar nilai harga pokok.
Pasal 6
(1) Industri rokok dan industri farmasi
wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi dan/atau Biaya
Penjualan yang dikeluarkan kepada pihak lain.
(2) Daftar nominatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, alamat, Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan besarnya biaya yang dikeluarkan.
(3) Dalam hal ketentuan untuk membuat daftar
nominatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, Biaya Promosi dan/atau
Biaya Penjualan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 7
Tata cara pembebanan dan pelaporan
Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan pcnempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 132
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 105/PMK.03/2009
TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
PIUTANG YANG NYATA-NYATA
TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai
dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah
dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
3. Penerbitan
umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi:
a. Penerbitan umum adalah pemuatan
pengumuman pada penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yang lazim
lainnya yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan
pengumuman pada penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan
Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan/atau penerbitan/pengumuman khusus Bank
Indonesia.
Pasal 2
(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih yang timbul di bidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang
dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan
kena pajak.
(2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk piutang yang berasal
dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak.
Pasal 3
(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang
bersangkutan pada tahun yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut,
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih kepada debitur kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah piutang
debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai
akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra),
yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga
Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan
tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit
modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai
pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani
yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka
intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana
(KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan
rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit
yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit
yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka
kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan
koperasi.
(4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah).
Pasal 4
(1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf b harus mencantumkan identitas debitur berupa
nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih.
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara melampirkan:
a. fotokopi bukti penyerahan perkara
penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;
atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam
penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh kreditur tentang
penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.
(3) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Pasal 5
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur
berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tentang
Penghapusan Piutang Tak Tertagih yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 133
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 146/PMK.05/2011
TANGGAL 05 SEPTEMBER 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 173/PMK.05/2010 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN
DANA BANTUAN DALAM RANGKA PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DI SUMATERA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa agar pengelolaan Rekening
Penerimaan Dana Bantuan Bencana Alam Sumatera dapat dilaksanakan sesuai
mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana
Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera;
b. bahwa kegiatan penanggulangan bencana
alam di Sumatera yang dibiayai dengan Hibah Dana Bantuan Penanggulangan Bencana
Alam Sumatera diperkirakan tidak dapat diselesaikan sampai dengan tanggal 31
Desember 2011 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010
tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana
Alam di Sumatera;
c. bahwa agar kegiatan penanggulangan
bencana alam di Sumatera dapat terselesaikan, dipandang perlu menyesuaikan
waktu pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana alam di Sumatera sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dengan mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana
Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010
tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana
Alam di Sumatera;
Mengingat :
1. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010
tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana
Alam di Sumatera;
Memperhatikan :
Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 12 Tahun 2009 tentang Rencana Aksi Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2009-2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 173/PMK.05/2010 TENTANG TATA
CARA PENGELOLAAN DANA BANTUAN DALAM RANGKA PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DI
SUMATERA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana
Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera, diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan
Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Hibah dana Bantuan Penanggulangan
Bencana Alam Sumatera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 menjadi sumber
pendanaan bagi kegiatan penanggulangan bencana alam di Provinsi Sumatera Barat
dan Provinsi Aceh.
(2) Kepala BNPB sesuai dengan tugas dan
fungsinya ditetapkan sebagai PA Dana Bantuan Penanggulangan Bencana Alam
Sumatera sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) BNPB mengajukan revisi Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dan Revisi Daftar lsian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) Satuan Kerja berkenaan untuk menampung dana dan pelaksanaan
kegiatan penanggulangan bencana alam di Sumatera.
(4) Berdasarkan Revisi DIPA sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat memindahbukukan dana dalam
Rekening Penerimaan Bantuan Bencana ke Rekening KUN.
(5) Kegiatan penanggulangan bencana alam di
Sumatera sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan pada Tahun Anggaran 2011.
2. Ketentuan
Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Dalam hal kegiatan penanggulangan
bencana alam di Sumatera belum dapat diselesaikan pada Tahun Anggaran 2011
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), penyelesaian kegiatan dimaksud
dapat dilanjutkan pada Tahun Anggaran 2012.
(2) Dalam hal masih terdapat sisa dana dalam
DIPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang tidak direalisasikan
sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2011, dana dimaksud merupakan komitmen
pemerintah yang harus dialokasikan dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) untuk
kegiatan penanggulangan bencana.
(3) Pendanaan bagi penyelesaian kegiatan
lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari SAL sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
3. Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) diubah
dan ditambahkan satu ayat baru yaitu ayat (3), sehingga Pasal 12 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Batas waktu pembiayaan kegiatan
penanggulangan bencana alam di Sumatera sampai dengan tanggal 31 Desember 2012.
(2) Apabila sampai dengan batas waktu
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat saldo dalam DIPA
dan saldo dalam Rekening Penerimaan Bantuan Bencana, maka saldo tersebut dapat
digunakan untuk pembiayaan kegiatan penanggulangan bencana lain.
(3) Saldo dalam DIPA dan saldo dalam
Rekening Penerimaan Bantuan Bencana yang dapat digunakan untuk pembiayaan
kegiatan penanggulangan bencana lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak
termasuk saldo yang dialokasikan untuk kegiatan penanggulangan bencana alam di
Provinsi Aceh.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5 September 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 553
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 254/PMK.03/2010
TANGGAL 28 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PEMBEBANAN
ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 3 PERATURAN PEMERINTAH nomor 60 TAHUN 2010 tentang Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau
Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana beberapa kali telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 60 TAHUN 2010
tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5148);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PEMBEBANAN ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
(1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a. zakat
atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah; atau
b. sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki
oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan
kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
(2) Badan amil zakat atau lembaga amil zakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah badan atau lembaga yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan zakat dan
perubahannya.
(3) Zakat atau sumbangan keagamaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang atau yang disetarakan
dengan uang.
(4) Yang disetarakan dengan uang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah zakat atau sumbangan keagamaan yang diberikan
dalam bentuk selain uang yang dinilai dengan harga pasar pada saat dibayarkan.
Pasal 2
(1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam
negeri, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang bersangkutan.
(2) Dalam hal zakat atau sumbangan keagamaan
yang dibayarkan oleh:
a. wanita
yang telah kawin yang pengenaan pajaknya berdasarkan penggabungan penghasilan
neto suami isteri, dikurangkan dari penghasilan bruto suaminya;
b. wanita
yang telah kawin yang:
1) telah
hidup berpisah dengan suaminya berdasarkan putusan hakim;
2) secara
tertulis melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
3) memilih
untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto wanita yang bersangkutan.
c. anak yang belum dewasa, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto orang tuanya.
Pasal 3
(1) Pengurangan zakat atau sumbangan
keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam:
a. Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dan/atau
oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang bersangkutan, untuk pembayaran zakat
atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
b. Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan suami yang bersangkutan, untuk
pembayaran zakat atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
a;
c. Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan wanita yang telah kawin yang
bersangkutan, untuk pembayaran zakat atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b;
d. Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan orang tua dari anak yang
bersangkutan, untuk pembayaran zakat atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf c,
pada
tahun penghasilan diterima atau diperoleh.
(2) Apabila dalam tahun pajak dilaporkannya
penghasilan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan , zakat atau sumbangan
keagamaan tersebut belum dibayar, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pengurangan
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dilakukan dalam tahun
pajak dilakukannya pembayaran; dan
b. Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa penghasilan bruto telah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan tahun pajak sebelumnya.
Pasal 4
(1) Zakat atau sumbangan keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto oleh pemberi zakat atau sumbangan keagamaan harus didukung
oleh bukti-bukti yang sah.
(2) Apabila pengeluaran untuk zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil
zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1), pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pembayaran dan pembuatan bukti pembayaran atas zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, perlakuan perpajakan untuk zakat atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009, berlaku
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN.
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 668
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-15/PJ/2012
TANGGAL 11 JUNI 2012
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2011 TENTANG BADAN/LEMBAGA YANG
DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT
ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mengakomodasi badan/lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sebagai penerima zakat
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto;
b. bahwa berdasarkan Keputusan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012
tentang Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad sebagai
Lembaga yang Sah Menerima dan Mengelola Dharma Dana Hindu di Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011
tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang
Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
2. PERATURAN PEMERINTAH nomor 60 TAHUN 2010
tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010
tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran
atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan
dari Penghasilan Bruto;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh
Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2011
TENTANG BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH YANG
DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
Pasal I
Mengubah Lampiran dan menambah 1 (satu)
butir menjadi butir 5 dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh
Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, sehingga
keseluruhan Lampiran berbunyi sebagai berikut:
Badan/Lembaga sebagai penerima zakat
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah:
1. Badan Amil Zakat Nasional berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001;
2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai berikut:
a. LAZ
Dompet Dhuafa Republika berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 439 Tahun 2001
tanggal 8 Oktober 2001;
b. LAZ
Yayasan Amanah Takaful berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 440 Tahun 2001
tanggal 8 Oktober 2001;
c. LAZ
Pos Keadilan Peduli Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 441 Tahun 2001
tanggal 8 Oktober 2001;
d. LAZ
Yayasan Baitulmaal Muamalat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 481 Tahun
2001 tanggal 7 November 2001;
e. LAZ
Yayasan Dana Sosial Al Falah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 523
Tahun 2001 tanggal 10 Desember 2001;
f. LAZ
Baitul Maal Hidayatullah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 538 Tahun 2001
tanggal 27 Desember 2001;
g. LAZ
Persatuan Islam berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 552 Tahun 2001
tanggal 31 Desember 2001;
h. LAZ
Yayasan Baitul Maal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. berdasarkan
Keputusan Menteri Agama Nomor 330 Tahun 2002 tanggal 20 Juni 2002;
i. LAZ
Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 406
Tahun 2002 tanggal 7 September 2002;
j. LAZ
Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 407
Tahun 2002 tanggal 17 September 2002;
k. LAZ
Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama
Nomor 445 Tahun 2002 tanggal 6 November 2002;
l. LAZ
Baitul Maal wat Tamwil berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 468 Tahun 2002
tanggal 28 November 2002;
m. LAZ
Baituzzakah Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 313 Tahun 2004
tanggal 24 Mei 2004;
n. LAZ
Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (DUDT) berdasarkan Keputusan Menteri Agama
Nomor 410 Tahun 2004 tanggal 13 Oktober 2004;
o. LAZ
Yayasan Rumah Zakat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 42
Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007;
3. Lembaga
Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) sebagai berikut:
a. LAZIS
Muhammadiyah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 457 Tahun 2002 tanggal 21
November 2002;
b. LAZIS
Nahdlatul Ulama (LAZIS NU) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 65 Tahun 2005
tanggal 16 Februari 2006;
c. LAZIS
Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI) berdasarkan Keputusan Menteri
Agama Nomor 498 Tahun 2006 tanggal 31 Juli 2006;
4. Lembaga Sumbangan Agama Kristen
Indonesia (LEMSAKTI) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Kristen Kementerian Agama Nomor DJ.III/KEP/HK.00.5/290/2011 tanggal 15
Juli 2011;
5. Badan Dharma Dana Nasional Yayasan
Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012 tanggal 15
Maret 2012.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 11 Juni 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar