SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-82/PJ/2011
TANGGAL 11 NOPEMBER 2011
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN
PEMERINTAH nomor 31 TAHUN 2011 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17
TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF
BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
Sehubungan dengan telah ditetapkannya
PERATURAN PEMERINTAH nomor 31 TAHUN 2011 tentang Pencabutan PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, dengan
ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 mengatur antara lain:
a. Pasal
4 ayat (1), yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
b. Pasal
4 ayat (2) huruf c, atas penghasilan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa dapat dikenai pajak bersifat final yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 19 PERATURAN PEMERINTAH nomor 94
TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan mengatur bahwa dalam hal penghasilan tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Materi pokok yang diatur dalam
PERATURAN PEMERINTAH nomor 31 TAHUN 2011 tentang pencabutan PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 adalah:
a. PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. terhadap
Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 dikembalikan dengan
mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang.
4. Dengan memperhatikan ketentuan tentang
pengembalian Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari
transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang
telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam butir 3 huruf b, maka atas
penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak sejak 1
Januari 2009 dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5. Dalam hal terhadap Wajib Pajak
diberikan pengembalian atas Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan
di bursa sebagaimana dimaksud dalam butir 4 maka penghasilan dari transaksi
derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa tersebut wajib
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
6. Mekanisme pengembalian kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam
butir 3 huruf b adalah mengacu pada:
a. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang; dan
b. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan
Penelitian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan yang
Seharusnya Tidak Terutang bagi Wajib Pajak Dalam Negeri.
7. Para Kepala Kantor Wilayah diminta
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan PERATURAN PEMERINTAH nomor 31 TAHUN 2011
tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tersebut.
Demikian untuk diketahui dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
A. FUAD RAHMANY
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 136/PMK.03/2011
TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK
PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 2 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap
jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
meliputi antar lain perbankan syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009
tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
3. Simpanan adalah dana yang dipercayakan
oleh nasabah kepada Bank Syariah dan/atau unit usaha syariah berdasarkan akad
wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dalam
bentuk giro, tabungan, deposito atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
5. Nasabah Investor adalah nasabah yang
menempatkan dananya di bank syariah dan/ atau unit usaha syariah dalam bentuk
investasi berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan
nasabah yang bersangkutan.
6. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang
menempatkan dananya di bank syariah dan/atau unit usaha syariah dalam bentuk
Simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan
nasabah yang bersangkutan.
7. Nasabah Penerima Fasilitas adalah
nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
prinsip syariah.
Pasal 2
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan
pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha Perbankan Syariah
berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 3
(1) Penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diterima atau diperoleh
Perbankan Syariah, termasuk bonus, bagi hasil, margin keuntungan, dan imbalan
lainnya merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan
yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah dari kegiatan/transaksi Nasabah
Penerima Fasilitas merupakan objek Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Perbankan Syariah selain dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Nasabah Penerima Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai transaksi antara
Perbankan Syariah dengan Nasabah Penerima Fasilitas.
Pasal 4
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan
dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan lainnya atas:
a. dana yang dipercayakan atau ditempatkan;
dan
b. dana yang ditempatkan di luar negeri
melalui Bank Syariah atau unit usaha syariah yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang Bank Syariah luar negeri yang berkedudukan
di Indonesia,
dikenai Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan
dalam bentuk apapun selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai
pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 5
(1) Perbankan Syariah dapat membebankan
biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan syarat sesuai dengan:
a. ketentuan yang diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk bonus, bagi hasil, dan imbalan
lainnya yang dibayarkan atau terutang oleh Perbankan Syariah kepada Nasabah
Penyimpan dan Nasabah Investor kecuali biaya penyusutan dalam rangka pembiayaan
dengan akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik; dan
b. jumlah yang diperjanjikan dalam akad
berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Pembebanan biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan memperhatikan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 6
Dalam hal terdapat transaksi pengalihan
harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang
mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perbankan Syariah berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak
ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah tidak termasuk
dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap
pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Penerima Fasilitas, yang
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 509
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 137/PMK.03/2011
TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK
PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 2 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap
jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
meliputi antara lain jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah
lainnya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perusahaan Syariah yang selanjutnya
disebut Perusahaan adalah lembaga keuangan di luar Bank yang melakukan kegiatan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan dari usaha Perusahaan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Ijarah adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir)
dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu
sendiri.
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad
penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai
pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta'jir) disertai opsi pemindahan hak
milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
6. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan
kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal
yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).
7. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk
pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada
pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba.
8. Salam adalah akad pembiayaan untuk
pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu
dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak.
9. lstishna’ adalah akad pembiayaan untuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahni’) dan penjual (pembuat, shani’)
dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
10. Mudharabah adalah kegiatan pendanaan
yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang
bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana (shahibul
maal) membiayai 100% (seratus persen) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek
yang tidak ditentukan oleh Perusahaan (Mudharabah Mutlaqah) atau untuk proyek
yang ditentukan Perusahaan (Mudharabah Muqayyadah), dan keuntungan usaha dibagi
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
11. Mudharabah Musytarakah adalah kegiatan
pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak
lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang
dana (shahibul maal) dan Perusahaan selaku pengelola dana (mudharib) turut
menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
12. Musyarakah adalah kegiatan pendanaan
yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain untuk
usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
Pasal 2
(1) Ketentuan
usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
a. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan
berdasarkan Ijarah atau Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
b. Anjak Piutang, yang dilakukan
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
c. Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan
berdasarkan Murabahah, Salam, atau lstishna’.
d. Usaha Kartu Kredit yang dilakukan
sesuai dengan Prinsip Syariah.
e. Kegiatan pembiayaan lainnya yang
dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan
berdasarkan prinsip Ijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama
dengan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
(3) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan
berdasarkan prinsip Ijarah Muntahiyah Bittamlik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial
lease).
Pasal 3
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya
dan pemotongan atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 yang dilakukan Perusahaan berlaku mutatis mutandis
ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. Sewa Guna Usaha yang dilakukan
berdasarkan Ijarah, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan atas sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease); dan
b. Sewa Guna Usaha yang dilakukan
berdasarkan Ijarah Muntahiyah Bittamlik dikenai Pajak Penghasilan atas sewa
guna usaha dengan hak opsi (financial lease).
(2) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. kegiatan usaha anjak piutang yang
dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah berupa keuntungan atau imbalan; dan
b. kegiatan pembiayaan konsumen yang
dilakukan berdasarkan akad Murahabah, Salam, atau lstishna’ berupa margin
keuntungan atau laba, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan
Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai
dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha pembiayaan lainnya yang dilakukan
sesuai dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam
bentuk apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
Pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh penyandang dana (shohibul maal) dari kegiatan pendanaan
pada Perusahaan dengan akad Mudharabah, Mudharabah Musytarakah, atau Musyarakah
berupa keuntungan dan/atau bagi hasil, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
pengenaan Pajak Penghasilan berupa bunga.
Pasal 6
Perusahaan dapat membebankan biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan:
a. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 dan
Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk keuntungan dan/atau bagi
hasil yang dibayarkan atau terutang oleh Perusahaan kepada penyandang dana (shohibul
maal); dan
b. Jumlah
yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 7
Dalam hal terdapat transaksi pengalihan
harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang
mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak
ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah dalam rangka
kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan tidak termasuk dalam pengertian pengalihan
harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap
pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Perusahaan, yang
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERlTA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 510
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 31 TAHUN 2011
TANGGAL 6 JUNI 2011
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), serta Pasal 5 PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
dinyatakan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat
(1) dan ayat (2) huruf c UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan dan
karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum;
b. bahwa PERATURAN PEMERINTAH nomor 17
TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa tidak dapat dilaksanakan
dengan tidak berlakunya Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta
Pasal 5; dan
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pencabutan PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA.
Pasal 1
PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa
Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4983) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Terhadap Pajak Penghasilan yang bersifat
final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH
nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi
Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan Di Bursa, dikembalikan
dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan mekanisme pengembalian kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
Pasal 3
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 6 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 60
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2011
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009
TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF
BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG
DIPERDAGANGKAN DI
BURSA
I. UMUM
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Register Perkara Nomor 22P/HUM/2009 terkait dengan permohonan hak uji materiil
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka Yang
Diperdagangkan Di Bursa, Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka Yang
Diperdagangkan Di Bursa bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan oleh karena itu tidak sah dan tidak berlaku umum.
Berdasarkan hal tersebut perlu
dibentuk Peraturan Pemerintah tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Terhadap Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan
PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan Di Bursa, dikembalikan dan pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup jelas.
Pasal
2
Cukup jelas.
Pasal
3
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5220
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 94 TAHUN 2010
TANGGAL 30 DESEMBER 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukannya perubahan
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN
DALAM TAHUN BERJALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang
dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
BAB II
OBJEK PAJAK
Pasal 2
Objek pajak berupa dividen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak
termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal
dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang
saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang
jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak
melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian
kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Dalam hal terjadi pengalihan harta
perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar
harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
Pasal 4
(1) Agio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek
pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan
pengurang dari penghasilan bruto.
Pasal 5
(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh
oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk keuntungan
atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk
keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan Subjek Pajak
luar negeri
Pasal 6
Pembagian laba secara langsung dan/atau
tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba berdasarkan
proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 7
(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan
objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang
Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara
penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan;
atau
c. kepemilikan
atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila
terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan
kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak
pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau
tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan; atau
b. hubungan penguasaan secara langsung
atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
BAB III
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
Pasal 9
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak
termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai penghasilan atau
biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berkaitan
langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak
termasuk objek pajak,
diakui sebagai penghasilan atau biaya
sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan.
Pasal 10
(1) Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan
tersebut:
a. benar-benar
telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang
berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta
biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus
dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi.
Pasal 11
(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang
berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi
selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur
lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi
selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat ternak dijual.
Pasal 12
(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham
yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan
apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana
milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh
pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak
dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman
sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh
Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang
bunga dengan tingkat suku bunga wajar.
Pasal 13
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.
BAB IV
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK
SENDIRI
Pasal 14
Orang pribadi dalam negeri yang
menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan
pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran
Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan.
BAB V
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN
Pasal 15
(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya
pembayaran; atau
b. terutangnya
penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan
pada saat:
a. pembayaran;
atau
b. tertentu
lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya
penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan
yang bersangkutan,
tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan
pada akhir bulan:
a. dibayarkannya
penghasilan;
b. disediakan
untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh
temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
Pasal 16
Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka
atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada
tahun pajak dilakukan pemotongan.
Pasal 17
Dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal
tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran
royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan
Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
Dalam hal penghasilan tidak dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas
penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Pajak Penghasilan yang dipotong atau
dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.
Pasal 21
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian
fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar
lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22
Dalam menghitung Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terhadap
bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian
fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi dengan Pajak Penghasilan.
Pasal 23
(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN
INFORMASI
Pasal 24
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:
a. dalam
negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari
negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan
Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat
melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi,
prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian
pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama, dan pelaksanaan
bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan
yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan
perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan
berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai
dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH
DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU
Pasal 27
(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan
pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan
yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka
penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan
tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun
Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat
dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum perubahan tahun
buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.
BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN
ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN
BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Pasal 29
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan
penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan
fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi
nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Pasal 30
Ketentuan mengenai pemberian fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31
Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak
yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17
TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 32
Penghitungan pajak dalam tahun berjalan
sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib Pajak yang
tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17
TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 33
Fasilitas perpajakan dengan jangka
waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2009
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan
tersebut.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 94 TAHUN 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN
DALAM TAHUN BERJALAN
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang terkait dengan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan.
Peraturan Pemerintah ini, sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, mengatur
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur
juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pemberian saham bonus kepada pemegang
saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk dalam pengertian pembagian laba
atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus yang berasal dari
kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham
di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.
Oleh karena itu apabila saham bonus
dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal
seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah
setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Namun
demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga
pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham
bonus), yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran
modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham
tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Conoh:
PT A (belum Go Public) yang mempunyai
modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00 (terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan
telah disetor penuh melakukan ekspansi yang sumber pendanaannya diperoleh dengan
jalan meningkatkan modal saham dengan menjual saham baru sejumlah 500.000
lembar (nilai nominal Rp 1000,00/lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000
lembar saham x Rp1.500,00) sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal
sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan
sebagai agio saham oleh PT A.
Atas agio saham tersebut bukan
merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.
Ayat (2)
Contoh:
Seperti pada ayat (1), namun nilai
penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut sebesar Rp400.000.000,00. Atas
selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham sebesar Rp 100.000.000,00
(500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan sebagai disagio saham
oleh PT A.
Atas
disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Karakteristik Bank Indonesia terkait
surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs, penyisihan aktiva, dan
penyusutan aktiva tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak yang
bersangkutan” adalah Wajib Pajak pemberi dan Wajib Pajak penerima bantuan atau,
sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan atau harta hibahan.
Ayat (2)
Transaksi yang bersifat rutin antara
kedua belah pihak adalah berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Ayat (3)
Contoh hubungan berkenaan dengan
pekerjaan:
1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan
C merupakan pegawai PT X. Dalam hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau
Tuan C terdapat hubungan pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C
menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas
luar asuransi dari perusahaan asuransi PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus
sebagai pegawai PT X, namun antara PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan
pekerjaan tidak langsung. Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X
atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak
Penghasilan bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
1. Penguasaan manajemen secara langsung:
Tuan A dan
Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah komisaris X. Selain itu, Tuan
C juga menjadi direktur di PT Y, dan Tuan B sebagai komisaris di PT Y.
Tuan B Junior
adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai komisaris PT AA. Tuan B Junior
adalah anak dari Tuan B yang menjadi direktur PT X dan komisaris PT Y.
Dalam contoh
di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara
langsung, karena Tuan B selain bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai
komisaris PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X
juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan atau
sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut
merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Demikian pula
antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena
terdapat hubungan keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris
di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur di PT AA.
Jika PT AA
menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Jika Tuan B.Jr
(anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan dari Tuan B (ayah) maka
bantuan atau sumbangan atau harta hibahan tersebut dikecualikan dari objek
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan manajemen adalah
antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B (ayah) dan Tuan B Junior (anak).
Dengan
demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi antara entitas yang
pengurusnya sama atau memiliki hubungan keluarga. Sedangkan antara pengurus
dalam entitas tersebut tidak memilki hubungan penguasaan.
2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:
Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan
P sebagai komisaris PT AB. Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang
dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka
menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan
pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan
tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte
pendirian maupun akte perubahan PT X.
Dalam contoh di atas, antara PT AB dan
PT X mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X
menerima bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT A bergerak di bidang penyewaan
apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000
dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.
Pada tanggal 1 September 2010 PT A
menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs
yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$. Pada tanggal 1 September 2010
tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$
1,000 x Rp9.000,00).
Pada tanggal 15 September 2010 penyewa
membayar sewa apartemen. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00
per 1 US$, sehingga nilai sewa yang dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000
x Rp8.700,00).
Atas perbedaan waktu antara tanggal
penerbitan invoice dan tanggal pembayaran timbul kerugian selisih kurs bagi PT
A sebesar Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).
Atas kerugian selisih kurs tersebut
tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal dari penyewaan apartemen
yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.
Ayat (3)
Contoh:
PT A yang bergerak di bidang penyewaan
apartemen, pada bulan September 2010 mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000
yang digunakan masing-masing sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan
sebesar US$ 1,000,000 untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan
untuk usaha jasa angkutan.
Atas keuntungan atau kerugian selisih
kurs mata uang asing yang berasal dari pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut
dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha
PT A di bidang penyewaan apartemen yang atas penghasilannya dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang
atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “biaya
pengembangan” adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan tanaman industri
termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran tanaman sampai dijual.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “biaya
pemeliharaan” adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan ternak termasuk
pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak sampai dijual.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tingkat suku
bunga wajar” adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai
dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan
di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 13
Huruf a
Biaya yang berkenaan dengan penghasilan
yang dikenakan pajak tersendiri, baik penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan,
atau pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) maupun penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif
pajak ataupun norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh
karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari penghasilan
bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 14
Kantor perwakilan negara asing dan
organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek Pajak tidak berkewajiban
melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi dalam
negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi
batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Saat terutangnya Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat
disediakan untuk dibayarkan (seperti : dividen) dan jatuh tempo (seperti : bunga
dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti
: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).
Yang dimaksud dengan “saat disediakan
untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah
saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat
pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang
bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim),
maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada
saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai
dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah
pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording
date).
Dengan perkataan lain pemotongan Pajak
Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak
Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak
“menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen
tersebut belum diterima secara tunai.
Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo
pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan
atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur.
Ayat (4)
Saat terutangnya Pajak Penghasilan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat
disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga
dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti
: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).
Yang dimaksud dengan “saat disediakan
untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah
saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat
pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang
bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim),
maka Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada
saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai
dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah
pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording
date).
Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur
dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah
para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.
Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo
pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan
atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur.
Pasal 16
Contoh:
Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan
pinjaman kepada PT B sebesar Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10%
(sepuluh persen) per tahun. Jatuh tempo pembayaran bunga setiap tanggal l April
dan 1 Oktober.
Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga
sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga pinjaman ini, PT A telah
mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00 (bunga
selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh
tempo pembayaran pada tanggal 1 April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00)
dan kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.
Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut, dapat dikreditkan oleh PT A pada
tahun 2010.
Pasal 17
Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan
penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan prinsip akuntansi tentang
pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts revenues). Namun,
dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak
dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.
Yang dimaksud dengan “dalam hal-hal
tertentu” antara lain:
a. saat
pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam rangka
menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijakan
Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya
bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam
hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang menyatakan bahwa
atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, penghasilan
tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Contoh:
Tuan A, subjek pajak yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00 sehubungan
dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan
dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00
(5% x 120% x Rp20.000.000,00).
Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan
dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009 dan 2010. Atas kredit
pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut, Tuan A
hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas
penghasilannya semata-mata dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
melakukan impor barang yang digunakan untuk kegiatan jasa konstruksi. Atas
impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Contoh:
Penghasilan neto komersial bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian
fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian tahun sebelumnya yang
masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar Rp7.500.000.000,00.
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17
dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
Uraian
|
PPh
Pasal 17
|
PPh
Pasal 26 (4)
|
Penghasilan
Neto Komersial
|
16.000.000.000,00
|
|
Penyesuaian
Fiskal Positif
|
1.500.000.000,00
|
|
Penghasilan Neto Fiskal
|
17.500.000.000,00
|
|
Kompensasi
Kerugian
|
7.500.000.000,00
|
|
Penghasilan
Kena Pajak
|
10.000.000.000,00
|
|
PPh Badan
Terutang 28%
|
2.800.000.000,00
|
|
PKP setelah
dikurangi pajak
|
|
7.200.000.000,00
|
PPh Pasal 26
(4) = 20%
|
|
1.440.000.000,00
|
Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4),
kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00 tersebut tidak boleh
diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak
(Rp7.200.000.000,00).
Pasal 23
Ayat (1)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan.
adalah paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang
terhutang harus dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan
Domisili” atau yang disebut dengan certificate of resident adalah surat
keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh pejabat yang berwenang di
bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pertukaran informasi (exchange of
information), prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedures), dan
bantuan penagihan (assistance in collection of taxes) merupakan bagian dari
kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pembukuan secara terpisah merupakan
proses pencatatan yang dilakukan secara teratur dengan melakukan pemisahan
pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan.
usaha yang dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan
yang bukan merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha
yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas
perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh huruf c:
PT A bergerak di bidang industri
pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan
mesin pengolahan di Papua dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi
perusahaan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
nomor 1 TAHUN 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri
pengalengan ikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapat diberikan
fasilitas Pajak Penghasilan.
Salah satu bentuk fasilitas Pajak
Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.
Dalam hal ini, pencatatan secara
terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha
yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan (di Jakarta).
Ayat (2)
Biaya bersama adalah pengeluaran atau
biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara suatu penghasilan dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya.
Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar
alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
adalah biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dan peraturan pelaksanaannya.
Contoh:
PT A bergerak dalam bidang usaha yang
penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu
tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final Rp
300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final Rp 200.000.000,00
------------------------
Jumlah
penghasilan bruto Rp
500.000.000,00
Apabila biaya-biaya bersama yang tidak
dapat dipisahkan setelah dilakukan penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar : 2/5 x Rp250.000.000,00
= Rp 100.000.000,00
Pasal 28
Ayat (1)
Contoh:
Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1
Juli 2009·sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun buku 2009) melakukan perubahan
tahun bukunya yang telah disetujui Direktur Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009
sampai dengan 30 September 2010 (tahun buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan
yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010 sampai dengan 30 September 2010
harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010
tersendiri.
Ayat (2)
Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang
tidak termasuk dalam tahun buku yang baru, dapat dikompensasikan dengan
penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Contoh:
Tahun buku PT X adalah Oktober sampai
dengan September. PT X berencana mengubah tahun buku menjadi Januari sampai
dengan Desember mulai Tahun Pajak 2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal
dari Tahun Pajak 2007
Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007
(Oktober 2006 sampai dengan September 2007) dapat dikompensasikan dengan
penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun,
yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007
sampai dengan September 2008).
Tahun Pajak II : 2009 (Oktober 2008
sampai dengan September 2009).
Tahun
Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan
Desember 2009).
Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010
sampai dengan Desember 2010).
Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011
sampai dengan Desember 2011).
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Contoh:
PT A mempergunakan tahun buku dari 1
Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk Tahun Pajak 2008. Dalam rangka
menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun (tahun buku), PT A wajib
menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 32
PT A mempergunakan tahun buku dari 1
Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk Tahun Pajak 2009. Dalam rangka
menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan
pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24
dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak
oleh Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan Desember 2008,
PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-59/PJ/2010
TANGGAL 15 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PELAPORAN
PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN
PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH
WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI
SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang
Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas
Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang
Menjual Sahamnya di Bursa Efek, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya
Pajak yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan
Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal
pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di
Bursa Efek;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas
Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang
Menjual Sahamnya di Bursa Efek;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK
YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA
DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI
LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK.
Pasal 1
Saat diperolehnya dividen oleh Wajib
Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah:
a. pada bulan keempat setelah berakhirnya
batas waktu kewajiban/penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan
badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak
berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban
untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada
ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib Pajak dalam negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah
50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar
negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak
dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
Pasal 3
(1) Besarnya dividen yang wajib dihitung
oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar
jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding
dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku apabila sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,
badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak
Wajib Pajak.
(3) Laba setelah pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah laba usaha sesuai dengan laporan keuangan berdasarkan
standar akuntansi keuangan yang lazim berlaku di negara yang bersangkutan, setelah
dikurangi dengan pajak penghasilan yang terutang di negara tersebut.
(4) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau pada ayat (2) wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau pada ayat (2) wajib melampirkan laporan keuangan dari badan usaha
di luar negeri pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menerima pembagian dividen dalam jumlah yang
melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1), atas kelebihan jumlah dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen
tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri
menerima pembagian dividen selain dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(3) Pembagian dividen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) termasuk pembagian dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang pada hakikatnya merupakan pembagian dividen yang tidak termasuk dalam
penghitungan penetapan saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar
atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Pengkreditan pajak yang dibayar atau
dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahun pajak
dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.
Pasal 6
Dalam hal belum ada pajak secara nyata
dibayar di luar negeri atas dividen yang ditetapkan saat perolehannya, maka
pajak atas dividen tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai kredit pajak
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan
tahun pajak saat ditetapkan perolehan dividen.
Pasal 7
Contoh pelaporan penerimaan dividen, penghitungan
besarnya pajak yang harus dibayar, dan pengkreditan pajak sehubungan dengan
penetapan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas
penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Direktur Jenderal ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini mulai berlaku, Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan
Besarnya Pajak Yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan
Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas
Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang
Menjual Sahamnya di Bursa Efek yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009
berlaku ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 9
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 15 Desember 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
Lampiran I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK
YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT
DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA
BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA
EFEK
CONTOH PELAPORAN
PEROLEHAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK
YANG HARUS DIBAYAR
DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN
PENETAPAN SAAT
DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
ATAS PENYERTAAN MODAL
PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI
SELAIN BADAN USAHA
YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
1. PT LE, Wajib Pajak dalam negeri
Indonesia pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal sebesar 65% (enam puluh
lima persen) dari jumlah saham yang disetor pada atas BM Ltd di negara A yang
tidak menjual sahamnya di bursa efek. Atas penyertaan modal tersebut maka:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Apabila Tahun Pajak BM Ltd di negara A
adalah 1 Januari s.d. 31 Desember dan batas waktu kewajiban penyampaian surat
pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan di negara A paling lambat adalah 31 Mei,
maka saat diperolehnya dividen adalah pada bulan keempat setelah berakhirnya
batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan
di negara A yaitu 30 September 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan
Pelaporan
Tahun pajak 2010, BM Ltd di negara A
memperoleh laba setelah pajak sebesar US$ 50.000,00 dan nilai tukar US$ terhadap
Rupiah pada bulan September 2011 berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia adalah
Rp9.200,00/US$, maka dividen tahun 2010 yang ditetapkan telah diperoleh PT LE
adalah 65% x US$ 50.000,00 = US$32.500,00.
Penghasilan dividen tersebut dibukukan
PT LE sebesar US$32.500,00 x Rp9.200,00/US$ = Rp299.000.000,00. Jumlah tersebut
diperhitungkan dalam Penghasilan Kena Pajak tahun 2011 sesuai dengan ketentuan
Pasal 16 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dan dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2011.
c. Pengkreditan pajak luar negeri atas
dividen yang dibayarkan
1). Apabila dividen tersebut belum
dibayarkan oleh BM Ltd di negara A, maka tidak ada kredit pajak PPh Pasal 24
yang dapat diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
PT LE untuk tahun pajak 2011.
2). Apabila dividen tahun 2010 tersebut
diterima Wajib Pajak pada bulan September 2014 dengan jumlah sebesar US$35.000,00,
dan pembayaran dividen dalam bentuk lain untuk tahun pajak 2010 sebesar US$5.000,00,
dengan bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen tersebut masing-masing
sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 maka:
a). Atas selisih lebih dividen yang
dibayarkan tersebut merupakan penghasilan Wajib Pajak tahun 2014 yaitu US35.000,00
- US$32.500,00 = US$2.500,00 atau sebesar Rp22.875.000,00 (misalnya kurs tengah
Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
b). Atas dividen lainnya sebesar US$5.000,00
juga merupakan penghasilan tahun 2014 yaitu sebesar Rp45.750.000,00 (misalnya
kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
c). Pajak yang dibayar atau dipotong atas
dividen di negara A tersebut sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 diperhitungkan
sebagai kredit pajak luar negeri untuk tahun pajak 2014 sesuai dengan ketentuan
Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. PT DK, PT DS dan PT DT merupakan Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia yang pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal
secara bersama-sama pada badan usaha BE Ltd di negara B yang tidak menjual
sahamnya di bursa efek masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen), 20% (dua
puluh persen), dan 15% (lima belas persen) dari jumlah saham yang disetor. Apabila
Tahun Pajak BE Ltd di negara B adalah 1 Januari s.d 31 Desember dan tidak
memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak
Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat
pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan, maka atas penyertaan saham tersebut:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Karena jumlah penyertaan modal PT DK, PT
DS dan PT DT pada BE di negara B secara bersama-sama melebihi 50% (lima puluh
persen), maka penetapan saat diperolehnya dividen atas laba setelah pajak BE di
negara B tahun 2010, adalah pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir, yaitu
Juli 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan
Pelaporan
Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh PT
DK, PT DS dan PT DT adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi hak masing-masing
perusahaan terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada
BE di negara B.
c. Kredit Pajak Luar Negeri atas Dividen
mengikuti contoh pada butir 1 di atas.
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-57/PJ/2010
TANGGAL 10 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA DAN
PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN
ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI
BIDANG LAIN
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang
dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara dan Prosedur
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang
Lain;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010
tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang lmpor atau Kegiatan Usaha di Bidang
Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 427);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN
DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU
KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN.
Pasal 1
Pemungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, adalah:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, atas impor barang:
b. bendahara
pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
c. bendahara
pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan
dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas
penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
f. Produsen
atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar
minyak, gas, dan pelumas;
g. Industri
dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Pasal 2
(1) Badan usaha yang bergerak di bidang
usaha industri baja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah industri
baja yang merupakan industri hulu.
(2) Dalam hal badan usaha yang bergerak di
bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengolah atau
memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil produksinya menjadi produk
antara dan/atau produk hilir sehingga badan usaha tersebut melakukan kegiatan
produksi secara terintegrasi, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 dipungut atas
penjualan produk hulu, produk antara, dan produk hilir.
(3) Badan usaha yang bergerak di bidang
usaha industri otomotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah badan
usaha yang bergerak dalam bidang industri otomotif, termasuk ATPM (Agen Tunggal
Pemegang Merek), APM (Agen Pemegang Merek), dan importir umum kendaraan
bermotor.
(4) Pedagang pengumpul sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf g adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
a. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan; dan
b. menjual
hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.
Pasal 3
(1) Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dilakukan oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan badan
usaha yang melakukan penjualan hasil produksinya di dalam negeri, dengan surat
keputusan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(2) Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf g dilakukan oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan industri
dan eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul, dengan surat keputusan sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(3) Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
(4) Dalam hal badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dan huruf g tidak lagi ditunjuk sebagai Pemungut
Pajak Penghasilan Pasal 22, Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Penunjukan
Wajib Pajak sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan format
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III dan Lampiran lV Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 4
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:
a. importir yang bersangkutan; atau
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas pembelian barang oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf b, huruf c, dan huruf d wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta
ditandatangani oleh pemungut pajak.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, dan penjualan hasil
produksi industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif,
wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak.
Pasal 5
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22
oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 hurul b, huruf c, dan huruf d, menggunakan formulir
Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.
(2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf e, huruf f, dan huruf g wajib menerbitkan Bukti Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak (pembeli/pedagang
pengumpul);
b. lembar
kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan
pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22); dan
c. lembar ketiga sebagai arsip Pemungut
Pajak yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Dalam hal terjadi pengembalian barang
hasil produksi yang dibeli dari badan usaha sebagai Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e setelah Masa Pajak
terjadinya penjualan, pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.
(2) Nota retur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dibuat dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian barang hasil
produksi.
(3) Nota
retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan:
a. nomor dan tanggal nota retur;
b. nomor dan tanggal Faktur Pembelian
barang yang dikembalikan;
c. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli;
d. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22;
e. macam, jenis, jumlah, dan harga barang
yang dikembalikan;
f. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang
yang dikembalikan;
g. nama dan tanda tangan pembeli.
(4) Nota retur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit dibuat dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
- lembar pertama : untuk Pemungut
Pajak
- lembar kedua : untuk
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22
- lembar ketiga : untuk arsip
Wajib Pajak (pembeli)
(5) Pengembalian barang hasil produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak terjadi dalam hal:
a. dalam
Masa Pajak terjadinya pengembalian, atas pengembalian tersebut dilakukan
penggantian dengan barang yang sama, baik dalam jumlah fisik maupun harganya;
b. nota
retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3);
c. nota
retur tidak dibuat dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian barang hasil
produksi.
(6) Dalam
hal nota retur telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5), Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dapat
dikurangkan dari Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pengembalian tersebut.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini mulai berlaku:
1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-32/PJ./1995 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri
Otomotif di Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-65/PJ./1995;
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-69/PJ./1995 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi lndustri
Kertas di Dalam Negeri;
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-01/PJ./1996 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri
Baja di Dalam Negeri;
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-401/PJ./2001 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri
Semen di Dalam Negeri;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-417/PJ./2001 tentang Petunjuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat
dan Besarnya Pungutan, Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya;
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-523/PJ/2001 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Industri dan Eksportir yang Bergerak
Dalam Sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan, atas Pembelian
Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri atau Ekspor Mereka dari Pedagang Pengumpul
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2009,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Desember 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-35/PJ/2010
TANGGAL 9 MARET 2010
TENTANG
PENGERTIAN SEWA DAN
PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA, JASA TEKNIK, JASA
MANAJEMEN, DAN JASA KONSULTAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF
C UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, Pasal 23 Undang-Undang tersebut antara lain mengatur
bahwa penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta, jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan, dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 23 oleh pihak yang wajib membayarkan. Dalam rangka untuk
memberikan kesamaan pemahaman atas pengertian sewa dan penggunaan harta serta
jasa-jasa tersebut, perlu diberikan penegasan sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, sebesar 2%
(dua persen) dari jumlah bruto atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk
memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat
digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.
3. Jasa teknik sebagaimana dimaksud butir 1
huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu
pengetahuan yang dapat meliputi:
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan
suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan
gelombang seismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan
suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar,
petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
c. pemberian informasi yang berkaitan
dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui
pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh
pengguna jasa.
4. Jasa manajemen sebagaimana dimaksud
butir 1 huruf b merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung
dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
5. Jasa konsultan sebagaimana dimaksud
butir 1 huruf b merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau
nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang
dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai
dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Demikian untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Maret 2010
DIREKTUR JENDERAL
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 234/PMK.03/2009
TANGGAL 29 DESEMBER 2009
TENTANG
BIDANG PENANAMAN
MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG
DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian
hukum mengenai penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun pada
bidang-bidang tertentu yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, perlu
mengatur kembali mengenai bidang-bidang penanaman modal tertentu yang
memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang dikecualikan sebagai objek
Pajak Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
4 ayat (3) huruf h Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bidang
Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang
Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN
YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Penghasilan yang diterima atau
diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari
penanaman modal berupa:
a. bunga, diskonto, dan imbalan dari
deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia;
b. bunga, diskonto, dan imbalan dari
obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat
Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya
pada bursa efek di Indonesia; atau
c. dividen dari saham pada perseroan
terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia,
dikecualikan dari objek Pajak
Penghasilan.
Pasal 2
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengecualian objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan
ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 651/KMK.04/1994 tentang
Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun
yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 29 Desember 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 529
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-44/PJ./2009
TANGGAL 24 JULI 2009
TENTANG
PELAKSANAAN PENGAKUAN
SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG
BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang
Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang
Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari
Objek Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan
atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang
Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009
tanggal 22 April 2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan
atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang
Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PELAKSANAAN PENGAKUAN SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN
ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini yang dimaksud dengan:
1. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh
penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk
biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.
2. Biaya operasional sehari-hari badan
atau lembaga nirlaba adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri.
3. Badan atau lembaga nirlaba adalah badan
atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya.
4. Pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana adalah pembelian, pengadaan dan/atau pembangunan fisik sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang
meliputi:
a. pembelian
atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan
pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan
prasarana tersebut;
b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium
dan perpustakaan; atau
c. pembelian
atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan
sarana prasarana olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga
pendidikan formal.
Pasal 2
(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat
pengesahan dari instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak
Penghasilan.
(2) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik
sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi
yang membidanginya.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama
sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut.
Pasal 3
Pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh
badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan;
b. pembukuan atas penggunaan dana
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet akun
aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau
utang dan akun modal badan atau lembaga nirlaba.
Pasal 4
(1) Atas pengeluaran untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan yang berasal dari sisa lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
tidak boleh dilakukan penyusutan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Apabila pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai
dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan
sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Biaya bunga atas dana pinjaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terutang atau dibayarkan setelah
selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya
badan atau lembaga nirlaba.
(4) Dalam hal dana pinjaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih
dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), biaya bunga atas dana pinjaman
tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 5
Badan atau lembaga nirlaba yang
menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) wajib membuat:
a. pernyataan
bahwa:
1. sisa
lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa
lebih tersebut, dan
2. sisa
lebih yang tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan
untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang merupakan lampiran dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa
lebih;
b. pencatatan
tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; dan
c. laporan mengenai penyediaan dan
penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Pasal 6
(1) Apabila setelah lewat jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) badan atau lembaga nirlaba tidak
menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan
dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka
waktu 4 (empat) tahun tersebut.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan
dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(3) Apabila Badan atau lembaga nirlaba
menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak
menyampaikan pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan tidak membuat pernyataan, pencatatan dan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, sisa lebih tersebut diakui sebagai
penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa
lebih tersebut.
(4) Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa
lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditambah
dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-87/PJ./1995
tentang Pengakuan Penghasilan dan Biaya atas Dana Pembangunan Gedung dan
Prasarana Pendidikan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis yang Bergerak di
Bidang Pendidikan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 24 Juli 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN NASUTION
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-53/PJ/2009
TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH BRUTO
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan
mengenai jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan
ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 mengatur
bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang
wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
2. Yang dimaksud dengan jumlah bruto
sebagaimana dimaksud pada butir 1 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:
a. pembayaran
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga
kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan
pengguna jasa;
b. pembayaran atas pengadaan/pembelian
barang atau material;
c. pembayaran
kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada
pihak ketiga;
d. pembayaran
penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah
yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
3. Jumlah
bruto sebagaimana dimaksud dalam butir 2 tidak berlaku:
a. atas penghasilan yang dibayarkan
sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam
hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud
dalam butir 1, telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
4. Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 harus dapat dibuktikan dengan:
a. kontrak
kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
butir 2 huruf a;
b. faktur pembelian barang atau material
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b;
c. faktur
tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 huruf c;
d. faktur
tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada
pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf d.
5. Untuk memberikan kejelasan, contoh
penerapan jumlah bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah
sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-53/PJ/2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH BRUTO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM
PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG -
UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA
KALI DIUBAH TERAKHIR TENTANG UNDANG-UNDANG
NOMOR 36 TAHUN 2008
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan
mengenai
jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat
(1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terahir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 ,dengan ini disampaikan hal-hal sebagai
berikut :
1. PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan
penyedia tenaga kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus
untuk menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat
imbalan jasa sebesar Rp20.000.000,- Tenaga kerja tersebut selanjutnya menjadi
pegawai PT Maju Terus.
Atas pembayaran yang dilakukan PT
Maju Terus kepada PT Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Terus
sebesar:
2%
x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
2. PT Aman Jaya merupakan perusahaan
penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak
penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur. Tenaga
kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya. Dalam Kontrak
disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Jaya terdiri dari
gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp20.000.000,00 dan imbalan atas
jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp2.000.000,-.
a. Rincian tagihan PT Aman Jaya kepada PT
Dwi Makmur:
Pembayaran gaji 20 orang satpam ................... Rp20.000.000,-
Imbalan Jasa .................................................. Rp 2.000.000,-
b. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Dwi Makmur kepada PT Aman jaya dipotong PPh Pasal 23
oleh PT Dwi Makmur sebesar:
2% x Rp2.000.000,- = Rp40.000,-
c. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto
sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp22.000.000,- sehingga
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Dwi Makmur atas pembayaran kepada PT
Aman Jaya adalah sebesar:
2% x Rp22.000.000,- = Rp440.000,-
3. PT Megah (pihak pertama) melakukan
kontrak dengan PT Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk
membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak ketiga). Nilai
kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp103.000.000,-.
a. Rincian tagihan PT Satu Sarana kepada
PT Megah adalah:
1) pembelian
material untuk pembuatan iklan ......................... Rp15.000.000,-
2) jasa
konsultan (terkait pembuatan dan pemasangan iklan).... Rp 5.000.000,-
3) Fee
agen ........................................................................... Rp 3.000.000,-
4) biaya
pemasangan iklan ke perusahaan media……………………. Rp80.000.000,-
b. Pemotongan
PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Satu Sarana atas pembayaran jasa pemasangan
iklan kepada perusahaan media adalah sebesar:
2% x Rp80.000.000,- = Rp1.600.000,-
c. Pemotongan
PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Megah atas pembayaran jasa konsultasi dan jasa
keagenan kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
1) 2%
x Rp5.000.000,- = Rp100.000,- untuk jasa konsultasi; dan
2) 2%
x Rp3.000.000,- = Rp 60.000,- untuk jasa keagenan
d. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto
sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp103.000.000,- sehingga
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Megah atas pembayaran kepada PT Satu
Sarana adalah sebesar:
2% x Rp103.000.000,- = Rp2.060.000,-
4. PT Terang mengikat kontrak dengan PT
Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan
spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati
bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo
akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut
adalah sebesar Rp25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo
mengeluarkan biaya sebesar Rp5.000.000,- untuk bahan tambahan.
a. Rincian tagihan PT Garmindo kepada PT
Terang:
Biaya untuk bahan tambahan ...................................... Rp
5.000.000,-
Imbalan Jasa maklon.................................................. Rp25.000.000,-
b. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Terang kepada PT Garmindo dipotong PPh Pasal 23
oleh PT Terang sebesar:
2% x Rp25.000.000,- = Rp500.000,-
c. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto
sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp30.000.000,- sehingga
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Terang atas pembayaran kepada PT
Garmindo adalah sebesar:
2% x Rp30.000.000,- = Rp600.000,-
5. Untuk acara pembukaan cabang baru, PT
Abadi meminta CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk
menyediakan makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan
makanan penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk
pengadaan catering tersebut adalah Rp20.000.000,-. Atas pembayaran yang
dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Abadi sebesar:
2%
x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 80/PMK.03/2009
TANGGAL 22 APRIL 2009
TENTANG
SISA LEBIH YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG
PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG DIKECUALIKAN DARI
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Sisa
Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan Lembaga atau Nirlaba yang Bergerak
dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SISA
LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK
DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG
DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
(2) Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak
Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi
dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga
nirlaba.
(3) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya.
(4) Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembelian atau pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah
sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium
dan perpustakaan;
c. pembelian/pembangunan
asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana
olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal.
Pasal 2
(1) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut
diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak
berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut ditambah dengan
sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk
pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa
lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan
ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pengakuan sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan, diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak
tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
SURAT DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR S-08/PJ.032/2008
TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN
ATAS PERLAKUAN PENGENAAN PPh PASAL 23 ATAS JASA PERIKLANAN BERDASARKAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor :
XXX tanggal 11 Oktober 2007 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam
surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa:
a. Secara
umum, anggota PPPI dalam melakukan kegiatannya bisa memberikan beberapa jasa, antara
lain pembuatan materi iklan, pemasangan iklan di media dan pemberian konsultasi
periklanan;
b. Dalam
melaksanakan kegiatan pembuatan materi iklan bisa dilakukan sendiri oleh
perusahaan periklanan dan bisa diserahkan ke pihak ketiga. Apabila materi iklan
dibuat sendiri oleh perusahaan periklanan maka seluruh penghasilan dari klien
merupakan penghasilan perusahaan periklanan, namun apabila pembuatan materi
iklan diserahkan kepada pihak ketiga, maka perusahaan periklanan hanya
melakukan supervisi. Sehingga tagihan perusahaan periklanan ke klien sebesar
tagihan dari pihak ketiga ditambah dengan fee jasa supervisi;
c. Dalam
melaksanakan kegiatan pemasangan iklan di media, penghasilan dari perusahaan
periklanan adalah selisih tagihan perusahaan periklanan ke pihak klien
dikurangi dengan tagihan dari perusahaan media;
d. Berdasarkan
penjelasan di atas, Saudara mohon agar dapat diberikan penegasan lebih lanjut
mengenai teknis pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan PER-70/PJ/2007.
2. Ketentuan
yang terkait:
a. Pasal
23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17
TAHUN 2000, mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek
Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15%
(lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa toknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
b. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ./2007 tentang Jenis Jasa Lain dan
Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, mengatur
antara lain:
1) Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang
dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong
Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan
neto oleh pihak yang wajib membayar;
2) Pasal 1 ayat (2), imbalan jasa yang
atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultansi
dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
3) Pasal
3, Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tersebut;
4) Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersebut;
5) Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 10%
dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN.
3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas
dan memperhatikan isi surat Saudara dengan ini disampaikan sebagai berikut:
a. Teknis
pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan PER-70/PJ/2007 adalah atas penghasilan
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa
yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong
Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan
neto oleh pihak yang wajib membayar, sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b
angka 1).
b. Besarnya
Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta serta imbalan jasa adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007
tersebut.
c. Dalam
hal Saudara melakukan pembayaran atas sewa atau penggunaan harta sebagaimana
dimaksud dialam butir 2 huruf b angka 3) atau pembayaran atas jasa sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 4), maka atas pembayaran tersebut dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 15% dari peikiraan penghasilan neto.
Demikian untuk dimaklumi.
A.n. DIREKTUR JENDERAL
Pjs. DIREKTUR
ttd
SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN
SURAT DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR S-09/PJ.032/2008
TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN
TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor :
XXX tanggal 30 Mei 2007 perihal sebagaimana tersebut diatas, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam
surat tersebut Saudara mengemukakan:
a. Sehubungan
dengan telah terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-70/PJ/2007, dalam
pelaksanaannya telah terjadi multi tafsir sebagai berikut:
1) Definisi
“jasa perantara”
Karena tidak ada definisi jasa
perantara yang jelas, maka banyak jenis jasa yang ditafsirkan sebagai jasa
perantara, antara lain : jasa freight forwarding, tour and travel agency, agen
pelayaran dan agen advertensi.
2) Dasar
Pengenaan Pajak
Lampiran II menyatakan bahwa dasar
pengenaan pajak adalah prosentase dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN. Karena
tidak ada contoh penghitungan, maka telah terjadi multi tafsir dalam
penerapannya.
3) Jasa
Internet
Lampiran II nomor 25 memasukkan
“jasa penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media massa, media luar ruang
atau media lain untuk penyampaian informasi”, sebagai jasa lain. Beberapa KPP
menafsirkan “media lain untuk penyampai informasi” termasuk jasa internet, padahal
jumlah yang harus dipotong kecil-kecil sehingga menimbulkan biaya administrasi
yang tinggi.
b. Agar
terdapat kepastian hukum dan pemungutan pajak yang sesuai dengan situasi dunia
usaha, Saudara mengusulkan agar dapat diberikan penegasan sebagai berikut:
1) Definisi
“jasa perantara”
Jasa Perantara adalah jasa yang
diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai perantara dalam perikatan
perjanjian di bidang tertentu, dengan mendapat imbalan balas jasa atau
pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau atas nama orang-orang
yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
2) Dasar
Pengenaan Pajak
Yang dimaksud dengan “Jumlah Imbalan
Jasa tidak termasuk PPN” adalah Jumlah Tagihan Bruto tidak termasuk PPN dari
pemberi jasa dikurangi dengan pembayaran kepada pihak ketiga
3) Jasa
Internet
Yang dimaksud dengan media lain
untuk informasi tidak termasuk jasa internet.
2. Ketentuan
yang terkait:
a. Pasal
23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, antara
lain diatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima
belas persen) dan perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
b. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ./2007 tanggal 9 April 2007 tentang
Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17
TAHUN 2000, antara lain mengatur bahwa:
1) Pasal 1 ayat (1), Atas penghasilan sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang
dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong
Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan
neto oleh pihak yang wajib membayar;
2) Pasal 1 ayat (2), Imbalan jasa yang
atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi
dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tersebut, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
3) Pasal 3, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tersebut;
4) Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersebut;
5) Pasal 5 ayat 1, Perkiraan Penghasilan
Neto adalah sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau
lampiran II kolom (3) dikalikan dengan nilai sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai imbalan jasa, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
6) Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto
sebesar 10% dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN;
3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas,
dan memperhatikan isi Surat Saudara dengan ini kami sampaikan:
a. Terima
kasih atas usulan yang telah Saudara sampaikan dan akan dipelajari dengan
seksama.
b. Perlu kami sampaikan juga bahwa:
1) Dasar Pengenaan Pajak dalam
penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Perkiraan Penghasilan Neto yaitu
sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau lampiran II
kolom Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 dikalikan dengan
nilai sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai
imbalan jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 5) di atas;
2) Sesuai dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa Internet, jasa Freight Forwarding, Tour
Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak tercantum sebagai jasa
yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas pembayaran
yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa
atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) atau
jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 4).
Demikian untuk dimaklumi.
A.n. DIREKTUR JENDERAL
Pjs. DIREKTUR
ttd
SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar